Investasi asing penting, tetapi yang lebih penting bagaimana perusahaan lokal belajar dari pesaing barunya dan tumbuh.
Oleh
KRISNA GUPTA
·4 menit baca
Kita mungkin sudah sering mendengar istilah hilirisasi, program industrialisasi utama Presiden Joko Widodo. Dengan logika sederhana, larangan ekspor cukup masuk akal: stop ekspor nikel untuk diolah menjadi produk turunannya. Hal ini akan membantu ekonomi Indonesia menjadi lebih kompleks ketimbang bergantung kepada harga komoditas. Kritik terhadap kebijakan utama Presiden untuk hilirisasi, yaitu melarang ekspor bahan mentah, sudah banyak ditulis. Namun, apa alternatifnya?
Ricardo Hausman, ekonom Harvard dan pencetus indeks kompleksitas ekonomi, menawarkan pandangannya. Dalam sebuah podcast Bloomberg berjudul ”Odd Lots”, ia menyampaikan setidaknya ada dua hal terkait industrialisasi perkembangan sebuah negara menuju produksi yang lebih kompleks.
Pertama, peningkatan kompleksitas tidak dilakukan oleh perusahaan baru, melainkan oleh perusahaan lama yang diversifikasi ke industri lain. Ia mencontohkan Samsung, sebuah perusahaan yang awalnya bergerak di bidang perdagangan gula, menjadi pemain semikonduktor yang sangat penting di dunia. Pun dengan Toyota, perusahaan otomotif global yang memulai dari manufaktur mesin jahit.
Hal tersebut cukup masuk akal karena perusahaan yang telah sukses setidaknya sudah punya pengalaman berorganisasi yang baik. Selain itu, perusahaan yang sukses di satu industri memiliki tabungan yang besar dan cukup untuk mengeksplorasi industri baru. Internal financing seperti ini menjadi semakin penting mengingat tingginya suku bunga usaha di Indonesia. Karena itu, penting untuk mengamati bagaimana pemain besar incumbent di Indonesia menggunakan keuntungannya.
Joe Studwell dalam bukunya, How Asia Works, mengungkap salah satu kegagalan Indonesia mengejar ”Macan Asia” lain seperti Jepang, Korea Selatan, dan China. Menurut dia, konglomerat Indonesia terlalu banyak berinvestasi di sektor properti. Sektor ini sering kali dianggap berisiko rendah, tetapi minim inovasi. Karena kapital diarahkan ke sektor yang kurang inovatif, akibatnya sektor lain yang lebih inovatif malah kekurangan modal. Bukannya memasuki industri yang lebih kompleks, konglomerat di Indonesia malah menaruh modal di sektor yang mengandalkan spekulasi.
Bicara pemain incumbent, kita tidak dapat melepaskan peran badan usaha milik negara (BUMN). Banyak sekali sektor hulu di Indonesia dikuasai oleh BUMN. Sektor-sektor seperti pertambangan, perkebunan, dan besi baja yang sering kali dianggap perlu diberi nilai tambah adalah sektor yang sangat kuat kehadiran BUMN-nya. Mengapa BUMN tidak melakukan investasi menuju hilirisasi dari dulu? Kenapa harus menunggu investasi asing yang melakukannya untuk kita?
Tidak selalu linear
Poin kedua dari Hausmann adalah soal non-linearitas pembangunan industri. Peningkatan kompleksitas ekonomi tidak selalu linier. Ia mencontohkan Finlandia, negara dengan hutan yang luas relatif terhadap jumlah penduduknya. Kebijakan konvensional akan mengatakan untuk menutup ekspor kayu sehingga nilai tambah dalam negeri bisa ditambah dengan cara membuat kertas atau furnitur. Namun, justru karena kayunya diekspor, muncul kebutuhan untuk memotong kayu dengan lebih efisien. Banyak perusahaan kemudian berinovasi di industri peralatan pemotong, dan berevolusi menjadi produsen permesinan otomatis (automation).
Hal ini senada dengan pola yang ada di negara lain juga. Inovasi Amerika Serikat, sebuah negara pengekspor barang agrikultur seperti kedelai tidak punya industri kecap, tahu, atau tempe. Meski demikian, industri peralatan pertanian dan rekayasa genetik bibit di sana sangat maju. Abu Dhabi, negara penghasil minyak bumi, malah meningkatkan nilai tambah melalui sektor jasa, dengan menjadi pusat transit dan hub finansial di jazirah Arab. Australia dengan ekspor mineral yang tinggi seperti Indonesia memiliki kompleksitas di bidang jasa, terutama riset dan pendidikan.
Konglomerat Indonesia terlalu banyak berinvestasi di sektor properti. Sektor ini sering kali dianggap berisiko rendah, tetapi minim inovasi.
Peningkatan nilai tambah tidak selalu linear. Sering kali, peningkatan nilai tambah dalam negeri terjadi karena sebuah negara terus melakukan improvement atau peningkatan atas apa yang ia sering lakukan. Hal ini mengakibatkan perkembangan kompleksitas ekonomi di suatu negara menjadi sulit ditebak, karena ”percabangan” pembangunan industri tidak hanya ada satu cara. Akibatnya, jika pemerintah suatu negara memaksa mendorong peningkatan kompleksitas menuju satu cara saja, maka ini sama saja dengan menegasikan kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin saja sebenarnya lebih baik dan efisien.
Bahkan bisa saja terjadi sebaliknya: "huluisasi" (maaf malah menambah istilah baru). Chor, Manova, dan Yu, dalam artikelnya di Journal of International Economics (2021), meneliti tentang perkembangan manufaktur di China pada periode 1992-2014. Mereka menemukan bahwa manufaktur di China dimulai pada sektor padat karya paling hilir, yaitu perakitan. Namun, perlahan mereka belajar bagaimana membuat komponen dan produk-produk hulu lainnya yang lebih padat modal. Akhirnya impor bahan baku semakin berkurang dengan semakin banyaknya production scope yang dikerjakan.
Pada prinsipnya, peningkatan nilai tambah dilakukan melalui pembelajaran. Bagaimana perusahaan-perusahaan yang tadinya mengerjakan produksi yang simpel, belajar melakukan produksi yang lebih kompleks. Investasi asing tentu penting, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana perusahaan lokal belajar dari pesaing barunya dan tumbuh, seperti halnya Build Your Dreams (BYD), perusahaan mobil listrik asal China, yang berhasil mengalahkan penjualan Tesla. Jika pembelajaran ini tidak terjadi, maka sulit mengatakan bahwa intervensi pemerintah telah berhasil mendorong nilai tambah.
Di sinilah sektor swasta seharusnya berperan besar. Jika pembangunan industri bisa bercabang, maka diperlukan eksperimen dari banyak pihak. Sektor swasta yang dinamis akan terlihat dari bagaimana perusahaan-perusahaan melakukan eksplorasi di berbagai sektor-sektor baru.
Larangan ekspor bahan baku tidak akan pernah bisa menggantikan lingkungan dunia usaha yang dinamis dan kondusif. Tidak ada jalan pintas yang dapat menggantikan beresnya ketidakpastian hukum dan akses permodalan yang baik. Birokrasi yang berbelit-belit dan korupsi izin-izin seperti kuota impor dan tambang ilegal tidak dapat diobati dengan larangan ekspor.
Kita tentu ingin sektor swasta yang tumbuh adalah sektor swasta yang inovatif, bukan yang koruptif. Kita ingin pengusaha yang menambah nilai bagi masyarakat, bukan pemburu rente. Jika ada pengusaha yang berkata bahwa ia tidak bisa berbisnis jika tidak ada di lingkaran kekuasaan, di situlah kita paham bahwa negara telah gagal menghadirkan lingkungan bisnis yang sehat.
Krisna Gupta, Dosen Politeknik APP Jakarta; Senior Fellow di Center for Indonesian Policy Studies