Dominasi produk impor di lokapasar Indonesia menunjukkan produk impor telah membajak digitalisasi usaha mikro kecil.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Melalui digitalisasi, UMKM kita diharapkan bisa menjadi bagian dari ekosistem produksi dalam negeri. Namun, yang terjadi, UMKM kita ternyata justru hanya menjadi mitra penjual (reseller) produk impor (Kompas, 25/1). Akibatnya, nilai tambah terbesar bukan dinikmati pelaku industri dalam negeri, melainkan produsen produk impor di negara asal.
Serbuan produk impor—legal maupun ilegal—yang mende- sak produk lokal merupakan fenomena yang sudah lama dikeluhkan pelaku industri dalam negeri. Invasi produk impor itu kian terbuka lebar dengan digitalisasi ekonomi, yang peluangnya gagal dimanfaatkan oleh produsen UMKM lokal.
Deindustrialisasi dan kian terdesaknya produk dalam negeri—karena kalah bersaing dengan produk impor—membuat banyak pelaku industri akhirnya lebih memilih banting setir jadi pedagang, importir, bahkan penyelundup produk impor.
Tampaknya ini juga terjadi pada UMKM. Akibatnya, yang terjadi bukan perluasan basis produksi dan akses pasar UMKM, tetapi mereka justru menjadi bagian dari jaringan kekuatan masif yang ikut menggembosi industri dan pangsa pasar produk dalam negeri di pasar dalam negeri sendiri.
Fakta bahwa hanya 6,8 persen UMKM di lokapasar yang menjual produk sendiri juga menjadi gambaran lemahnya fondasi manufaktur kita. Data BPS, UMKM kita dominan bergerak di bidang perdagangan, yakni 46,40 persen. Kondisi ini ikut menyumbang naiknya angka impor produk konsumtif.
Di sektor produksi, secara umum UMKM kita juga gagal melakukan lompatan menjadi UMKM tangguh yang mampu bersaing di produk-produk berkualitas tinggi—lewat inovasi dan teknologi—di pasar global, sebagaimana UMKM di negara maju, seperti Jepang, Korea, atau Taiwan.
Dari 62 juta UMKM kita, kontribusi terhadap total ekspor hanya 0,01 persen. Pertumbuhan UMKM yang sehat tak hanya tecermin dari penguasaan pasar domestik, tapi juga seberapa banyak UMKM kita mampu menerobos pasar ekspor.
Setelah 78 tahun merdeka, gambaran mayoritas UMKM kita tak kunjung beranjak dari potret industri rumahan, seperti makanan, pakaian, furnitur, dan kerajinan, yang tak banyak tersentuh inovasi, teknologi, serta nilai tambah.
Implementasi peta jalan penyelamatan industri nasional kian mendesak untuk membalikkan deindustrialisasi dan berbagai kendala yang menghambat pertumbuhan industri. Arah kebijakan yang jelas, keberpihakan nyata, proteksi, dan dukungan riil pemerintah dan seluruh komponen diperlukan bagi tumbuhnya industri domestik yang kokoh dan berdaya saing.
Mengatasi berbagai kendala daya saing—seperti akses modal, pasar, kendala kapasitas, dan skill—menjadi penting. Demikian pula gerakan cinta produk dalam negeri dan pengamanan pasar domestik, termasuk dari aksi penyelundupan dan kebijakan perdagangan negara asing yang merugikan.