”Food Estate” dan Korporasi Swadaya Petani
Melihat kondisi ”food estate” dan perkembangan korporasi swadaya petani, kebijakan pangan yang lebih terukur diperlukan.
Polemik lumbung pangan baru atau food estate memanas selama sepekan pascadebat calon wakil presiden pada 21 Januari 2024. Sejumlah pihak mengecap program food estate gagal dan beberapa pihak lain mengklaim kesuksesan food estate. Sementara tanpa berkoar-koar, sejumlah korporasi swadaya petani terus tumbuh mandiri mengepakkan sayapnya.
Food estate merupakan bagian dari Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 yang menyasar pencetakan kawasan pangan baru, terutama di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua. Awalnya, lumbung pangan baru yang tercipta ditargetkan bisa seluas 2,41 juta hektar (ha).
Namun, setelah dimatangkan kembali, pemerintah hanya mampu merencanakan lumbung pangan baru seluas total 82.778 ha dalam kurun waktu 2020-2023. Pada tahun pertama ditargetkan terealisasi seluas 30.000 ha, tahun kedua 30.778 ha, tahun ketiga 12.000 ha, dan tahun keempat 10.000 ha.
Program itu bukan sekadar mencetak sawah baru, melainkan juga mengembangkan tanaman pangan selain padi, antara lain, jagung, singkong, dan bawang putih. Tak hanya itu, sejumlah lumbung pangan itu juga bakal diintegrasikan dengan perkebunan dan peternakan sehingga menjadi kawasan sentra produksi pangan terpadu, modern, dan berkelanjutan.
Tak hanya itu, sejumlah lumbung pangan itu bakal diintegrasikan dengan perkebunan dan peternakan sehingga menjadi kawasan sentra produksi pangan terpadu, modern, dan berkelanjutan.
Bagaimana realisasinya? Banyak kalangan menyebut program food estate gagal. Guru Besar Sosiologi IPB University Rilus A Kinseng pernah menyebutkan kegagalan lumbung padi di Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Kegagalan itu terjadi lantaran infrastruktur pengairan (modal fisik) belum memadai.
Tata air menjadi buruk, yakni gerakan air tak lancar, airnya tetap asam, kadang banjir dan kadang sebaliknya kekeringan. Akibatnya, produktivitas padi menjadi rendah, kurang dari 2,5 ton per ha. Produktivitas rendah ini menyebabkan banyak petani akhirnya beralih menjadi pekerja di kebun sawit (Kompas, 26/4/2023).
Baca juga: Kegagalan dan Keberhasilan ”Food Estate”
Di Desa Fatuketi, Kabupaten Belu, NTT, terdapat lumbung jagung yang diresmikan pada 2022. Namun, hingga kini, persoalan air, serta kondisi tanah yang kering dan berkapur di lumbung pangan jagung, masih belum teratasi dengan baik meski telah dibangun Bendungan Rotiklot.
Sprinkler, alat penyiram otomatis, hanya mengeluarkan sedikit air sehingga tidak bisa membasahi tanah hingga lapisan bawah. Tanaman jagung perdana menjadi mati sehingga petani harus menanam ulang. Mereka mengalirkan air memakai selang, menampungnya, lalu menyirami tanaman jagung secara manual. Saat kemarau, aliran air dari selang pun berhenti total (Kompas, 20/10/2023).
Di Desa Tewai Baru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, penciptaan lumbung pangan baru justru menimbulkan bencana ekologis dan menghilangkan sumber mata pencaharian masyarakat sebelumnya. Petani di desa tersebut mengaku sulit memenuhi kebutuhan hidup karena lahan sayur telah berganti kebun singkong dan jagung. Setiap musim hujan, area permukimannya kerap kebanjiran sejak kawasan hutan dibuka pada 2019-2020 (Kompas, 22/1/2024).
Pada 18 Agustus 2023, Presiden Joko Widodo bahkan pernah mengakui program food estate ada yang berhasil, setengah berhasil, dan yang belum berhasil. Membangun lumbung pangan bukanlah pekerjaan gampang. Penanaman pertama biasanya gagal. Keberhasilan di penanaman kedua pun masih sekitar 25 persen. Baru biasanya pada penanaman keenam atau ketujuh itu baru pada kondisi normal.
Baca juga: Setelah ”Food Estate” Singkong, Kini Jagung Ditanam di Kalteng
Kaidah akademis
Setelah kegagalan food estate kembali disinggung dalam debat calon wakil presiden, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pasang badan. Pada 22 Januari 2024, ia mengatakan food estate bukan proyek instan sehingga membutuhkan proses. Pemerintah tengah menggarapnya, termasuk di lahan yang sebelumnya bukan lahan pertanian sehingga membutuhkan proses dan teknologi agar menjadi lahan produktif.
Sejumlah keberhasilan food estate di beberapa daerah dipaparkan. Food estate di Gunung Mas akan panen jagung di lahan seluas 10 ha dan singkong 3 ha. Produktivitas jagung diperkirakan mencapai 6,5 ton per ha. Di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, kawasan pertanian bawang telah dikembangkan di lahan 418,29 ha.
Di Temanggung dan Wonosobo, Jawa Tengah, luasnya mencapai 907 ha dan telah berhasil panen komoditas hortikultura. Di Kalimantan Tengah, pemerintah berhasil melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan hingga mampu panen padi dengan produktivitas 5 ton per ha. Begitu pula di Sumba Tengah, NTT, dan Kabupaten Keerom, Papua, telah mampu panen jagung di lahan seluas 500 ha.
Sejumlah cap kegagalan dan klaim keberhasilan food estate itu sebenarnya bisa ditakar dari target dan tujuan awal. Menggarap lumbung pangan baru sebagai kawasan pangan mandiri saja masih terseok-seok, apalagi mewujudkan kawasan pangan terintegrasi dalam empat tahun terakhir ini.
Meminjam pendapat Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa, program food estate gagal lantaran melanggar kaidah akademis. Kaidah itu mencakup kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan infrastruktur, kelayakan sosial dan ekonomi, serta kelayakan teknologi. Jika salah satu pilar tidak dijalankan dengan baik, maka potensi kegagalan sangat besar.
Kaidah itu mencakup kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan infrastruktur, kelayakan sosial dan ekonomi, serta kelayakan teknologi.
Sebaliknya, tanpa harus berkoar-koar, sejumlah kelompok tani justru mampu membangun usaha pertanian pangan secara mandiri. Mereka tidak berhenti pada menanam dan memanen, tetapi juga mengembangkan produk-produk olahan pascapanen.
Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), misalnya, mengembangkan benih padi Indonesia Farmer (IF-16). AB2TI juga akan meluncurkan unit usaha penggilingan padi modern pada April 2024. Melalui unit usaha itu, AB2TI menargetkan dapat memproduksi 20 ton beras atau setara 40 ton gabah kering giling per hari.
Baca juga: Ini Beras dan Benih Karya Petani!
Di Demak, Jawa Tengah, sebanyak 126 petani yang mengelola sawah seluas total 300 ha membentuk Koperasi Citra Kinaraya. Dengan penggilingan padi modern, mereka mengolah gabah petani menjadi beras khusus, seperti beras putih aromatik, beras merah, beras hitam, dan beras coklat. Beras-beras itu telah dipasarkan ke Jakarta, Bandung, Bali, dan Kalimantan Selatan.
Melihat kondisi food estate dan era berkembangnya korporasi swadaya petani, pemerintah perlu lebih terukur dan realistis membangun kebijakan pangan nasional.
Di Desa Gobleg, Buleleng, Bali, para petani muda membantu pengembangan pertanian hortikultura organik dengan sistem internet untuk segala (IoT). Tinggal klik dengan jempol, mereka dapat menyiram tanaman kapan pun dan di mana pun asal tersambung jaringan internet.
Mereka juga dapat memantau kondisi kebun dan tanaman serta kadar air dan keasaman tanah secara terukur dari genggaman tangan. Hal itu membuat mereka dapat membudidayakan sejumlah tanaman hortikultura di luar musim. Sistem pemasaran secara daring dan luring juga dibangun dengan baik.
Melihat kondisi food estate dan era berkembangnya korporasi swadaya petani, pemerintah perlu lebih terukur dan realistis membangun kebijakan pangan nasional. Cukup sudah memperluas food estate yang sulit dikembangkan seturut empat kaidah akademis. Lebih baik bantu petani yang tengah tertatih-tatih membangun korporasi petani berdasarkan klaster pangan.
Baca juga: Batu Sandungan Jalan Tani