Energi
Transformasi energi ini, selain perlunya kegandrungan pada sains, juga pendekatan etis tentang inovasi teknologi.
Karunia hidup terjadi setiap harinya melalui pementasan matahari yang terbit di Timur. Subuh tiba dengan pancaran matahari melukis cakrawala dengan warna jingga yang menjanjikan hari baru.
Sejak munculnya kebudayaan manusia, matahari disanjung di dalam kitab suci, nyanyian rakyat, hingga panjatan doa. Matahari menyinari dunia dan mengilhami kalbu manusia.
Dalam budaya kuno Mesir, dewa matahari Ra disembah sebagai pelindung hidup yang berlayar setiap harinya menyinari dunia, begitu pula dalam budaya Yunani dengan kesaktian dewa Helios. Sementara itu di Jepang, berdiri kuil kuno bagi pemujaan dewi matahari Amaterasu, di India para penganutnya menyambut kehadiran mentari pagi dengan melaksanakan yoga Surya Namaskar. Dalam agama Hindu di Bali, keberadaan Pelinggih Surya di setiap rumah menandai harapan terhadap limpahan cahayanya yang membawa harmoni dan hidup yang berkelanjutan.
Melalui sains dan teknologi, kita dapat mempelajari bahwa matahari merupakan pusat dalam tata surya kita, planet-planet mengitari matahari secara eliptikal dengan indah. Semenjak miliaran tahun lamanya, saat permulaan kehidupaan ini, matahari telah menjadi unsur fondasional bagi kelangsungan keberagaman hidup di Bumi.
Makhluk hidup bergantung kepada sinar matahari agar dapat tumbuh dan berkembang, termasuk juga manusia. Dari organisme pertama beserta evolusi, hingga terbentuknya atmosfer, matahari adalah kekuatan vital dalam siklus kehidupan di Bumi. Matahari adalah energi kehidupan itu.
Saya memikirkan betapa mungilnya manusia di hadapan nyala bola matahari yang dahsyat, ia mengisi bejana pemikiran, memercik spiritualitas kita, tetapi yang amat penting, ia merawat kehidupan yang elok berwarni-warni dalam berbagai wujud dan ukuran.
Secara filosofis, transformasi teknologis harus didorong dengan pemahaman yang mendalam tentang dunia alamiah beserta tantangannya saat ini, yaitu krisis iklim.
Matahari telah menjadi inspirasi untuk mengubah pandangan teknologis khususnya terkait transisi dari energi fosil menjadi energi terbarukan. Perubahan teknologis, tidak cukup dimengerti saja dalam pengertian perombakan alat dan mesin, secara filosofis, transformasi teknologis harus didorong dengan pemahaman yang mendalam tentang dunia alamiah beserta tantangannya saat ini, yaitu krisis iklim.
Sudahkah kita menggali kembali pengetahuan kita tentang daya matahari, baik itu secara sastrawi hingga saintifik? Dalam diskusi filsafat lingkungan beberapa filsuf membahas persoalan ini secara meditatif, seperti Vandana Shiva dan Murray Bookchin. Selain pembahasan teknologi dari koridor terapan semata, saya ingin kembali pada inti pertanyaan filosofis soal bagaimanakah hubungan manusia dan teknologi modern yang telah berlangsung?
Semenjak revolusi industri, teknologi masal dan industrialis dipandang seolah-olah sebagai laju progresivitas yang natural. Kepasrahan ini menyebabkan, penjajahan atas nama material dari alam, dan komodifikasi alam dianggap sebagai ongkos peradaban yang harus terjadi.
Baca juga: Angin di Baduy
Krisis iklim membangunkan masyarakat dunia dari gagasan yang keliru tersebut. Bookchin seorang pemikir kritis teori ekologi sosial, beranggapan bahwa penggunaan teknologi modern melupakan matriks sosial yang mempertimbangkan keadilan bagi sosial dan ekologi.
Matriks sosial dalam hal ini, tidak saja perihal pendapatan ekonomi, tetapi pertimbangan etis mengenai konsekuensi pemanfaatan teknologi tersebut secara holistik. Bookchin mengingatkan bahwa terhubung dengan energi surya, angin, atau biogas, latar belakang pengembangan teknologis kita tidak cukup hanya berkisar pada stimulan ekonomi saja, tetapi perlu memiliki dasar desideratum, atau keinginan mendalam untuk menjaga lingkungan hidup.
Vandana Shiva juga menyampaikan kritik terkait dengan teknologi pangan yang merusak lingkungan hidup. Inspirasinya bersumber dari filosofi India melalui gagasan shakti yang dimaknai sebagai energi, kekuatan yang menopang kehidupan. Alih-alih teknologi pangan yang masal dan sentralistik, Shiva mengusulkan agroekologi yang mendorong pemberdayaan komunitas.
Teknologi yang bersifat konvivial dalam pengertian ini, dapat menciptakan sistem relasional yang setara dan demokratis, mengeliminir ketimpangan dan dominasi, yang merekognisi tidak saja manusia, tetapi alam beserta makhluk hidup lainnya sebagai sesama subjek dalam matriks sosial ekologis.
Baca juga: Palestina adalah Puisi
Saya ingin menyinggung tentang isu lingkungan dalam debat politik elektoral, isu transisi energi masih sangat dangkal sebab berkutat pada jargon-jargon yang tidak menjejak pada dasar saintifik yang solid maupun desideratum yang sungguh-sungguh ingin melestarikan alam. Lenyapnya sains dalam perdebatan tentang lingkungan hidup menunjukkan arogansi arena politik yang masih berasumsi alam sebagai objek benda mentah yang direduksi melalui skema hilirisasi.
Saya mencermati hambatan-hambatan yang merintangi transisi energi, salah satunya adalah masih minimnya riset dan karya ilmiah tentang energi terbarukan di kampus maupun lembaga riset di Indonesia. Ketika berdiskusi bersama para peneliti, mereka bercerita pentingnya sokongan terkait kebijakan pemerintah yang memprioritaskan pendanaan bagi pengarusutamaan ekosistem penelitian dan laboratorium di Indonesia dalam pengembangan teknologi energi terbarukan.
Secara politis, transisi ini membutuhkan kepemimpinan visioner yang mengerti bahwa kebijakan publik dalam bingkai krisis iklim tidak lagi soal perhitungan efisiensi dan kesesuaian industri dan pasar.
Transformasi energi ini, selain perlunya kegandrungan pada sains, juga pendekatan etis tentang inovasi teknologi yang dapat membantu cita-cita kehidupan bersama yang lebih baik. Secara politis, transisi ini membutuhkan kepemimpinan visioner yang mengerti bahwa kebijakan publik dalam bingkai krisis iklim, tidak lagi soal perhitungan efisiensi dan kesesuaian industri dan pasar, tetapi amanah demi memulihkan kerusakan dan ketidakadilan yang ditimpakan kepada lingkungan hidup dan masyarakat biotik di dalamnya. Transisi ini memerlukan desideratum politis, kehendak dan komitmen politis yang kokoh dan menyeluruh.
Angan-angan ini sontak dapat luntur saat saya menyusuri jalanan dan melihat ratusan spanduk, bentangan baliho berjajar-jajar seraya tanpa ujung, berkampanye tentang visi misi politik kandidat.
Sembari melepaskan napas panjang, kita perlu mempertanyakan keseriusan komitmen politik mereka terhadap lingkungan hidup jika dalam berkampanye saja mereka masih mengikat dan memaku di pohon-pohon.
Saras Dewi, Pengajar Filsafat di Universitas Indonesia