Houthi dan Syiah Yaman
Akankah kelompok Houthi mampu mewujudkan mimpinya membangkitkan kembali supremasi ”Dinasti Zaidiyah” di Yaman?
Beberapa tahun belakangan ini, nama Houthi Yaman mencuat, tak kalah populer dibandingkan dengan Hamas Palestina, Hezbollah Lebanon, atau ISIS (NIIS) di Irak dan Suriah. Padahal, sebelumnya, dunia internasional tak mengetahui sama sekali soal Houthi.
Publik mulai mengenal Houthi ketika kelompok ini muncul sebagai oposisi Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh tahun 2003 dan terutama sejak 2011 saat mereka bergabung dengan kelompok lain dalam gerakan ”Intifada (Revolusi) Yaman” untuk mendongkel pemerintah dan menuntut sang presiden mundur.
Di Timur Tengah (Timteng), Saleh merupakan salah satu presiden terlama. Ia menjadi presiden sejak 1977. Pertama sebagai Presiden Republik Arab Yaman (Yaman Utara) dan setelah Yaman Utara dan Yaman Selatan bersatu membentuk Republik Yaman tahun 1990, ia kembali menjadi presiden hingga tahun 2012 saat ia mundur sebagai buntut intifada.
Kini, nama Houthi kembali populer karena terlibat ”konflik Laut Merah” dengan Amerika Serikat (AS) dan Inggris.
Asal-usul Houthi
Menurut Ahmed Addaghashi, seorang profesor di Universitas Sana’a (Yaman), gerakan Houthi berakar dari Syabab al-Mu’minin, sebuah organisasi teologi-keagamaan kaum muda yang berafiliasi Syiah Zaidiyah, yang bertujuan mempromosikan, menyebarluaskan, dan membangkitkan ajaran aliran Islam ini ke masyarakat luas.
Organisasi pemuda yang didirikan keluarga Houthi ini berdiri pada awal 1990-an, pascaunifikasi Yaman Selatan dan Yaman Utara.
Untuk menarik kalangan remaja dan pemuda, Syabab al-Mu’minin menggelar sejumlah program, seperti summer camp dengan menghadirkan sejumlah tokoh Syiah populis, seperti Muhammad Hussein Fadhlallah (ulama Syiah Lebanon) atau Hassan Nasrallah (pemimpin Hezbollah Lebanon) yang berhasil menggaet puluhan ribu partisipan. Jadi, Houthi awalnya bukan kelompok politik.
Di antara figur penting dari keluarga Houthi itu adalah Hussein al-Houthi. Nama gerakan Houthi saat ini diambil atau diadopsi oleh para pengikut dan loyalis Hussein al-Houthi ini (disebut juga hutiyyun) setelah ia tewas di tangan aparat pemerintah tahun 2004 karena dituduh melakukan gerakan makar dan separatisme.
Nama resmi kelompok ini sebetulnya adalah Ansar Allah. Sementara itu, nama ”Houthi” adalah nama sebuah subsuku atau varian dari Bani Hamdan, salah satu kelompok suku utama beraliran Syiah Ismaili yang berkuasa di Yaman Utara abad ke-12 sebelum ditaklukkan Turan Shah, saudara Salahuddin al-Ayyubi (1193), pemimpin Kurdi-Sunni legendaris dan pendiri Kesultanan Ayub.
Dinasti Ayub hanya beberapa tahun menguasai Yaman Utara. Kelompok Syiah (kali ini Zaidiyah) dari berbagai faksi, suku, dan klan kembali berkuasa hingga berabad-abad kemudian hingga 1962 ketika meletus perang sipil yang mengakhiri dominasi ”rezim Zaidiyah”.
Semasa hidupnya, Hussein al-Houthi disinyalir pernah menjadi anggota dewan (1993-1997) Hizb al-Haqq, sebuah partai politik Islamis yang berafiliasi Syiah Zaidiyah, yang berhasil memperoleh dua kursi legislatif saat pemilu pertama pascaunifikasi digelar tahun 1993. Pemilu berikutnya (1997), Hizb al-Haqq kehilangan kursi dewan karena hanya memperoleh 0,2 persen suara.
Ini menyebabkan parpol ini berkongsi (koalisi) dengan partai oposisi yang juga gagal memperoleh kursi legislatif pada Pemilu 2003 karena hanya memperoleh 0,1 persen suara.
Konflik Houthi-pemerintah
Meskipun tidak memiliki hubungan dan afiliasi resmi dengan ormas Syabab al-Mukminin, Hussein al-Houthi dianggap memiliki peran sentral dalam melakukan militanisasi, radikalisasi, dan ideologisasi sebagian anggota organisasi ini atau pengikut Zaidiyah secara umum.
Pada 2003, sebagai respons atas aneksasi AS di Irak, Hussein al-Houthi mulai memimpin serangkaian aksi massa sambil membawa simbol-simbol (serta meneriakkan slogan-slogan) anti-AS dan Yahudi. Puncaknya 2004, pemerintah yang khawatir hubungan Yaman-AS terganggu, serta kekhawatiran atas meluasnya dampak demonstrasi masa terhadap sikap antipemerintah, akhirnya memutuskan menangkap ratusan demonstran.
Awalnya, Presiden Saleh berinisiatif mengundang Hussein al-Houthi untuk berdialog, tapi Hussein al-Houthi menolak dan bahkan membalasnya dengan melancarkan serangkaian penyerangan (dikenal dengan ”pemberontakan Houthi” yang kelak menjelma menjadi perang sipil) terhadap aparat dan pemerintah pusat. Pemerintah akhirnya menangkap (dan membunuh) Hussein al-Houthi dan memburu pengikutnya.
Meski Hussein al-Houthi tewas dan aparat berkali-kali berusaha menumpas Houthi, gerakan kelompok ini tidak ikut mati. Setelah kematiannya, gerakan Houthi berurut-turut dipimpin ayah almarhum (Badruddin al-Houthi, politisi dan ulama Syiah Zaidiyah).
Sepeninggal sang ayah tahun 2010, kelompok tersebut hingga kini dipimpin Abdul Malik al-Houthi (adik Hussein al-Houthi). Kendati pemerintah dan Houthi berkali-kali mengadakan perundingan (sebagian difasilitasi Oman dan Arab Saudi), perundingan itu belum menghasilkan solusi yang memuaskan kedua pihak yang berbeda sikap dan pandangan dalam melihat negara Yaman.
Konflik dan perang sipil berkepanjangan antara Houthi dan pemerintah (dan sekutunya) ini kembali membuat Yaman porak-poranda. Apalagi kini ditambah dengan serangan udara AS-Inggris yang melakukan aksi balas dendam atas tindakan Houthi yang menyerang kapal-kapal komersial dan militer di Laut Merah karena disinyalir berpotensi membantu Israel.
PBB menyebut Yaman sebagai salah satu negara dengan tingkat krisis kemanusiaan terbesar dan terdarurat di dunia karena menyebabkan lebih dari 21,6 juta warga hidup sengsara.
Sejumlah faktor
Munculnya gerakan Houthi yang sudah beberapa tahun mengontrol sebagian kawasan Yaman utara merupakan akumulasi dari sejumlah faktor internal dan eksternal. Di antara faktor internal yang mendorong pendirian gerakan Houthi, menurut para elite kelompok militan ini, adalah kemiskinan dan keterbelakangan yang melanda rakyat Yaman serta korupsi yang menimpa pemerintah.
Serangkaian aneksasi AS di Irak (dan Afghanistan) atau Israel di Palestina juga turut andil dalam pembentukan gerakan Houthi. Pengaruh Hezbollah, salah satu faksi politik-agama militan Syiah Lebanon, juga tidak bisa diabaikan.
Sejak 1990-an, para elite Houthi menjalin jejaring dengan petinggi Hezbollah meskipun keduanya dari aliran Syiah yang berbeda. Di Timteng, pengaruh Hezbollah tidak hanya terbatas di Lebanon, tetapi juga di kawasan lain. Dulu di Arab Saudi juga ada Hezbollah Hijaz, di Kuwait ada Hezbollah Kuwait, dan lain-lain.
Hezbollah dibentuk pada awal 1980-an oleh para tokoh Syiah Lebanon pengikut mendiang Imam Khomeini untuk melawan agresi militer Israel di Lebanon. Iranlah yang mendanai dan melatih milisi Hezbollah. Iran sendiri mengirim ribuan personel dari Penjaga Revolusi Islam ke Lebanon untuk membantu Hezbollah.
Pendirian gerakan radikal Houthi bisa juga lantaran dipicu oleh kegagalan partai Hizb al-Haqq dalam menarik suara rakyat dalam Pemilu 1997 dan 2003. Bisa jadi kegagalan berjuang lewat jalur politik ini mendorong Hussein al-Houthi dan loyalisnya memilih ”jalur singkat” insurgensi dengan cara perlawanan fisik dan pemberontakan bersenjata untuk menguasai Yaman utara.
Faktor yang tidak kalah penting adalah keinginan untuk melakukan ”revivalisme” (kebangkitan kembali) otoritas kekuasaan politik-agama Syiah Zaidiyah yang pernah berkuasa di Yaman utara selama berabad-abad setelah hengkangnya Dinasti Ayub.
Motivasi membangkitkan otoritas politik atau kekuasaan lama ini juga disinyalir yang menjadi alasan dan agenda tersembunyi Taqiyuddin al-Nabhani ketika mendirikan Hizbut Tahrir pada awal 1950-an, yakni untuk mewujudkan kembali kekuasaan leluhurnya (Bani Nabhan), yaitu Dinasti Nabhani (Daulah Nabahina) yang pernah menguasai sebagian wilayah Timteng (khususnya Oman) selama beberapa-abad setelah berhasil mengudeta Bani Saljuk.
Keberagaman Syiah
Houthi hanyalah sekelumit dari sekian cerita Syiah di Yaman dan Timteng pada umumnya yang beragam dan kompleks.
Umat Syiah di Yaman berkisar 30-35 persen. Selebihnya, 65-70 persen, adalah Sunni- Syafii. Meskipun mayoritas Syiah di Yaman adalah pengikut Zaidiyah, kelompok Syiah lain, seperti Imamiyah (Itsna ’Asyariyah) dan Ismailiyah (Ismaili), juga ada.
Dominasi Zaidiyah di Yaman menarik dan ”spesial” karena mayoritas Syiah di Timteng adalah pengikut Imamiyah. Selain Yaman, negara Timteng dengan populasi Syiah cukup signifikan adalah Irak, Lebanon, Bahrain, dan Arab Saudi.
Selain ketiga kelompok Syiah tersebut, ada beberapa varian Syiah lain yang tinggal di sejumlah kawasan di Timteng, seperti Ismaili Nizari, Mustaali Dawoodi Bohra, Alawi, dan Sulaimani Bohra. Di Madinah (Arab Saudi) ada sekelompok umat Syiah yang menamakan diri Nakhawila.
Pengikut Zaidiyah tidak hanya tinggal di Yaman, tetapi juga di Arab Saudi bagian selatan, seperti Najran yang berbatasan dengan Yaman.
Akankah Houthi mampu mewujudkan mimpinya membangkitkan kembali supremasi ”Dinasti Zaidiyah” di Yaman?
Seperti Sunni, Syiah juga beraneka ragam dari aspek ajaran, doktrin, tradisi, kultur, etnisitas pengikut, praktik ritual, pemahaman dan wacana keagamaan, afiliasi dan ekspresi politik, dan lain-lain.
Misalnya, dalam konteks Houthi, meskipun kelompok ini berafiliasi dengan Zaidiyah, bukan berarti semua pengikut Syiah ini mendukung gerakan Houthi. Banyak dari mereka yang kontra terhadap visi, misi, platform, strategi, taktik, dan praktik kekerasan Houthi. Misalnya, merekrut anak-anak sebagai milisi, menyandera warga sipil, dan lain-lain.
Akankah Houthi mampu mewujudkan mimpinya membangkitkan kembali supremasi ”Dinasti Zaidiyah” di Yaman? Tanpa dukungan signifikan dari dalam negeri Yaman yang mayoritas Sunni dan dunia internasional, mimpi Houthi sepertinya hanya tinggal mimpi.
Baca juga: Kelompok Houthi, Mesin Perang di Yaman yang Terus Menyala
Sumanto Al Qurtuby, Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi