Kelompok Houthi, Mesin Perang di Yaman yang Terus Menyala
Perang Gaza berimbas ke Laut Merah. Dari kelompok perlawanan, Houthi menjelma menjadi kekuatan militer regional.
Serangan-serangan roket kelompok Houthi ke sejumlah kapal logistik yang diklaim memiliki hubungan dengan Israel dan Amerika Serikat di Laut Merah membuat cemas banyak pihak. Serangan ini dikhawatirkan tak hanya sebagai perluasan konflik, terkait aksi bumi hangus dan tuduhan genosida militer Israel terhadap Gaza dan rakyat Palestina. Memanasnya konflik di Laut Merah juga bisa mengguncang perekonomian dunia mengingat Laut Merah adalah salah satu urat nadi ekonomi dunia.
Pemimpin kelompok Houthi, Abdul Malik Badruddin al-Houthi, dalam pidatonya yang disiarkan kantor berita Saba, 11 Januari 2024, menyatakan, mereka harus menyerang di Laut Merah. Alasannya, di tengah desakan dunia agar perang di Gaza dan kekejaman terhadap rakyat Palestina dihentikan, Amerika Serikat berkeras memberi lampu hijau kepada Israel untuk melanjutkan kekejamannya di Gaza. Apalagi, tak hanya memberi dukungan moril, AS juga memasok persenjataan ke Israel.
”Adalah tanggung jawab kemanusiaan bagi seluruh umat manusia, semua negara untuk bertindak, menghentikan ketidakadilan itu,” kata Badruddin al-Houthi.
Ia menyatakan, pihaknya melancarkan serangan di laut karena Laut Merah masuk dalam jangkauan mereka. Serangan itu dilakukan sebagai tanggung jawab moral dan keyakinan mereka terhadap sesama saudara rakyat Palestina.
Baca juga: Mengenal Hezbollah dan Houthi, Jejaring Poros Perlawanan terhadap Israel
Rashid Mohammed (28), warga Provinsi Hodeidah di Yaman timur, mengatakan, Houthi selama satu dekade terakhir dipandang negatif oleh banyak warga Yaman karena mesin perang mereka dianggap telah membawa kesengsaraan bagi rakyat negara itu. ”Akan tetapi, dukungan mereka (Houthi) terhadap warga Palestina di Gaza membuat kami bangga,” tuturnya.
”Banyak orang memilih melupakan pengalaman pahit akibat Houthi dan bergabung dengan kelompok ini. Hal ini akan memperkuat kekuasaannya dan pengaruhnya di kawasan,” ujar Mohammed.
Pernyataan tersebut bisa mewakili perasaan sebagian besar warga Yaman saat ini. Berawal dari gerakan ketidakpuasan terhadap Pemerintah Yaman atas perlakuan diskriminatif terhadap warga Muslim Syiah tahun 1990-an, Houthi tak pernah berhenti berperang sejak saat itu. Perang enam tahun pada 2004-2010, kemudian berlanjut dengan konflik rembesan Musim Semi Arab, menyeret Houthi masuk ke dalam pusaran politik di Sana’a.
Hingga akhirnya, pecahlah perang saudara. Menurut catatan PBB, hampir 400.000 warga Yaman tewas sepanjang konflik tahun 2015-2022. Itu belum termasuk perang antara Houthi dan Pemerintah Yaman sebelumnya.
Tahun 2023, rakyat Yaman baru saja bernapas lega dan melihat tanda-tanda pemulihan pascakonflik yang sangat panjang. Data lembaga-lembaga PBB menyebutkan, lebih dari 21 juta warga Yaman membutuhkan bantuan kemanusiaan. Mereka dilanda krisis kemanusiaan akut.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 1 Januari 2024, menyebut para pengungsi di dalam negeri mencapai empat juta jiwa. Dari jumlah ini, sekitar 50 persennya adalah anak-anak.
Baca juga: Ledakan Bom di Masjid Iran Ancam Perluas Eskalasi Konflik di Timur Tengah
Laporan WHO juga mengungkap, 71 persen dari 333 distrik di Yaman mengalami krisis kemanusiaan yang parah. Penyebabnya adalah ketiadaan bahan makanan dan lebih dari 50 persen fasilitas kesehatan tidak berfungsi.
Program Pangan Dunia (WFP), Desember 2023, menyebut, stok bahan pangan di wilayah-wilayah yang dikuasai Houthi hampir habis. Bantuan bahan pangan sulit masuk ke wilayah-wilayah itu karena ada gangguan rantai pasok. Yaman, dalam catatan PBB, saat ini menjadi lokasi pusat krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Tak hanya mahir perang
Kelompok Houthi kini tidak dipandang sebagai kelompok bersenjata. Pascaperang enam tahun (2004-2010), mereka bergerak lebih luwes, masuk ke ranah politik. Houthi pernah berhadap-hadapan dengan Ali Abdullah Saleh, mantan Presiden Yaman. Belakangan, dua pihak itu bergandengan tangan menumbangkan pemerintahan Presiden Abdurabbuh Mansour Hadi tahun 2014.
Terdesak di Sana’a, Hadi hengkang ke Aden dan mendirikan pemerintahan darurat di sana sebelum hijrah dan tinggal di pengasingan di Arab Saudi.
Kelompok Houthi kini tidak dipandang sebagai kelompok bersenjata. Pascaperang enam tahun (2004-2010), mereka bergerak lebih luwes, masuk ke ranah politik.
Sementara Houthi bersama Saleh, setelah menguasai Sana’a, melakukan bersih-bersih. Mereka membubarkan parlemen, membentuk dewan transisi dengan tugas menyusun dewan presidensial untuk memilih tokoh-tokoh yang dinilai bisa memimpin negara. Koalisi Houthi dan Saleh ini kemudian sama-sama merumuskan kembali konstitusi Yaman.
Namun, kerja sama itu hanya berlangsung singkat. Kedua pihak itu berselisih paham. Pada pekan kedua Desember 2017, Saleh tewas dieksekusi pasukan Houthi di tepi salah satu ruas jalan di Sana’a selatan saat hendak melarikan diri.
Gregory D Johnsen, mantan anggota tim panel ahli PBB untuk Yaman, mengatakan, dari sebuah kekuatan kecil di pegunungan, sebagai kumpulan para pelajar dan pendukung kelompok Syiah, Houthi memenangi perang. Tekanan berbagai pihak, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa, tak membuat mereka ciut. Kelompok itu juga berhasil di meja perundingan.
Negara dalam negara
Johnsen menyebut Houthi sebagai negara dalam negara. Ada tiga hal yang membuat mereka menjadi sangat kuat saat ini. Pertama, kelompok itu lebih fleksibel dan gesit serta memiliki kemampuan dan pengaruh yang mengubah posisi lawan menjadi kawan. ”Berbeda dengan koalisi multinasional pimpinan Arab Saudi yang sering kali mengubah sekutu menjadi musuh,” kata Johnsen.
Contoh paling jelas terlihat pada hubungan antara Saleh dan Houthi. Saleh, saat menjabat presiden, menggempur Houthi selama perang enam tahun. Pada 2012, mereka menjalin hubungan dan bisa menggulingkan pemerintahan Hadi.
Ketika Musim Semi Arab juga bertiup ke Yaman, Saleh dan Houthi bekerja sama untuk menyeimbangkan kekuatan menghadapi Hadi dan Ali Mohsen al-Ahmar. September 2014, Saleh membuka jalan dengan memerintahkan anggota militer loyalisnya membiarkan Houthi masuk ibu kota Sana’a. Saleh dan Houthi juga berbagi kekuasaan melalui pembentukan dewan presidensial.
Alasan kedua adalah keuntungan dari pengambilan keputusan yang buruk oleh lawan mereka di politik ataupun di medan tempur, khususnya yang dilakukan Hadi saat menjabat sebagai presiden dan pasukan koalisi negara-negara Arab.
Alasan ketiga, mirip dengan alasan kedua, yaitu perbedaan sikap di kalangan pasukan koalisi, khususnya antara Uni Emirat Arab dan Arab Saudi.
Baca juga: AS-Inggris Gempur Kota-kota di Yaman
Mesin perang Houthi terus berkembang seiring bergulirnya waktu. Dari semula gerakan kecil berdasarkan ideologi dan kesukuan, Houthi kini diperkirakan memiliki 200.000 anggota yang menguasai hampir 70 persen wilayah Yaman. Kemampuan militer mereka juga terus meningkat seiring meluasnya wilayah yang mereka kuasai, terutama daerah-daerah kaya minyak.
Dana untuk perang
Menurut laporan tim panel ahli PBB, antara periode Desember 2021 dan November 2022, Houthi meraup dana sekitar 271 juta dollar AS dari hasil penguasaan Pelabuhan Hodeidah untuk ekspor minyak. Selain itu, mereka juga memiliki sumber pendapatan lain, seperti pajak layanan seluler dan telepon rumah, transaksi perbankan, rumah sakit, apotek, dan zakat. Panel ahli PBB memperkirakan, mereka mengantongi dana hingga 45 miliar riyal atau sekitar Rp 280 miliar per tahun.
Alih-alih mengalokasikan pendapatan tersebut untuk membayar pegawai negeri sipil di daerah-daerah di bawah kendali mereka, menurut laporan tim panel PBB, Houthi menggunakan dana itu untuk memenuhi kantong sendiri dan membiayai kegiatan militer.
Dana yang diperoleh Houthi diduga digunakan untuk membeli berbagai perlengkapan militer, persenjataan, hingga sistem pertahanan udara dan laut. Menurut laporan Institut Internasional untuk Studi Strategis (IISS), Iran menjadi sumber utama pemasok teknologi rudal antikapal untuk Houthi.
Kelompok ini juga punya beberapa rudal antikapal peninggalan militer Yaman buatan era Uni Soviet dan China, seperti rudal P-21 dan P-22 buatan Soviet (RS-SSC-3 Styx), serta C-801 China yang lebih modern (YJ-81/CH-SS-N-4 Sardine).
Houthi memperoleh teknologi persenjataan dari Iran sejak 2015. Saat menyerang kapal pengangkut pasukan milik UEA HSV-2 Swift dan mencoba menyerang USS Mason (DDG-87), Houthi dilaporkan menggunakan rudal antikapal buatan Iran, walau bukti kuat soal kaitan ini masih kurang.
Relasi Iran-Houthi baru terlihat setelah tahun 2019, kapal USS Forest Sherman (DDG-98) milik Angkatan Laut AS mencegat sebuah kapal di Laut Arab yang menyelundupkan senjata buatan Iran ke Yaman. Senjata itu termasuk versi C-802 China (YJ-82/CH-SS- N-6 Saccade) rudal jelajah antikapal (ASCM).
Baca juga: Posisi Iran dan Proksinya dalam Perang Gaza
Iran mulai memproduksi C-802 yang memiliki jangkauan hingga 120 kilometer (km) dengan nama Nour pada tahun 1990-an. Senjata itu kemudian dikembangkan menjadi Ghader dengan jangkauan 200 km dan Ghadir dengan jangkauan 300 km. Meskipun belum jelas versi mana yang diterima Houthi, kelompok itu mengklaim C-802 mereka (bernama Al-Mandab 2) berdaya jangkau 300 km.
Saat menggelar parade militer tahun 2022 dan 2023, Houthi juga dilaporkan meluncurkan dua versi rudal antikapal Quds/351 LACM Iran. Satu versi diduga dilengkapi pencari radar (Sayyad), dan versi lain memiliki pencari elektro- optik/inframerah (Quds Z-0). Berdasarkan jangkauan Quds dan pernyataan Houthi, kedua sistem tersebut dapat memiliki jangkauan setidaknya 800 km.
Houthi juga memiliki rudal buatan Iran, Tankil, yang dimodifikasi dan memiliki jangkauan hingga 500 km. Terakhir, Houthi juga diketahui memiliki rudal permukaan-ke-udara S-75 (SA-2), kemungkinan berasal dari persediaan tentara Yaman sebelum perang, yang dimodifikasi untuk perang antikapal menggunakan peralatan panduan Iran.