Mengenal Hezbollah dan Houthi, Jejaring Poros Perlawanan terhadap Israel
Kelompok Houthi dan Hezbollah dikenal terkait aksi-aksi mereka menyerang Israel atau sekutunya. Siapakah mereka?
Milisi Hezbollah di Lebanon dan kelompok Houthi di Yaman tampil sebagai poros perlawanan terhadap Israel menyusul pecahnya perang antara Hamas dan Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023. Dua kelompok itu cukup merepotkan Israel dan pihak-pihak terkait. Dari segi kelahirannya, kedua kelompok itu awalnya merupakan kelompok militer, kemudian bermetamorfosis jadi kekuatan politik.
Kelompok Houthi di Yaman, Minggu (7/1/2023), mengeluarkan seruan kepada semua kapal yang melintas di Laut Merah. Kapal-kapal itu diminta memberi tahu tujuan mereka lebih dulu dan memberikan pernyataan bahwa perusahaan mereka atau barang yang diangkut tidak memiliki kaitan dengan Israel. Ini adalah syarat agar kapal-kapal itu tidak menjadi sasaran serangan roket-roket Houthi.
”Ini solusi sederhana dan berbiaya rendah, tidak perlu mengeluarkan apa pun secara finansial. Hal itu tidak sampai memiliterisasi Laut Merah dan juga tidak membahayakan navigasi internasional,” kata Mohammed Ali Houthi, sepupu Abdul Malik Badreddin al-Houthi, pemimpin kelompok Houthi, yang menjabat Pemimpin Komite Revolusioner Houthi, di media sosial X.
Frekuensi serangan Houthi ke kapal-kapal logistik dan pengangkutan di Laut Merah mulai meningkat sejak Hamas dan Israel berperang, awal Oktober 2023. Kelompok ini melancarkan lebih dari 20 serangan roket dan pesawat nirawak (drone) terhadap kapal komersial dan militer, khususnya kapal laut milik sekutu Israel.
Tindakan itu diklaim untuk memaksa Israel secara langsung menghentikan serangan ke Gaza. Saat ini serangan Israel telah menewaskan lebih dari 23.000 warga sipil Palestina.
Hal serupa juga terjadi di wilayah utara Israel. Kelompok Hezbollah, sejak awal perang Gaza, telah menembakkan roket-roketnya dari wilayah perbatasan ke Israel. Tujuannya saat itu adalah untuk memecah konsentrasi serangan Israel agar tidak terpusat ke Gaza.
Baca juga : Baku Tembak Sengit AS-Houthi di Laut Merah, Houthi Kehilangan 10 Anggotanya
Akan tetapi, menjelang 100 hari serangan Israel ke Gaza serta kematian sejumlah petinggi dan komandan lapangannya, Hezbollah mengintensifkan serangan. Serangan terakhir adalah ke basis militer Israel di kota Safed, Israel utara.
Sejumlah analis menilai, beberapa kelompok yang menyerang Israel secara sporadis tidak serta-merta menginginkan eskalasi konflik lebih luas. Akan tetapi, kelompok-kelompok ini ”diikat” rasa persaudaraan dan kesatuan oleh almarhum Qassem Soleimani, Komandan Brigade Al-Quds Garda Revolusi Iran, hingga tumbuh menjadi jaringan dengan ikatan yang kohesif.
Mereka kerap dijuluki ”poros perlawanan” (axis of resistance). ”Ketika kelangsungan hidup seseorang atau satu kelompok terancam, semua akan bersatu,” kata Randa Slim, analis Institut Timur Tengah.
Dari militer ke politik
Keberadaan kelompok ini tak terlepas dari situasi dalam negeri Lebanon dan kawasan Timur Tengah. Jika ditarik jauh ke belakang, tak lepas juga dari berdirinya entitas bangsa Yahudi yang mendirikan negara bernama Israel tahun 1948.
Benih-benih kelompok itu sudah terbangun ketika kaum terpelajar di Lebanon mempelajari pemikiran ulama Syiah, seperti Mohammed Baqr al-Sadr dan Ayatollah Ruhollah Khomeini, pendiri Republik Islam Iran. Dua tokoh itu mempromosikan nilai-nilai Islam yang dipandang sebagai penyeimbang sekularisme dan ideologi kiri yang menarik minat kaum pelajar di Timur Tengah, termasuk Lebanon.
Hezbollah lahir sebagai kelompok ”perlawanan” karena situasi dalam negeri Lebanon tidak mendukung mereka sebagai kelompok minoritas. Tahun 1940-an hingga sekitar 1980-an, Lebanon didominasi oleh kelompok Islam Sunni dan Kristen.
Pembagian kekuasaan di antara kelompok-kelompok berbasis agama di Lebanon membuat kondisi politik dan keamanan di dalam negeri sangat tidak kondusif. Kelompok Muslim Syiah adalah minoritas di sana meski mereka mendapatkan ”jatah” di parlemen.
Maren Koss, peneliti Institut Jerman untuk Studi Kawasan dan Global, seperti dikutip laman Carnegie Middle East Center, menyebut, ada tiga faktor pendorong kemunculan Hezbollah, yakni marjinalisasi kelompok Muslim Syiah, pengaruh revolusi Iran 1979 yang menyebar ke kawasan, dan respons serangan Israel ke wilayah Lebanon selatan.
Ada tiga faktor pendorong kemunculan Hezbollah, yakni marjinalisasi kelompok Muslim Syiah, pengaruh revolusi Iran 1979 yang menyebar ke kawasan, dan respons serangan Israel ke wilayah Lebanon selatan. (Maren Koss)
Hezbollah berdiri secara resmi tahun 1982 sebagai kelompok perlawanan. Mereka mendapat suntikan dari Iran untuk menghadapi militer Israel yang menduduki wilayah Lebanon selatan. Pasukan Garda Revolusi Iran memberikan bantuan, mulai dari dana, pelatihan, hingga persenjataan, kepada kelompok yang tengah berkembang itu.
Baca juga : Ledakan Bom di Masjid Iran Ancam Perluas Eskalasi Konflik di Timur Tengah
Gerakan ini dikaitkan dengan aksi teror setelah dua kali serangan terhadap kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat di Beirut tahun 1983 dan 1984. Serangan Hezbollah paling mematikan adalah ketika anggotanya meledakkan barak Marinir AS dan Pasukan Terjun Payung Perancis yang menewaskan lebih dari 300 prajurit.
Sejak 1984, lebih dari 100 orang asing di Lebanon diculik diduga oleh anggota atau simpatisan kelompok itu. Hal ini dibantah Hezbollah.
Perlahan, setelah gerakannya dikenal sebagai kelompok perlawanan yang berorientasi militer, Hezbollah bertransformasi menjadi gerakan politik. Hassan Nasrallah, pemimpin Hezbollah saat ini, adalah sosok yang memimpin transformasi Hezbollah menjadi partai politik menyusul tewasnya Abbas al-Musawi, pemimpin lama.
Nasrallah menguasai hampir semua badan di Hezbollah, mulai dari majelis politik, majelis jihad, majelis parlemen, hingga majelis eksekutif dan yudikatif.
Baca juga : Menghitung Kerugian Iran Setelah Israel Membunuh Jenderal Mousavi
Transformasi itu membuat rakyat Lebanon menerima keberadaan Hezbollah menjadi bagian dari sistem politik negara. Sejak tahun 1992, Hezbollah telah menjadi bagian dari pemerintahan dan parlemen. Bahkan, di pemilu tahun 2022, Hezbollah mendapat 13 kursi di parlemen dari total 128 kursi.
Meski telah bertransformasi menjadi partai politik, Hezbollah bisa mempertahankan kekuatan militernya, berdasarkan Perjanjian Taif 1989. Berdasarkan perjanjian ini, menurut Institut Internasional untuk Studi Strategis, Hezbollah memiliki lebih dari 20.000 anggota pasukan aktif dan 20.000 personel pasukan cadangan dengan lebih dari 100.000 roket jarak menengah dan jarak jauh.
Mereka juga diperkirakan memiliki tank, drone, dan amunisi yang jauh lebih baik setelah perang dengan Israel tahun 2006.
Perlawanan di Yaman
Di Yaman, berdirinya kelompok Houthi tidak jauh berbeda dengan Hezbollah, yaitu marjinalisasi kelompok minoritas Syiah. Seperti halnya agama lain yang memiliki kelompok-kelompok kecil, Muslim Syiah juga memiliki beberapa kelompok kecil di bawahnya, salah satunya adalah Syiah Zaidiyah, yang berkembang di Yaman utara dan terkonsentrasi di kelompok suku Zaidi.
Perlawanan Houthi mulai terjadi pada awal 1990-an dalam Perang Teluk menyusul invasi Irak ke Kuwait. Perlawanan itu dipimpin oleh Hussein Badreddin al-Houthi terhadap Pemerintah Yaman yang dianggap memojokkan kelompok ini, terutama setelah kehadiran kelompok Islam Sunni dari Arab Saudi.
Hussein Badreddin, anggota parlemen Yaman periode 1993-1997, memberi nama gerakan perlawanan itu. Houthi diklaim sebagai pembela serta penyegar budaya dan ajaran Syiah Zaidiyah.
Hussein terbunuh saat pasukan Pemerintah Yaman mencoba menangkapnya gara-gara kritik pedas yang dilancarkannya terhadap pemerintahan Presiden Ali Abdullah Saleh. Presiden Ali—tewas dalam serangan Houthi tahun 2017—dianggap mendukung AS dalam Perang Teluk.
Tongkat pimpinan gerakan beralih ke tangan Badr al-Din, sang ayah, untuk sementara sebelum kemudian digantikan oleh adik Hussein, yakni Abdul Malik Badreddin al-Houthi.
Baca juga : Serangan Kapal Niaga Meluas dari Laut Merah ke Samudra Hindia
Selain mendapat dukungan kuat dari banyak kelompok dan membuatnya menjadi besar, di tangan Abdul Malik, Houthi menjelma menjadi kekuatan militer yang kuat dan mampu mengimbangi kekuatan militer Pemerintah Yaman yang dibantu oleh Arab Saudi dan sekutu-sekutunya, termasuk AS.
Perlawanan terhadap AS dianggap sebagai perjuangan ideologis. Perang terhadap Israel juga sejalan dengan ideologi mereka meski secara geografis, letak kedua negara itu berjauhan. Aksi-aksi mereka, khususnya di Laut Merah, sejalan dengan solidaritas mereka terhadap perjuangan rakyat Palestina di Gaza.
Walau sejauh ini serangan roket-roket Houthi belum menjangkau wilayah teritorial Israel, para analis menilai, kelompok itu memiliki kemampuan militer yang signifikan. Sebagian kemampuan mereka diyakini merupakan warisan militer Yaman. Sebagian lain kemampuan itu dipasok oleh Iran, termasuk rudal balistik dengan jangkauan hingga 2.000 kilometer.
Baca juga : Berkumpul di Beirut, Poros Perlawanan Koordinasikan Pembalasan Serangan
Houthi diyakini memiliki sekitar 10 sistem rudal yang berbeda, termasuk rudal balistik antikapal dengan jangkauan hingga 500 kilometer dan rudal jelajah yang bisa mencapai jarak 800 kilometer.
Selain itu, Houthi juga memiliki unit angkatan laut yang telah terbukti kehebatannya. Mereka, antara lain, menyerang kapal fregat Arab Saudi pada Januari 2017, menargetkan kapal tanker Muskie MT pada Mei 2017, menyita kapal Arab Saudi dan Korea Selatan pada November 2019, serta menyerang kapal Israel MV Helios Ray di Teluk Aden pada Februari 2021.
Menurut data Middle East Council of Global Affairs, Houthi memiliki armada drone cukup besar yang sebagian di antaranya bisa menjangkau Tel Aviv. RAND, lembaga penelitian Amerika Serikat, menyebut kelompok Houthi sebagai penerus Hezbollah. (AP)