Disorientasi Penangkapan Ikan Terukur
Mengaitkan PIT dengan target PNBP perikanan tangkap yang memberatkan nelayan merupakan disorientasi kebijakan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dalam konferensi pers outlook dan program prioritas sektor kelautan dan perikanan 2024 (10/1/2024) ditanya mengenai pelaksanaan penangkapan ikan terukur yang beberapa kali tertunda. Dalam wawancara sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan mengatakan aturan penangkapan ikan terukur belum disosialisasikan secara optimal sehingga masih timbul disinformasi.
Namun, jika kita merunut kronologis polemik penangkapan ikan terukur, penundaan pelaksanaannya kerap kali dikaitkan dengan penarikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Direktur Perizinan dan Kenelayanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) (19/1/2023) menyatakan, penarikan pra-produksi sudah tidak dapat dilakukan per 1 Januari 2023 sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 karena ingin memperbaiki tata kelolanya menjadi penarikan PNBP pasca-produksi.
Anehnya, sebelumnya, Direktorat Jendral Perikanan Tangkap (DJPT) justru mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor B.586/SJ/PI.410/XI/2022 tanggal 3 Desember 2022 yang mendesak nelayan pelaku usaha untuk segera mengurus pendaftaran dan mengurus surat perizinan termasuk surat izin penangkapan Ikan (SIPI) serta surat izin kapal pengangkutan ikan pra-produksi dengan batas waktu 15 Desember 2022. Alasannya untuk persiapan pelaksanaan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) tahun 2023 dan juga akan menjadi pertimbangan dalam penentuan kuota penangkapan ikan dan zona PIT.
Baca juga: Polemik Penangkapan Ikan Terukur
Akibat desakan surat edaran DJPT tersebut, jumlah SIPI pra-produksi meningkat menjelang akhir 2022. Nelayan pelaku usaha yang sudah membayar di muka PNBP untuk SIPI pra-produksi yang berlaku satu tahun, kemudian dinyatakan hangus tidak berlaku lagi oleh otoritas yang sama. Inkonsistensi ini sangat merugikan nelayan pelaku usaha dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta merusak iklim usaha investasi.
Mengacu PP 85/2021 Pasal 2 angka 5 huruf a, penarikan pra-produksi seharusnya masih tetap berlaku bagi kapal penangkap ikan yang mendaratkan hasil tangkapan ikannya di pelabuhan pangkalan yang belum memenuhi syarat penarikan pasca-produksi. Sementara Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 139/2023 yang menetapkan 171 pelabuhan pangkalan yang telah memenuhi syarat penarikan pasca-produksi diterbitkan pada 15 Agustus 2023.
Pelaksanaan PIT diwarnai dengan unjuk rasa dan penolakan di sejumlah daerah, tetapi KKP bersikukuh tetap akan melaksanakan penangkapan ikan terukur tanpa mengindahkan minimnya sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang faktanya belum siap di beberapa pelabuhan pangkalan. Tahapan pelaksanaan PIT yang kurang siap terkesan dipaksakan dan janggal karena hanya berdasarkan surat edaran menteri yang bukan norma hukum dan tidak dikategorikan peraturan perundang-undangan.
Inkonsistensi kebijakan
Merujuk data Kementerian Keuangan, perolehan PNBP perikanan pra-produksi mencapai Rp 1,192 triliun pada 2022. Jika dibagi dengan jumlah SIPI aktif izin pusat 6.171 unit, artinya nelayan pelaku usaha rata-rata menanggung beban PNBP Rp 193 juta per tahun, relatif tinggi untuk ukuran kapal rata-rata 93 GT (gros ton). Sementara perolehan PNBP perikanan pasca-produksi untuk periode Januari-November 2023 mengalami kontraksi minus 51,70 persen year on year (YoY), nilainya hanya Rp 490,10 miliar.
Inkonsistensi kebijakan bermula dari kerancuan direktorat perizinan KKP yang menghentikan proses permohonan izin berusaha karena mengaitkan SIPI pasca-produksi dengan penangkapan ikan terukur, akibatnya terjadi kevakuman menunggu PP 11/2023 yang baru ditetapkan pada 6 Maret 2023. Proses perizinan mulai dibuka kembali pertengahan Maret 2023, tetapi masih tersendat menunggu lagi terbitnya Peraturan Menteri KP 28/2023 yang ditetapkan pada 1 September 2023.
Jumlah SIPI izin pusat yang awalnya 6.171 (12/01/2023) naik 83,6 persen menjadi 11.331 (29/12/2023) akibat bertambahnya migrasi kapal ukuran 5-29 gros ton (GT) yang beroperasi di atas 12 mil. Kapal-kapal itu semula izin provinsi menjadi izin pusat sehingga kapasitas penangkapan GT meningkat 32,78 persen, tetapi ukuran GT kapal rata-rata mengecil dari 93 GT menjadi 67 GT.
Ironisnya kenaikan jumlah SIPI hanya mencerminkan kenaikan angka saja, bukan peningkatan kapasitas penangkapan ikan rill sehingga tidak mampu mendongkrak perolehan PNBP pasca-produksi.
Inkonsistensi kebijakan bermula dari kerancuan direktorat perizinan KKP yang menghentikan proses permohonan izin berusaha.
Keruwetan peralihan dari SIPI pra-produksi ke SIPI pasca-produksi bertambah dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan No B.1569/MEN-KP/X/2023 pada 2 Oktober 2023. SE ini tentang tahapan pelaksanaan penangkapan ikan terukur yang mewajibkan nelayan pelaku usaha yang belum melaporkan data produksi sebenarnya pada aplikasi e-PlT, harus mengisi laporan perhitungan mandiri (LPM) tambahan dalam aplikasi e-PIT, serta membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pasca-produksi.
Pelaku usaha yang tidak melakukan evaluasi dan tidak melaporkan data hasil evaluasi, maka standar laik operasi (SLO) dan persetujuan berlayar (PB) tidak dapat diterbitkan. Bagi kapal perikanan yang perizinan berusahanya diterbitkan oleh KKP, akun pada aplikasi e-PlT (Penangkapan Ikan Terukur secara Elektronik) akan dibekukan dan hanya dapat dibuka kembali oleh Dirjen Perikanan Tangkap.
Tahapan pelaksanaan PIT berdasarkan surat edaran tersebut sangat janggal dan menimbulkan keresahan di kalangan nelayan pelaku usaha karena kapal ikan masih di laut dan ada juga yang masih berada di pelabuhan domisili dipaksa mengisi LPM tambahan. Nelayan pelaku usaha juga dituduh kurang bayar PNBP sehingga harus minimal membayar ”uang muka” atau down payment.
Muncul anekdot sinisme ”pasca-produksi rasa pra-produksi”. Demi keberlangsungan usahanya, nelayan pelaku usaha terpaksa mengisi laporan evaluasi mandiri tambahan hasil tangkapannya dan menandatangani pernyataan bertanggung jawab atas kebenaran laporannya, padahal belum mendaratkan hasil tangkapannya meski pun tidak sesuai dengan tata cara pungutan pasca-produksi.
Ketidaksesuaian tersebut berpotensi malaadministrasi dan merugikan nelayan pelaku usaha sehingga harus ada tindakan proaktif untuk memeriksa semua dokumen terkait surat tanda bukti lapor kedatangan kapal (STBLKK) yang dicocokkan dengan tanggal kedatangan dan posisi kapal berdasarkan rekam jejak VMS (vessel monitoring system). Selisih data jumlah SIPI aktif dengan jumlah kapal aktif yang riil di command center KKP harus dipantau terus dan dilakukan sinkronisasi.
Laporan perhitungan mandiri tambahan jumlah hasil tangkapan ikan yang tidak sesuai fakta merupakan penyimpangan dan dapat mengancam keberlangsungan usaha nelayan pelaku usaha juga keberlanjutan sumber daya ikan. Nelayan yang telah menandatangani pernyataan bertanggung jawab terhadap jumlah hasil tangkapan dan jenis ikan dapat dijadikan kambing hitam dan dituduh membuat laporan fiktif jika timbul masalah di kemudian hari.
Polemik tahapan pelaksanaan PIT berakhir sementara setelah Solidaritas Nelayan Indonesia diterima Presiden Jokowi di istana, yang meminta Menteri Kelautan dan Perikanan menunda pelaksanaan PIT. Ternyata sehari sebelumnya, Menteri Kelautan Perikanan sudah menerbitkan SE Nomor B.1954/MEN-KP/XI/2023 tanggal 29 November 2023 untuk relaksasi kebijakan pada masa transisi pelaksanaan penangkapan ikan terukur hingga akhir 2024 sekaligus mencabut SE Nomor B.1569/MEN-KP/X/2023.
Alasan KKP menunda pelaksanaan PIT terkait teknologi pengawasan setiap kapal dan belum matangnya mekanisme prosedur hingga simulasi program. Namun, faktanya, penundaan juga akibat kegaduhan nelayan yang protes terhadap inkonsistensi dalam pelaksanaan PIT.
Sebagian nelayan untuk sementara dapat bernapas lega dengan penundaan tahapan pelaksanaan PIT. Namun, banyak juga nelayan yang terpaksa menghentikan operasi akibat beban PNBP yang terlalu tinggi sehingga tidak dapat menutup biaya operasi.
Baca juga: Polemik Kebijakan PNBP Perikanan
Meski KKP telah merevisi beberapa kali harga patokan ikan dan menggantinya dengan harga acuan ikan, polemik terus berlanjut karena tak satu orang pun dapat menjamin usaha penangkapan ikan pasti untung di atas 5-10 persen. Jika kita analisis simulasi target PNBP perikanan tangkap Rp 12 triliun dibagi 6.171 jumlah SIPI izin pusat pada 2022, pemilik kapal ikan berukuran rata-rata 93 GT harus menanggung beban PNBP sangat fantastis, Rp 1,9 miliar.
Walaupun target direvisi menjadi Rp 3,5 triliun, beban PNBP untuk ukuran kapal yang sama masih tinggi, yaitu Rp 567 juta. Beban PNBP perikanan yang terlalu tinggi justru mengakibatkan jumlah kapal aktif yang riil beroperasi merosot signifikan sehingga berdampak anjloknya perolehan PNBP perikanan.
Oleh karena itu, komponen tarif PNBP harus direvisi secepatnya karena berdampak negatif sangat luas terhadap hulu hilir sektor perikanan. Pemerintah masih memiliki instrumen pajak lainnya untuk meningkatkan pendapatan dari sektor perikanan di luar PNBP perikanan.
Mengaitkan PIT dengan target PNBP perikanan tangkap yang memberatkan nelayan pelaku usaha merupakan disorientasi kebijakan. Konsep penangkapan ikan terukur yang mengagungkan pembatasan kuota penangkapan ikan identik dengan angka jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebagai output control patut dikritisi karena angka JTB adalah estimasi bukan angka pasti, jika over estimasi, akan menjadi blunder.
Ketimpangan antara angka JTB dan kapasitas penangkapan ikan nasional (jumlah GT) akan mendorong peningkatan fishing effort sangat signifikan sehingga akan membahayakan keberlanjutan sumber daya ikan. Semoga kelak seluruh kebijakan dan tahapan pelaksanaannya dipersiapkan dengan matang dan konsisten serta harus mencerminkan kata ”bijak” agar tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan.
Hendra Sugandhi, Ketua Bidang Perikanan dan Peternakan Apindo