Sutan Sjahrir, Etos Politik dan Jiwa Klasik
Politik bagi Sutan Sjahrir pertama-tama berarti mendidik suatu bangsa dan rakyatnya untuk mandiri dan bebas.
Dalam dua pucuk suratnya yang ditulis dari penjara Cipinang dan dari tempat pembuangan di Boven Digoel, Sjahrir mengutip sepenggal sajak penyair Jerman, Friedrich Schiller. Dalam teks aslinya kutipan itu berbunyi: und setzt ihr nicht das Leben ein, nie wird euch das Leben gewonnen sein—yang maknanya: hidup yang tak dipertaruhkan tak akan pernah dimenangkan.
Menurut pengakuannya, kalimat-kalimat yang indah itu dikutipnya dari luar kepala. Jadi kita dapat menduga petikan tersebut sangat disukainya dan besar artinya buat hidupnya.
Membaca tulisan-tulisan Sutan Sjahrir muncul kesan yang sangat kuat dalam diri saya bahwa bagi dia politik bukanlah perkara yang sangat digandrunginya, tetapi lebih merupakan perkara yang tak terelakkan dalam hidupnya. Demikian pula politik untuk dia tidak terutama berarti merebut kekuasaan dan memanfaatkan kekuasaan itu, bukan machtsvorming& machtsaanwending menurut formula Bung Karno.
Politik juga bukan persoalan mempertaruhkan modal untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, sebagaimana diyakini oleh pelaksana money politics dewasa ini di Tanah Air kita. Bahkan, politik juga tidak sekadar mempertaruhkan kemungkinan untuk merebut kemungkinan yang lebih besar, sebagaimana yang kita pelajari dari Otto von Bismarck dari Prusia.
Bagi Sjahrir, politik rupanya bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani dengan memakai rasionalitas instrumental atau Zweckrationalitaet yang diajarkan Max Weber. Bagi Sjahrir, politik lebih dari pragmatisme simplistis, tetapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai atau Wertrationalitaet.
Karena itulah, politik lebih dari sekadar matematika tentang hubungan mekanis di antara tujuan dan cara mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria moral.
Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria moral.
Kalau politik dalam pengertian Sjahrir bukan semua yang disebut di atas, apa gerangan politik menurut pandangan dia? Menurut tafsiran saya, kutipan dari Friedrich Schiller di atas adalah sebagian jawabannya. Kalau penggal sajak Schiller itu boleh kita parafrasekan, maka politik bagi Sjahrir adalah das Leben einsetzen und dadurch das Leben gewinnen—politik adalah mempertaruhkan hidup dan dengan itu memenangkan hidup itu sendiri.
Konsepsi politik seperti itu kedengarannya terlalu halus kalau diperhadapkan dengan Realpolitik, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat internasional. Namun, di balik kehalusan itu tegak sebuah keberanian yang kukuh karena tanpa komplikasi, suatu kesahajaan yang menakutkan karena tanpa pretensi.
Khusus untuk para politisi muda, konsepsi seperti itu membantu mengingatkan bahwa dalam politik ada keindahan dan bukan hanya kekotoran, ada nilai luhur dan bukan hanya tipu muslihat, ada cita-cita besar yang dipertaruhkan dalam berbagai langkah kecil, dan bukan hanya kepentingan-kepentingan kecil yang diucapkan dalam kata-kata besar. Hal-hal inilah yang menyebabkan politik dapat dilaksanakan dan harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Wajar belaka bahwa gagasan seperti itu tidak selalu mudah dipahami oleh banyak orang karena mengandaikan pengertian tentang beberapa asumsi yang filosofis sifatnya.
Mempertaruhkan hidup adalah suatu sikap dan perbuatan yang bisa juga dilakukan oleh orang-orang yang serba nekat. Namun, Sjahrir memperingatkan bahwa dalam politik, hidup dipertaruhkan untuk dimenangkan, bukan untuk disia-siakan atau dihilangkan dengan cara yang gampangan. Pada titik inilah dapat kita pahami kecemasannya tentang orang-orang muda di Indonesia pada masa selepas Perang Dunia II dan pada awal kemerdekaan. Mereka penuh tenaga dan determinasi, tetapi ketiadaan pegangan tentang bagaimana hidup mereka harus dimenangkan.
Setelah Jepang menyerah kalah, Sjahrir mencatat dengan prihatin bahwa para pemuda terjebak di antara sikap nekat di satu pihak dan keragu-raguan di pihak lainnya. Semboyan ”Merdeka atau Mati” ternyata dapat menjadi perangkap kejiwaan, karena selagi menyaksikan kemerdekaan belum sepenuhnya terwujud sedangkan kesempatan untuk mati belum juga tiba, maka para pemuda itu terombang-ambing dalam kebimbangan yang tak menentu. Ini semua terjadi karena, menurut Sjahrir, selama Jepang berkuasa di Indonesia, para pemuda kita hanya dilatih berbaris dan berkelahi, tetapi tak pernah dilatih memimpin.
Pada titik inilah dapat kita pahami kecemasannya tentang orang-orang muda di Indonesia pada masa selepas Perang Dunia II dan pada awal kemerdekaan. Mereka penuh tenaga dan determinasi, tetapi ketiadaan pegangan tentang bagaimana hidup mereka harus dimenangkan.
Mengatakan bahwa Sjahrir melihat politik sebagai sikap mempertaruhkan hidup untuk memenangkan hidup, dapat memberi kesan bahwa dia mirip seorang politikus romantis yang tidak memahami bekerjanya mesin kekuasaan atau mechanics of power dalam politik praktis. Anggapan ini tidak sesuai dengan kenyataan hidup Sjahrir, baik kalau kita melihat sepak terjangnya dalam dunia politik maupun kalau kita membaca tulisan-tulisannya atau tulisan para pengamat dan kesaksian para sahabatnya.
Feodalisme
Di dasar hatinya, Sjahrir mendambakan kebebasan untuk setiap orang, yaitu individu-individu yang dapat menggunakan akal-pikirannya untuk bertanggung jawab terhadap cita-cita dan tindak perbuatannya masing-masing. Impian itu mempunyai beberapa konsekuensi yang amat nyata.
Pertama, di dalam negeri, Sjahrir sangat cemas akan hidupnya kembali feodalisme lama dalam politik Indonesia yang dapat mengakibatkan bahwa kemerdekaan nasional justru memberi kesempatan kepada para pemimpin politik menjadi raja-raja versi baru yang tetap membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan keterbelakangan. Karena itu, selain revolusi nasional, dibutuhkan juga suatu revolusi sosial yang dinamakannya revolusi kerakyatan.
Revolusi nasional harus didahulukan karena hanya dalam alam kemerdekaan, perjuangan menentang feodalisme dan perjuangan untuk membebaskan diri dari cengkeraman kapitalisme dapat dilaksanakan. Kolonialisme Belanda, menurut Sjahrir, telah mengawinkan rasio modern dari Barat dengan feodalisme lokal dengan sangat cerdik, dan hasilnya adalah semacam fasisme terselubung yang menyiapkan lahan subur bagi fasisme Jepang.
Seterusnya, partai politik sebaiknya berbentuk partai kader dan bukan partai massa, karena dengan partai kader para anggota partai yang mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik dapat ikut memikul tanggung jawab politik, sedangkan dalam partai massa keputusan politik diserahkan seluruhnya ke tangan pemimpin politik dan massa rakyat tetap tergantung dan tinggal dimobilisasi menurut kehendak sang pemimpin.
Sementara itu, dalam politik nasional, dia bersama Bung Hatta mendorong berkembangnya sistem multipartai agar kehidupan politik terhindar dari konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar pada diri satu orang atau satu golongan saja.
Kedua, secara internasional dia juga cemas melihat menguatnya fasisme yang ketika itu melebarkan sayapnya dari Spanyol, Italia, Jerman, hingga ke Jepang. Dalam pandangannya, feodalisme lokal mudah sekali digabungkan dengan setiap kecenderungan totaliter karena massa rakyat yang tidak mempunyai pengertian dan keyakinan politik akan mudah saja dimobilisasi oleh seorang pemimpin politik melalui slogan, demagogi, dan sedikit pengetahuan tentang psikologi massa. Baik totalitarianisme maupun feodalisme mempunyai kesamaan watak dalam membunuh kebebasan perorangan yang pada akhirnya membuat manusia tak lebih dari budak kekuasaan.
Kecemasannya terhadap totalitarianisme kanan, yaitu fasisme, tidak lebih besar atau lebih kecil dari sikap awasnya terhadap totalitarianisme kiri, yaitu komunisme. Entah dari kanan atau dari kiri, totalitarianisme selalu menindas kebebasan perorangan yang dianggap sepele dan tak berarti dalam berhadapan dengan suatu totalitas besar, entah itu bernama negara entah diktatur protelariat.
Entah dari kanan atau dari kiri, totalitarianisme selalu menindas kebebasan perorangan yang dianggap sepele dan tak berarti dalam berhadapan dengan suatu totalitas besar, entah itu bernama negara entah diktatur protelariat.
Dalam politik internasional keyakinan ini direalisasikannya dengan menolak berpihak pada dua totalitas besar pada waktu itu, yaitu blok politik dan blok keamanan yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Inggris berhadapan dengan blok kiri yang dipimpin oleh Uni Soviet.
Pembentukan Inter-Asian Relations Conference di New Dehli pada April 1947 mendapat dukungan penuh dari Sjahrir dalam kedudukannya sebagai perdana menteri Indonesia ketika itu. Seperti kita tahu, konferensi itu menjadi embrio suatu politik luar negeri yang bebas dan aktif, yaitu politik yang turut bertanggung jawab terhadap perkembangan kejadian-kejadian di dunia tanpa membangun afiliasi dengan salah satu dari blok-blok yang sedang bersaing.
Dengan semangat seperti itu tidaklah mengherankan kalau Sjahrir berpendapat bahwa revolusi nasional harus segera disusul oleh suatu revolusi sosial yang dapat membebaskan rakyat dari kungkungan feodalisme lama dan dari jebakan-jebakan ke arah fasisme yang muncul bersama kapitalisme yang tak terkendali. Seterusnya, kemerdekaan nasional bukanlah tujuan akhir dari perjuangan politik, tetapi menjadi jalan bagi rakyat untuk merealisasikan diri dan bakat-bakatnya dalam kebebasan tanpa halangan dan hambatan.
Karena itulah, nasionalisme harus tunduk kepada kepentingan demokrasi, dan bukan sebaliknya, karena tanpa demokrasi maka nasionalisme dapat bersekutu kembali dengan feodalisme lama yang hanya memerlukan beberapa langkah berikut untuk tiba pada fasisme. Dalam penilaian Sjahrir, inilah yang terjadi pada politik dan kepemimpinan Franco di Spanyol, Mussolini di Italia, Hitler di Jerman, dan Chiang Kai Sek di Tiongkok.
Humanisme
Kalau dalam negeri nasionalisme harus tunduk pada tuntutan demokrasi, maka dalam hubungan internasional, nasionalisme harus tunduk pada tuntutan humanisme karena kalau tidak, maka nasionalisme itu dapat menjadi sumber ketegangan dan perseteruan di antara bangsa yang satu dan bangsa lainnya. Fasisme dalam negeri hanyalah wajah lain dari chauvinisme dalam pergaulan antarbangsa. Pada titik ini kelihatan bahwa bagi Sjahrir, politik adalah usaha dan upaya mewujudkan nilai-nilai martabat dan kesejahteraan manusia.
Akan tetapi, nilai-nilai tersebut tak mungkin terwujud hanya dengan cara menghilangkan feodalisme dan menolak setiap politik yang totaliter. Taruhlah, tindakan-tindakan tersebut merupakan persiapan dan langkah-langkah secara negatif, maka kita dapat bertanya apa gerangan yang diusulkan Sjahrir sebagai langkah yang positif. Jawaban Sjahrir adalah edukasi, yaitu pendidikan dalam arti seluas-luasnya yang mungkin dikandung dalam pengertian itu.
Fasisme dalam negeri hanyalah wajah lain dari chauvinisme dalam pergaulan antarbangsa. Pada titik ini kelihatan bahwa bagi Sjahrir, politik adalah usaha dan upaya mewujudkan nilai-nilai martabat dan kesejahteraan manusia.
Penekanannya pada edukasi inilah yang membuat Sjahrir demikian terlibat dan bahkan terpesona oleh beberapa urusan yang tidak begitu langsung berkaitan dengan politik. Di tempat pembuangannya di Banda Neira, teman-temannya yang paling akrab adalah anak-anak kecil yang hampir setiap hari bermain ke rumahnya, yang baju-baju mereka dia jahit sendiri dengan mesin jahit, yang diajaknya berenang dan bermain di pantai sambil menyanyikan lagu ”Indonesia Raya”.
Mereka menjadi murid-murid pelajaran privat yang diberikannya, di mana mereka diajar membaca, menulis, berbahasa dengan benar, dan berani bertanya, dan dengan cara itu membuka pintu bagi mereka ke dunia ilmu pengetahuan. Kembali dari pembuangan, Sjahrir aktif lagi dalam pergerakan dan memberi perhatian khusus kepada para pemuda yang demikian penuh semangat, tetapi tidak diajarkan kepandaian memimpin, dengan akibat bahwa mereka selalu siap mati tanpa mengetahui mengapa mereka harus mati dan bukannya harus hidup dan menikmati hidup mereka.
Gabungan minat
Aneh tapi nyata bahwa di tengah kesibukan sebagai orang pergerakan, Sjahrir tetap memberi perhatian besar kepada perkembangan dunia ilmu pengetahuan, menulis pandangan tentang manfaat nuklir, mengikuti apa yang terjadi dalam seni dan sastra, melakukan studi-studi ilmu sosial, dan memberikan komentar tentang pemikiran-pemikiran filsafat pada masanya.
Gabungan minat dan kegiatan seperti ini hanya mungkin ada pada seorang pendidik, yaitu seseorang yang merasa bertugas melakukan transfer sejumlah pengetahuan kepada orang-orang yang dididiknya dan kemudian membantu transformasi pengetahuan tersebut menjadi seperangkat nilai agar nilai-nilai itu dapat diejawantahkan dalam sikap dan perbuatan.
Dalam kaitan ini, politik bagi Sjahrir pertama-tama berarti mendidik suatu bangsa dan rakyatnya untuk mandiri dan bebas. Kemandirian adalah lawan dari ketidakmatangan dan kebebasan adalah lawan dari ketergantungan. Karena itulah, dia selalu menekankan pentingnya dimensi-dalam atau aspek interioritas dari kebudayaan, politik, dan ilmu pengetahuan.
Dalam pandangannya, banyak kaum terpelajar Indonesia pada waktu itu baru menjadi pemegang titel dan belum menjadi kaum intelektual. Mereka masih memperlakukan ilmu pengetahuan sebagai perkara yang bersifat lahiriah belaka dan sebagai barang mati dan ”bukan suatu hakikat yang hidup... yang senantiasa harus dipupuk dan dipelihara”.
Demikian pun tentang kebudayaan dan politik, Sjahrir menulis: Inilah inti persoalan: kita pada akhirnya adalah anak-anak zaman kita, dan kita mempunyaihati nurani. Sebutlah itu rasa respek terhadap diri sendiri, sebutlah itu kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan, sebutlah itu dengan nama apa saja-hati nurani itu berarti menguji diri sendiri pada pegangan batin kita, pada nilai-nilai, prinsip-prinsip, prasangka-prasangka, perasaan-perasaan dan naluri-naluri. Kita semua dalam diri kita mempunyai sedikit dari imperatif kategoris seperti yang dimaksud oleh Kant.
Dalam kaitan ini, politik bagi Sjahrir pertama-tama berarti mendidik suatu bangsa dan rakyatnya untuk mandiri dan bebas. Kemandirian adalah lawan dari ketidakmatangan dan kebebasan adalah lawan dari ketergantungan.
Pada titik itu kita tahu Sjahrir lebih dari seorang Realpolitiker. Karena dalam politik tidak berlaku apa yang oleh Kant dinamakan imperatif kategoris, tetapi yang lebih dominan adalah imperatif hipotetis, yakni suatu perintah bersyarat, dan di sini syaratnya adalah akibat atau hasil yang bakal diberikan oleh pelaksanaan perintah tersebut.
Pokok pertimbangan adalah apakah dengan melakukan suatu perintah, seseorang akan memperoleh akibat yang dibayangkannya. Kalau seorang politikus Indonesia memperjuangkan nasib para petani dan nelayan dengan perhitungan bahwa dia akan memperoleh dukungan suara yang cukup dalam pemilu, maka politikus ini bertindak berdasarkan imperatif hipotetis. Tindakannya ini mungkin baik dan perlu, tetapi tak bisa dijadikan prinsip umum bagi tindakan orang-orang lain yang kebetulan tidak mempunyai minat untuk posisi politik.
Namun, kadangkala kita bertemu juga dengan orang-orang yang berjuang mati-matian untuk kelompok petani dan nelayan, meskipun tidak ada target politik padanya, semata-mata karena merasa bahwa kelompok ini layak dibela karena mereka juga mempunyai martabat dan hak-hak seperti orang-orang dari kelompok lain yang lebih beruntung. Di sini kita berjumpa dengan orang-orang yang bertindak berdasarkan imperatif kategoris karena prinsip tindakan mereka dapat digeneralisasikan menjadi prinsip tindakan semua orang lain, dan bahkan dapat dijadikan prinsip dalam pembuatan undang-undang.
Tidaklah mengherankan bahwa dalam suratnya dari penjara Cipinang tertanggal 22 Juli 1934, Sjahrir menulis: ”Hal meletakkan suatu dasar moral bagi politik dan kebudayaan lalu bisa dianggap sebagai politik dalam pengertian yang lebih luas”.
Tak perlu diuraikan panjang-lebar bahwa dalam usaha melakukan pendidikan yang menghasilkan manusia yang bebas dan mandiri, Sjahrir melihat peranan besar yang dapat disumbangkan oleh ilmu pengetahuan. Dengan cukup intensif, dia memanfaatkan waktunya dalam tahanan, dalam pelayaran ke tempat pembuangan, dan dalam keterasingan di Digul dan Banda Neira untuk mengikuti perkembangan politik Indonesia dan politik dunia melalui koran-koran yang sampai ke tangannya, dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan melalui buku-buku yang kebetulan ada padanya.
Catatan-catatan dalam pelayaran ke Digul menunjukkan perhatian dan pengamatannya yang cermat tentang keadaan dan cara hidup orang-orang di pulau-pulau sebelah timur, dan sangat mirip catatan etnografis seorang antropolog profesional, meskipun masih penuh dengan prasangka-prasangka Eurosentris.
Demikian pula catatannya tentang sesama orang buangan di Digul menunjukkan simpati besar kepada manusia yang menderita tekanan lahir batin dan kehilangan harapan, yang kesulitan-kesulitan kejiwaan mereka, dicoba dipahaminya berdasarkan pengetahuannya tentang psikologi atau psikoanalisa. Sedangkan tentang penduduk asli di Digul, dia dengan hati-hati menulis:
Barangkali aku akan menulis sketsa-sketsa atau studi-studi mengenai etnologi, meskipun di lain pihak aku tidak pula suka menulis secara diletantis, secara awam. Dan tulisan-tulisanku itu sudah pasti tak bisa lain daripada bersifat diletantis saja, karena buku-buku penuntun yang perlu untuk itu tidak tersedia, dan aku tidak bisa mempergunakan buku-bukuku sendiri yang masih ketinggalan di Jawa, dan yang belum juga bisa dikirimkan kemari, meskipun aku sudah berusaha untuk itu. Kawan-kawan yang harus menguruskannya tidak mempunyai uang untuk mengirimkannya.
Politik bagi Sjahrir pertama-tama berarti mendidik suatu bangsa dan rakyatnya untuk mandiri dan bebas.
Ignas Kleden, Cendekiawan
Catatan Redaksi: Artikel yang ditulis almarhum Ignas Kleden dan diterbitkan Kompas pada edisi 6 Mei 2006 ini kami terbitkan kembali untuk mengenang Ignas Kleden, yang meninggal hari ini, 22 Januari 2024.