”Ceck List” Demokrasi
Pengecekan dan pengawasan praktik demokrasi di Indonesia sebaiknya lebih dipusatkan pada penggunaan kekuasaan.
Ilustrasi/Supriyanto
Demokrasi adalah sistem politik yang sudah dipastikan dianut Indonesia sejak awal kemerdekaannya. Meskipun demikian, jelas pula bahwa sistem pemerintahan tersebut tidak berjalan dengan sendirinya, tetapi selalu harus dipertahankan dan diperjuangkan kembali dari waktu ke waktu.
Perjuangan untuk itu meliputi sekurangnya dua hal utama, yaitu membangun dan memperkuat lembaga-lembaga politik (political institutions) yang mendukung demokrasi dan menerapkan tingkah laku politik (political behavior) yang mengejawantahkan nilai-nilai dan budaya demokrasi dalam praktik sehari-hari.
Adapun lembaga-lembaga demokrasi yang sudah dikenal umum adalah lembaga pemilihan umum, suatu pemerintahan sipil, adanya Dewan Perwakilan Rakyat, tegaknya sistem peradilan yang otonom, serta bekerjanya suatu lembaga pers yang mempunyai kebebasan mencari dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Koordinasi di antara lembaga-lembaga politik itu diatur menurut dua asas utama, yaitu adanya otonomi tiap lembaga yang menjamin terbebasnya suatu lembaga dari intervensi lembaga lain dan, kedua, kehadiran serta kinerja semua lembaga politik itu harus mencerminkan perimbangan kekuasaan di antara tiga pihak. Ketiga pihak itu adalah eksekutif (sebagai pelaksana undang-undang/UU), legislatif (sebagai pembuat UU), dan yudikatif (sebagai pengawas pelaksanaan UU).
Lembaga-lembaga lain dibentuk untuk mendukung dan menyempurnakan pelaksanaan tiga jenis kekuasaan itu. Dengan demikian, polisi dan tentara dibentuk sebagai aparat yang bertugas mengamankan kerja lembaga-lembaga politik serta memaksakan ketundukan warga kepada hukum yang berlaku.
Aparat keamanan (polisi dan militer) diberi hak memiliki dan menggunakan kekerasan. Akan tetapi, di situlah terletak paradoksnya. Suatu pemerintahan demokratis adalah pemerintahan yang dibentuk melalui kompetisi di antara kelompok-kelompok politik lewat perwakilan mereka dalam partai politik. Persaingan itu ditetapkan untuk berjalan tanpa kekerasan fisik (non-violent competition) sehingga aparat keamanan justru ditugasi mencegah penggunaan kekerasan fisik dalam persaingan itu.
Sejauh menyangkut legislatif, sistem politik Indonesia (sampai saat ini) mengenal dua lembaga utama, yaitu MPR yang bertugas menetapkan UUD dan haluan negara dan DPR sebagai pembuat UU. Sebutan dua lembaga sebetulnya tidak sepenuhnya tepat karena anggota DPR juga menjadi anggota MPR selain unsur-unsur lainnya.
Jelas kiranya, kehadiran lembaga-lembaga demokrasi itu tidak dengan sendirinya menjamin kehidupan demokrasi kalau tidak didukung tingkah laku politik yang mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi.
Jelas kiranya, kehadiran lembaga-lembaga demokrasi itu tidak dengan sendirinya menjamin kehidupan demokrasi kalau tidak didukung tingkah laku politik yang mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi. Contoh soal, DPR merupakan lembaga yang amat penting untuk demokrasi karena diandaikan mereka yang duduk di lembaga itu sebagai anggota Dewan adalah wakil-wakil rakyat. Pekerjaan utama mereka adalah memikirkan kepentingan dan kebutuhan rakyat yang mereka wakili, mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi rakyat, dan seterusnya menyusun UU yang menjamin terwujudnya kepentingan itu.
Untuk pekerjaan seperti itulah, suatu pekerjaan yang mulia dan penuh tanggung jawab, para anggota Dewan digaji secara pantas oleh negara (bukan dengan uang donor atau sumbangan para pengusaha, melainkan dengan uang rakyat), yang konon kabarnya merupakan gaji yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan gaji anggota DPR di banyak negara lain.
Terbebasnya para anggota Dewan dari keharusan mencari nafkah, yang sudah terjamin oleh gaji itu, memungkinkan dan mengharuskan mereka secara penuh waktu memikirkan kepentingan rakyat, membahasnya, dan menciptakan UU yang membela kepentingan itu.
Apabila tugas-tugas itu dijalankan dengan sungguh-sungguh, DPR benar- benar menjadi pilar penting untuk demokrasi. Sebaliknya, jika para anggota Dewan yang terhormat ini lebih sibuk memikirkan diri dan urusan sendiri, kehadiran lembaga DPR tidak menjamin sesuatu pun yang berhubungan dengan kehidupan demokrasi. Dalam keadaan ekstrem, seandainya tingkah laku para anggota Dewan sama sekali tidak menunjukkan perhatian dan keprihatinan akan nasib rakyat, kehadiran lembaga ini lebih mirip kamuflase yang menutup-nutupi keadaan yang tidak demokratis sama sekali.
Dalam hubungan itu, rakyat Indonesia mempunyai hak penuh untuk bertanya, apa sikap anggota DPR kita menanggapi kebakaran Pasar Tanah Abang, yang merupakan jantung perdagangan di Jakarta, bagaimana sikap mereka terhadap masalah banjir yang setiap tahun mengancam Jakarta dan banyak tempat lain, apa yang mereka lakukan untuk menghentikan KKN, dan apa pendapat Dewan terhormat terhadap masih berlakunya hukuman mati? Memang ada saatnya DPR memperlihatkan kepekaan untuk menanggapi dengan cepat masalah yang berkembang, seperti rapat konsultasi antara Komisi I DPR dengan pemimpin redaksi Majalah Tempo dan pengusaha Tomy Winata pada 17 Maret dan rapat konsultasi dengan Kapolri pada hari berikutnya. Kalau hal itu lebih sering dilakukan, kepercayaan dan respek masyarakat terhadap lembaga ini lambat laun meningkat kembali.
Atas cara yang sama kita dapat berbicara tentang pihak yudikatif, yang tugas pokoknya mengawasi pelaksanaan UU, mencegah penyimpangan dari UU, dan menghukum pelanggaran terhadap UU.
Dalam perbandingan dapat dikatakan, anggota DPR selama Orde Baru mungkin mempunyai pengalaman dan keterampilan politik yang lebih tinggi dari yang ada kini karena perekrutan mereka dilakukan melalui saluran yang lebih ketat sekalipun terbatas. Namun, keterampilan politik mereka dibekukan karena tidak ada ruang politik untuk menerapkannya. Sebutan ”5D” adalah kenangan politik yang pahit. Sebaliknya, anggota DPR sekarang yang datang dari demikian banyak partai politik mungkin masih harus belajar banyak untuk meningkatkan kualifikasi mereka. Meskipun demikian, kebebasan untuk bersuara dalam Dewan kini jauh lebih besar, apalagi wewenang legislatif meningkat dengan munculnya reformasi.
Atas cara yang sama kita dapat berbicara tentang pihak yudikatif, yang tugas pokoknya mengawasi pelaksanaan UU, mencegah penyimpangan dari UU, dan menghukum pelanggaran terhadap UU. Di sini pun kita harus mencatat keadaan yang masih jauh dari harapan orang banyak. Seluruh dunia tahu, Indonesia merupakan salah satu negara paling korup di dunia (nomor 96 dari 100 negara yang korup atau nomor 4 paling korup, menurut Peter Eigen, pendiri dan ketua Transparency International), tetapi mengapa sedikit sekali koruptor kakap yang dihukum?
Mengapa pengedar narkotika dihukum mati, tetapi bos-bos perdagangan narkotik tidak tersentuh hukum? Semakin banyak orang bertanya, apakah pengadilan masih menjadi tempat orang mencari dan mengharapkan keadilan? Mengapa sudah lebih dari empat tahun rakyat belum diberi tahu apakah Pak Harto akan diadili, kapan diadili, atau tidak akan diadili? Seterusnya, apakah para hakim yang menentukan putih-hitamnya nasib orang melalui putusan pengadilan benar-benar independen dalam pertimbangannya, terbebas dari tekanan kekuasaan politik, dan bergeming menghadapi rayuan uang sogok?
Ada anggapan, sebagian besar kelemahan telah timbul karena selama Orde Baru hampir seluruh kekuasaan yang efektif ada di tangan eksekutif yang dipimpin Presiden Soeharto (saat itu). Partisipasi rakyat dalam politik dipangkas melalui kebijakan massa mengambang, jumlah partai politik amat dibatasi, sedangkan independensi anggota DPR selalu terancam risiko recall. Seluruh mesin pemerintahan dijalankan melalui birokrasi yang meluas dan menghunjamkan akarnya hingga ke pemerintahan tingkat desa. Segala sesuatu diatur secara sentral dari Jakarta, inisiatif dari bawah tersingkir oleh manajemen yang bergerak dari atas ke bawah seperti garis komando militer, sementara itu reaksi sosial politik dari kelompok-kelompok masyarakat dihadapi dengan kekuatan aparat keamanan dan bukannya melalui dialog dan negosiasi politik.
Semua keadaan itu dianggap sebagai ”biaya” yang harus dibayar untuk mendapatkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Namun, lambat laun ketahuan juga. Pertumbuhan ekonomi tidak membawa manfaat langsung untuk masyarakat luas karena sumber daya ekonomi dikuasai secara terkonsentrasi pada beberapa kalangan yang dekat dengan kekuasaan Soeharto, melalui lisensi khusus atau hak monopoli. Stabilitas politik lambat laun terasa sebagai rumah besar yang bersih dan lengang karena penghuninya dilarang berbicara keras atau tertawa lepas.
Reformasi 1998 diharap membawa perimbangan baru, baik dalam pembagian wewenang antara pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maupun pembagian wewenang yang lebih merata antara pusat dan daerah. Seperti kita tahu, gravitasi politik saat ini sedang bergeser dari eksekutif ke legislatif. Perimbangan kekuasaan dianggap bermanfaat karena akan berakibat pada perimbangan kepentingan.
Namun, jelas pula bahwa pergeseran titik berat dalam perimbangan kekuasaan akan menghasilkan perimbangan kepentingan apabila DPR, eksekutif, dan yudikatif berfungsi sebagaimana mestinya dan berusaha melaksanakan tugasnya dengan optimal. Sayang, muncul kemudian beberapa perkembangan baru yang belum bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat banyak.
Pertama, anggota Dewan, misalnya, semakin mempunyai kekuasaan yang efektif, tetapi masalahnya ialah kekuasaan itu digunakan untuk apa? Secara praktis tantangan pertama yang dihadapi anggota Dewan ialah melakukan pilihan, apakah dia akan lebih loyal kepada partai dan sibuk membela kepentingan partainya di dalam Dewan, atau akan lebih loyal kepada rakyat yang diwakilinya dan karena harus lebih sibuk memikirkan kepentingan konstituennya, sekalipun dia mungkin harus berhadapan dengan kepentingan partainya sendiri. Trade-off-nya dapat dilihat dari kesibukan mengurus masalah rakyat dan kesibukan mengurus masalah kekuasaan saja.
Sebagai contoh, yang lebih sering kita baca dan dengar setiap hari adalah debat tentang perebutan porsi dalam kekuasaan menyangkut prosedur pemilihan presiden dan wakil presiden, perekrutan calon presiden dan wakil presiden, prosedur pemilihan anggota Dewan, dan tentang ambang elektoral yang memberi hak kepada suatu partai mengikuti pemilu atau tidak. Lebih sedikit debat tentang bagaimana menurunkan tingkat pengangguran, atau memperbaiki sistem pendidikan nasional, atau mengurangi rusaknya lingkungan hidup. Keadaan ini mencerminkan sekurangnya dua tendensi.
Pertama, perhatian terbesar masih tertuju pada lembaga-lembaga politik dan belum mencakup tingkah laku politik. Menusuk gambar partai dan menusuk gambar calon belum diperlakukan sama dan setara. UU Pemilu yang baru menentukan, tusukan terhadap gambar partai akan dianggap sah, sedangkan tusukan gambar calon baru sah apabila disertai tusukan gambar partai. Demikian juga rencana pembentukan DPD, yang dimaksud untuk mengimbangi kekuatan partai, tetap terancam hegemoni partai karena partai-partai besar tetap mendesak agar anggotanya dibolehkan masuk ke DPD.
Kedua, terlihat juga bahwa perhatian terbesar dalam politik nasional masih bercokol pada perebutan kekuasaan dan bukan pada penggunaan kekuasaan. Untuk meminjam istilah yang amat terkenal dari Bung Karno, jangan-jangan politik Indonesia masih pada taraf machtsvorming (perebutan kekuasaan) dan belum mencapai taraf machtsaanwending (penggunaan kekuasaan).
Tujuan politik dianggap tercapai apabila kekuasaan sudah di tangan, sedangkan bagaimana memanfaatkan kekuasaan dianggap tidak merupakan tantangan politik.
Tujuan politik dianggap tercapai apabila kekuasaan sudah di tangan, sedangkan bagaimana memanfaatkan kekuasaan dianggap tidak merupakan tantangan politik. Menjadi partai besar dianggap lebih penting daripada memberi pengaruh politik yang besar yang menguntungkan rakyat. Sejarah akhirnya tidak akan mencatat partai mana yang menjadi partai terbesar di Indonesia pada suatu masa, tetapi apa yang dilakukan suatu partai politik untuk memajukan masyarakat dan menyejahterakan rakyat.
Tulisan ini mengandung usul sederhana, yaitu agar pengecekan dan pengawasan praktik demokrasi di Indonesia kini lebih dipusatkan pada penggunaan kekuasaan, tidak lagi pada perebutan kekuasaan saja. Hampir semua partai punya cukup keterampilan politik untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, tetapi sedikit yang menyadari pentingnya penggunaan kekuasaan dan tahu memanfaatkannya.
Perebutan kekuasaan diawasi badan-badan election watch, KPU, media massa, atau gerakan mahasiswa dan LSM. Seterusnya penggunaan kekuasaan diawasi parliament watch atau government watch. Dalam kerja badan-badan pengawas ini sebaiknya diperhatikan dua hal. Pertama, penyelewengan kekuasaan politik, semacam sin of commission, yaitu keadaan seorang yang bersalah karena memakai kekuasaannya secara menyimpang.
Kedua, tidak digunakannya kekuasaan politik untuk memajukan kepentingan rakyat dan kebaikan umum, semacam sin of omission, yaitu keadaan seseorang yang bersalah karena tidak bertindak sama sekali meskipun dia mempunyai kekuasaan penuh untuk melakukan sesuatu.
Ignas Kleden, Cendekiawan
*Catatan Redaksi*
Artikel yang ditulis Ignas Kleden dan diterbitkan Kompas pada edisi 25 Maret 2003 ini kami terbitkan kembali untuk mengenang Ignas Kleden, yang meninggal hari ini, 22 Januari 2024.