Tirani Aplikasi
Di Era Merdeka Belajar, guru dituntut mempelajari banyak hal dan dipaksa jadi budak teknologi, melalui tirani aplikasi.
Sekarang lebih dari masa lalu, tak pernah ada masa di mana profesi guru begitu dituntut dan dipaksa-paksa seperti terjadi di Era Merdeka Belajar. Guru dituntut mempelajari banyak hal dan dipaksa jadi budak teknologi, melalui tirani aplikasi.
Kebijakan e-Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) guru terintegrasi dengan Platform Merdeka Mengajar (PMM) akan menjadikan jutaan guru budak aplikasi. Guru tidak lagi peduli pada siswa. Ujung-ujungnya, pendidikan mengalami kemunduran!
Era Merdeka Belajar ditandai dengan keblinger aplikasi.
Gelojoh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk membuat berbagai macam aplikasi, seperti Arkas, SIPLah, Merdeka Mengajar, TanyaBos, Rapor Pendidikan, Merdeka Belajar Kampus Merdeka, dan yang terakhir integrasi PMM dengan e-Kinerja ASN, sebenarnya semakin memperkuat kesimpulan bahwa Kemendikbudristek tidak memahami hal-hal fundamental dalam dunia pendidikan.
Kemendikbudristek lebih memprioritaskan hal-hal superfisial, teknis, kasatmata, bisa diukur, dan mudah diglorifikasi seperti banyaknya pengunduh dan pengguna aplikasi!
Dari banyak inovasi aplikasi yang diperkenalkan Kemendikbudristek, tidak satu pun aplikasi yang berfaedah bagi siswa. Semua aplikasi lebih banyak terkait dengan manajemen, pelaporan, administrasi, dan pelatihan mandiri guru dan kepala sekolah yang belum tentu berdampak langsung bagi siswa.
Dari banyak inovasi aplikasi yang diperkenalkan Kemendikbudristek, tidak satu pun aplikasi yang berfaedah bagi siswa.
Selain para guru merasa direndahkan karena di bawah tekanan paksaan kebijakan, pengerjaan aplikasi bersifat individual, demi kepentingan guru, kepala sekolah, dan pemerintah daerah.
Dampak keblinger aplikasi tidak kecil. Anggaran besar triliunan rupiah terbuang sia-sia.
Dalam banyak hal, terdiseminasi konsep ketidakpercayaan kepada guru dan kepala sekolah. Mereka yang disalahkan, menjadi obyek pelatihan atas nama kebijakan transformasi pendidikan, yang sesungguhnya hanyalah sekadar pencitraan kebijakan Merdeka Belajar semata. Guru dan kepala sekolah dipaksa berlatih ini, berlatih itu, melalui aplikasi yang secara faktual menyita banyak waktu guru dan kepala sekolah.
Sudah banyak fakta menunjukkan bahwa guru dan kepala sekolah justru tidak lagi peduli pada layanan siswa, tapi peduli pada layanan bagi diri sendiri dan layanan bagi mereka yang berkuasa memaksa guru melakukan ini dan itu.
Ketidakpercayaan terhadap guru melahirkan demoralisasi di dalam pendidikan. Lengkap sudah kehancuran moral dalam pendidikan kita.
Tidak logis
Kemendikbudristek memperkenalkan PMM sebagai kebijakan inovatif dalam pengembangan profesi guru.
Pemanfaatan aplikasi ini diintegrasikan dengan hasil Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) yang menjadi dasar bagi penilaian rapor pendidikan. Rapor pendidikan merupakan profil kinerja sekolah dan pemerintah daerah.
Rapor pendidikan digagas sebagai mekanisme evaluasi sistem pendidikan secara berkelanjutan melalui pengambilan keputusan berbasis data, atau dikenal dengan Pendidikan Berbasis Data (PBD). Berdasarkan data yang terkumpul di dalam rapor pendidikan inilah, satuan pendidikan dan pemerintah daerah melakukan perbaikan terus-menerus.
Konsep transformasi pendidikan berbasis teknologi seperti ini sekilas tampak logis dan masuk akal sehingga banyak orang terjebak dan percaya bahwa pengembangan guru, penilaian kualitas sekolah dapat didasarkan semata-mata pada penilaian di dalam rapor pendidikan dan pelatihan melalui PMM.
Apakah kebijakan seperti ini logis, secara filsafat pendidikan bisa dipertanggungjawabkan, dan secara profesional efektif bagi pengembangan guru?
Menurut penulis, tidak. Pertama, pendidikan berbasis data (PBD) sesungguhnya hanya mitos belaka. Mengapa? Karena kualitas keputusan yang mendasarkan diri pada informasi dan data akan sangat tergantung dari kualitas data dan informasi yang mencerminkan realitas yang sesungguhnya. PBD yang mendasarkan diri semata-mata pada ANBK sangat dipertanyakan validitas dan kredibilitasnya.
Kebijakan ANBK pada mulanya dipersepsi sebagai pengganti ujian nasional, tidak high stake testing, tidak perlu persiapan khusus, dan pesertanya diacak secara random berdasarkan status sosial ekonomi peserta didik. Apa yang terjadi, pada faktanya ANBK tetap high stake testing karena dianggap sebagai penentu kualitas guru, kepala sekolah, sekolah, dan pemerintah daerah.
Apalagi jika ada iming-iming BOS Kinerja yang akan diberikan pada satuan pendidikan ketika skornya naik. Dari sisi seleksi kepesertaan pun, peserta ANBK sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya sehingga memungkinkan adanya banyak persiapan, latihan, sebelum dilaksanakan ANBK. Ada kesepakatan-kesepakatan yang bisa diatur. Setelah satu tahun, sekolah kian paham cara-cara mengakali hasil ANBK. Skor ANBK akhirnya banyak distorsi.
Salah satu contoh hasil ANBK yang tidak sesuai dengan realitas adalah laporan Kemendikbudristek tentang iklim belajar. Di dalam Rapor Pendidikan, iklim belajar sekolah secara umum dinyatakan baik.
PBD yang mendasarkan diri semata-mata pada ANBK sangat dipertanyakan validitas dan kredibilitasnya.
Iklim belajar salah satu indikasinya adalah perundungan. Padahal, kita tahu, satu tahun terakhir kekerasan di dalam dunia pendidikan terjadi begitu masif. Namun, Rapor Pendidikan menunjukkan data bahwa iklim belajar kita baik-baik saja. Apa kredibel rapor seperti ini?
Salah satu kritik dasar PBD adalah validitas dan kredibilitas data yang dipergunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan pendidikan. Persoalan pendidikan itu begitu kompleks, multifaktor, dan tidak dapat dipotret melulu melalui ANBK. Lebih dari itu, kelemahan dasar PBD adalah hilangnya penilaian profesional obyektif dari pelaku di lapangan itu sendiri.
PBD melalui ANBK mengabaikan penilaian profesional para pelaku di satuan pendidikan yang sesungguhnya lebih mengerti apa yang terjadi di sekolah mereka, apa yang mereka perlukan untuk pengembangan profesi mereka, dan bagaimana mereka melaksanakan proses perbaikan pendidikan.
Adalah tidak logis dan kredibel mempergunakan hasil penilaian di dalam Rapor Pendidikan yang tidak mampu memotret keseluruhan persoalan di satuan pendidikan, dan memaksakan guru berlatih berdasarkan kesimpulan di dalam rapor pendidikan.
Kedua, memakai data Rapor Pendidikan sebagai dasar satu-satunya bagi pengembangan guru saja sudah tak valid dan kredibel, sekarang guru dipaksa lagi berlatih melalui aplikasi PMM. Apakah PMM selama ini sudah terbukti efektif meningkatkan kualitas pendidikan?
Belum ada riset dan penelitian yang valid yang membuktikan bahwa berlatih via PMM meningkatkan kinerja guru dan hasil belajar siswa. Memaksakan guru berlatih satu-satunya sebagai bentuk kinerja melalui PMM jelas menunjukkan ketidakpahaman pengambil kebijakan tentang realitas pengajaran yang dihadapi guru.
Melalui implementasi Kurikulum Merdeka saja, para guru sudah sangat terbebani dengan banyaknya borang administrasi yang dibuat. Beberapa guru merasa terdemoralisasi sebagai pendidik. Bahkan, ada yang sampai berujung pada perceraian karena di sekolah dan di rumah guru disibukkan tagihan mengerjakan PMM.
Sekarang, parahnya, Badan Kepegawaian Negara dan Kemendikbudristek memaksa para guru ASN untuk melaksanakan pengelolaan kinerja terintegrasi dengan PMM.
Ketiga, gelojoh pemaksaan pemakaian aplikasi pendidikan kepada guru dan kepala sekolah jelas sangat bertentangan dengan filosofi pendidikan itu sendiri yang lebih mengutamakan pendekatan reflektif dan evaluatif berdasarkan perenungan individu guru sebagai manusia dan komunitas sekolah sebagai warga pendidikan.
Pengalaman guru memberikan data lebih obyektif tentang kondisi pengajaran di sekolah daripada informasi melalui aplikasi. Aplikasi pendidikan itu untuk guru, bukan guru untuk aplikasi pendidikan.
Kaji ulang
Memang benar kata pepatah, orang yang tahunya hanya palu, ia akan membuat semua orang menjadi paku. Ini yang terjadi dengan kepemimpinan nasional pendidikan saat ini. Karena tahunya hanya aplikasi, maka kebijakan pendidikan didominasi pengembangan dan pemaksaan pemanfaatan aplikasi.
Kebijakan e-Kinerja terintegrasi dengan PMM alih-alih meningkatkan kinerja dan profesionalitas guru, justru akan menghancurkan kinerja guru. Guru tidak lagi fokus pada aktivitas mendidik siswa, tapi akan banyak meninggalkan kelas demi pengelolaan kinerja guru.
Melalui implementasi Kurikulum Merdeka saja, para guru sudah sangat terbebani dengan banyaknya borang administrasi yang dibuat.
Logika perubahan itu tidak linear seperti asumsi bahwa ketika guru dan kepala sekolah memanfaatkan aplikasi sampai memperoleh sertifikat, otomatis dunia pendidikan akan menjadi lebih baik.
Kekuatan filosofis pendidikan juga tidak terletak pada aplikasi, tapi justru pada manusianya, karena pendidikan itu untuk manusia, bukan aplikasi.
Lebih dari itu, efektivitas kinerja pelaku dan sistem pendidikan tak bisa diukur dari bukti bahwa para guru dan kepala sekolah bekerja dan mengerjakan aplikasi, melainkan kemampuan secara jujur merefleksikan pengalaman mengelola pendidikan di satuan pendidikan sebagai pijakan transformasi dan perbaikan pendidikan.
Kebijakan e-Kinerja dari BKN yang terintegrasi dengan PMM harus segera dievaluasi ulang oleh Presiden Joko Widodo sebelum dunia pendidikan kita semakin jauh terpuruk. Sebab, para guru tidak lagi fokus pada siswa, tapi sibuk melayani keselamatan dan kepentingannya sendiri, demi memenuhi kebijakan absurd pengambil kebijakan pendidikan.
Tirani aplikasi harus dihentikan!
Baca juga: Berkaca dari PISA
Doni Koesoema A, Pemerhati Pendidikan dan Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong