Nasib Warganet Setelah Revisi UU ITE
Revisi UU ITE diharapkan dapat menjaga ruang digital Indonesia tetap bersih, sehat, beretika, berkeadilan bagi warganet.
Prasangka buruk terhadap revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik melalui UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua UU ITE yang lahir di tahun politik tampaknya perlu dihindari sebelum memahami pembaruan yang diusung beleidkontroversial ini.
Selama ini, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memang dianggap sebagai aturan ”sapu jagat” yang bisa menyapu siapa pun karena dianggap mengandung sejumlah pasal karet yang dapat dijadikan alat untuk mengkriminalkan dan membungkam kebebasan berpendapat.
Dalam merespons perkembangan teknologi yang tidak terelakkan lagi, UU ITE juga mengatur tindak pidana yang menargetkan teknologi informasi sebagai obyek (cyber dependent crimes) dan yang menggunakan teknologi informasi sebagai sarana (cyber enable crimes), antara lain pencemaran nama baik, hate speech berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta hoaks.
Tidak dapat dimungkiri, kehadiran Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Baru sebagai ”miniatur konstitusi” hukum pidana yang baru berlaku efektif 2 Januari 2026 secara tidak langsung telah ”memaksa” revisi UU ITE itu untuk menyesuaikan pengaturan yang lebih seimbang antara perbuatan dan pelaku tindak pidana (daad-dader strafrecht).
Meski jauh dari kata sempurna, revisi UU ITE ini paling tidak diharapkan dapat menjaga ruang digital Indonesia tetap bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan bagi netizen (warganet). Tulisan ini memberikan gambaran umum mengenai sejumlah pembaruan dan tantangan penegakan hukum UU ITE.
Meski jauh dari kata sempurna, revisi UU ITE ini paling tidak diharapkan dapat menjaga ruang digital Indonesia tetap bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan bagi warganet.
Sejumlah pembaruan
”Convincia si irascaris, tua divulgas; spreta excolescunt”, demikianlah postulat Latin yang artinya ’jika Anda marah karena hinaan, Anda memublikasikannya; jika Anda mengabaikannya, hinaan itu akan terlupakan’.
Masalah pencemaran nama baik dan fitnah di media sosial memang sesuatu yang tidak pernah selesai dibahas. Usulan untuk mendekriminalisasi delik pencemaran nama baik menjadi ”urusan perdata” seperti di Inggris tampaknya belum cocok diterapkan di Indonesia.
Secara hukum, pencemaran nama baik adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum.
Dari sejumlah referensi hukum yang pernah penulis baca, penulis jelas tidak sependapat dengan pernyataan salah satu praktisi hukum kondang, yang menyebutkan bahwa kalau yang diviralkan adalah ”fakta”, maka perbuatan itu bukanlah pencemaran nama baik.
Dalam revisi UU ITE, pencemaran nama baik diatur dengan sanksi pidana yang jauh lebih ringan sehingga tidak dapat dilakukan upaya paksa sementara, berupa penahanan sampai terbukti bersalah oleh putusan pengadilan yang inkrah. Selain itu, diatur alasan penghapus pidana, yaitu bukan pencemaran nama baik jika dilakukan karena terpaksa untuk membela diri atau untuk kepentingan umum.
Yang menarik, selain dipertegas sebagai ”delik aduan” yang hanya dapat diproses apabila ada pengaduan langsung dari korban yang dirugikan, delik pencemaran nama baik dalam revisi UU ITE juga tidak termasuk ”badan hukum” dalam arti luas sebagai ”korban” yang berhak mengadu karena terinspirasi pengaturan serupa dalam KUHP baru.
Salah satu pembaruan yang perlu diapresiasi dalam UU ITE adalah tidak adanya lagi pengaturan yang dapat ”mendongkrak” sanksi pidana menjadi maksimal 12 tahun terhadap perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat sebagaimana Pasal 36 UU ITE sebelumnya.
Selanjutnya, mengenai delik pemberitahuan bohong (hoaks), pembentuk UU ITE telah mengaturnya sebagai ”delik materiil” yang mensyaratkan terpenuhinya unsur akibat berupa kerusuhan nyata yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik dan bukan kondisi di ruang digital/siber.
Meskipun tidak menghapus atau mencabut ketentuan Pasal 14 Ayat 2 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatur delik pemberitahuan bohong, paling tidak pembaruan UU ITE ini diharapkan dapat menjamin kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab di alam demokrasi.
Tantangan UU ITE
Salah satu tantangan yang akan dihadapi oleh aparat penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan adalah bagaimana penerapan revisi UU ITE nanti untuk perbuatan yang terjadi dan dilakukan pada waktu (tempus delicti) sebelum pembaruan UU ITE ini dilakukan, tetapi perkaranya masih dalam proses hukum yang belum usai.
Menurut penulis, aparat penegak hukum sebaiknya tidak melakukan penafsiran hukum yang kaku atas Pasal 1 Ayat 2 KUHP lama, yang berbunyi: ”Apabila ada perubahan dalam perundang-undangan ’sesudah perbuatan dilakukan’, maka terhadap ’terdakwa’ diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”.
Frasa terhadap terdakwa itu bisa dianggap tidak sesuai dengan perkembangan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di masyarakat, yang sebenarnya sudah diberikan pengaturan yang jelas dan lebih rinci dalam Pasal 3 KUHP baru. Termasuk juga bagi pelaku yang berstatus tersangka, tetapi perkaranya belum dilimpahkan ke pengadilan.
Argumentasi ini sejalan dengan postulat ”In favorabilibus magis attenditur quod prodest quam quod nocet”, yang artinya ’dalam hal yang menguntungkan, apa yang baik akan lebih diperhatikan daripada apa yang merugikan’.
Postulat ini dikenal sebagai asas lex favor reo, yang ”memilih” ketentuan mana yang lebih ”menguntungkan” untuk diterapkan sesudah perbuatan itu terjadi manakala terdapat perubahan peraturan perundang-undangan.
Untuk itu, penulis berharap caturwangsa dari penegak hukum—yaitu penyidik, penuntut umum, majelis hakim, dan advokat—dapat sungguh-sungguh mencermati kapan waktu terjadinya tindak pidana ITE (tempus delicti) berkaitan dengan disahkannya revisi UU ITE ini demi kepastian hukum yang berkeadilan.
SKB yang ”res derilictae”
Alasan diterbitkannya surat keputusan bersama yang ditandatangani Kapolri, Jaksa Agung, dan Menkominfo (SKB UU ITE) waktu itu adalah untuk memberikan pedoman bagi implementasi dari pasal-pasal tertentu dalam UU ITE yang dianggap multitafsir.
Dengan adanya sejumlah pembaruan dalam revisi UU ITE tersebut, menurut hemat penulis, SKB UU ITE ini telah menjadi res derilictae, sesuatu yang dikatakan telah ditinggalkan.
Hal itu disebabkan revisi UU ITE itu sendiri telah menjadi res ipsa loquitur, yaitu hal yang berbicara untuk dirinya sendiri (the thing speaks for itself).
Untuk itu, sambil menunggu pemberlakuan sejumlah pasal UU ITE dalam KUHP baru sebagaimana diamanatkan dalam Pasal II revisi UU ITE, diperlukan kesepahaman di antara aparat penegak hukum serta diseminasi atas sejumlah pembaruan positif yang telah diusung UU ITE, termasuk pembaruan SKB UU ITE.
Semua itu bertujuan agar jangan sampai orang yang bersalah bebas melakukan hal-hal yang dilarang oleh hukum dan sebaliknya jangan sampai orang yang tidak bersalah malah dihukum dengan UU ITE.
Baca juga: Revisi UU ITE Disetujui Disahkan, Celah Kriminalisasi Masih Terbuka
Albert Aries, Pengajar FH Trisakti, Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia