Terungkapnya kembali prostitusi anak melalui media sosial sungguh memprihatinkan. Pemerintah perlu segera bertindak.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Laporan Kompas.id dan harian Kompas beberapa hari terakhir mengungkapkan, anak-anak terjerat prostitusi karena banyak faktor dan sejumlah pihak terlibat, mulai dari masalah di keluarga, peran muncikari, konsumen dan pedofil yang masih berkeliaran, hingga warga yang kurang peduli. Kemajuan teknologi media sosial mempermudah transaksinya.
Dalam salah satu kasus yang menimpa AJ (14), misalnya, masalahnya bermula dari berpisahnya orangtuanya sejak tahun 2020. Meski ibunya telah menikah lagi, AJ masih berkomunikasi dengan ayah kandungnya. Bahkan, ayahnya meminta uang kepada anaknya.
Atas desakan kebutuhan uang itu, AJ terjebak dalam jeratan prostitusi oleh seorang teman laki-lakinya, yaitu D (17), dan muncikari bernama AT alias OM (52). D menawarkan AJ kepada laki-laki hidung belang melalui aplikasi MiChat. Kegiatan prostitusi dilakukan di sebuah tempat indekos milik AT di Kranggan, Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Di tempat indekos itu ternyata ada satu anak lain yang juga terjerat, yaitu S (17), dan pekerja seks komersial lainnya yang menjalankan praktik prostitusi. Berjalannya prostitusi di indekos ini juga sungguh mengkhawatirkan. Hal ini menunjukkan kontrol yang lemah dari pengurus RT/RW dan warga sekitarnya atas penggunaan indekos untuk kegiatan ilegal.
Terungkapnya prostitusi di sebuah indekos di Kranggan itu bukan yang pertama kali. Sebelumnya, terbongkar kasus serupa di Kelapa Gading, Jakarta Utara, dan Apartemen Kalibata, Jakarta Selatan. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa apa yang terungkap hanya puncak gunung es dari praktik prostitusi yang meluas dan didukung media sosial.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati mengatakan, banyaknya anak perempuan menjadi korban karena besarnya permintaan di pasar prostitusi. Penjabat Sementara Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Lia Latifah menambahkan, pelanggan tidak lain adalah pedofil dan orang dewasa yang memang mengincar anak-anak.
Mengingat demikian kompleksnya mata rantai masalah yang membuat anak-anak terjebak prostitusi, penyelesaiannya memerlukan langkah menyeluruh. Selain polisi yang terus menindak orang yang terlibat pada hilirnya ketika kasus terungkap, Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu menertibkan aplikasi media sosial yang digunakan untuk transaksi prostitusi yang melibatkan anak-anak.
Dari sisi hulu, Kementerian Permberdayaan Perempuan dan Anak bersama KPAI dan Komnas PA serta lembaga advokasi anak lainnya perlu bergandengan tangan mencegah anak-anak terjerat prostitusi. Kampanye antiprostitusi anak perlu digencarkan bersama pemerintah daerah. Tak kalah pentingnya, bahkan utama, adalah peran orangtua di rumah untuk melindungi anak-anak dari pengaruh buruk dari luar.