Gugurnya Resolusi Tahun Baru
Disiplin pribadi, privilese sumber daya, lingkup wawasan. Berbagai faktor menggayuti masyarakat Indonesia.
Bila di kolom sebelum ini saya menertawakan garis merah tahun yang berlalu, di kolom ini saya ingin membahas tahun yang baru. Jangan khawatir, bukan soal pemilu.
Salah satu survei yang pernah saya baca tentang Tahun Baru adalah peningkatan keanggotaan pusat kebugaran. Dirilis di Amerika Serikat pada awal 2023, disebutkan 12 persen keanggotaan baru pusat kebugaran (gym) terjadi pada bulan Januari, sedang seluruh bulan setelahnya rata-rata 8 persen.
Iseng, saya mencoba cek ke beberapa gym yang saya tahu di Jakarta. Walaupun tidak ada statistikanya, semua serempak mengakui gym paling dipenuhi anggota baru pada bulan Januari. Dugaan kami, resolusi Tahun Baru untuk hidup sehat yang menjadi pemicu.
Namun, bertahankah resolusi Tahun Baru itu?
Seorang teman yang rutin ke gym mengaku menghindari gym pada minggu-minggu pertama Januari karena terlalu ramai oleh anggota baru yang kadang belum paham tata tertib berolahraga dengan alat dan ruang yang dipakai bersama. ”Tapi lihat aja, setelah minggu ketiga biasanya gugur sendiri itu,” cetusnya sambil tersenyum simpul.
Saya tidak berniat menafikan, apalagi menertawakan, resolusi Tahun Baru. Secara umum, saya acungi jempol pada orang yang ingin memperbaiki dirinya. Sebagai orang yang selalu berusaha menjaga kesehatan, dua jempol untuk orang lain yang ingin mempraktikkan gaya hidup sehat. Tahu dari pengalaman betapa beratnya mempertahankan gaya hidup sehat, empat jempol tulus bagi yang sukses hidup sehat dalam jangka panjang.
Baca juga: Balada Enam Pasang Sepatu
Coba kita bedah konsep hidup sehat ini. Terlepas dari semua teori dan metode, intinya selalu sederhana dan sama; keseimbangan antara energi masuk dan keluar. Makan sesuai kebutuhan, bergerak sesuai asupan. Bila yang masuk lebih sedikit dari yang keluar, bisa sakit. Bila yang masuk lebih banyak dari yang keluar, bisa buncit. Menggelembung. Melebar. Tidak sehat dan ujungnya ya sakit juga.
Tapi menjaga keseimbangan sederhana ini jarang sederhana jalannya. Pada masyarakat urban Indonesia yang sibuk bekerja tanpa ditopang sistem transportasi umum memadai, jam kerja bisa ditambah setengahnya oleh waktu tempuh. Pagi, tidak keburu olahraga sebelum kerja. Pulang kerja kena macet, saat sampai rumah sudah terlalu lelah dan malas gerak, akhirnya makan kenyang sebelum tidur malam.
Soal makanan ini, sungguh kisah klasik pedang dua sisi. Begitu kaya kuliner Indonesia yang sedapnya sukar tertandingi di kawasan ini, tetapi sedapnya datang dari tingginya lemak dan kolesterol. Daging merah, jeroan, cumi-cumi, bebek, telur puyuh, dan sederet penganan lainnya. Belum bicara bumbu santan dan saus kacang.
Bagi yang bersikeras bahwa nenek moyang kita cenderung tidak gemuk, tolong diingat bahwa nenek moyang kita lebih banyak kerja fisik seperti bertani atau melaut, bukan seharian bekerja sambil duduk. Nenek moyang kita banyak jalan karena kendaraan bahkan delman pun cenderung bukan milik pribadi, sedangkan kita sekarang mudah panggil ojol untuk jarak lebih dari 5 menit.
Namun, apakah menggerakkan diri dan membatasi makanan sepenuhnya dimotori disiplin pribadi?
Baca juga: Art Week Tokyo 2023: Ekosistem Seni Masyarakat Maju
Dalam obrolan singkat bersama berbagai lapisan teman 1-2 tahun terakhir ini, saya sampai pada kesimpulan bahwa selain disiplin pribadi sebagai pencetus utama, keberlangsungan perubahan gaya hidup juga harus ditopang sumber daya. Uang, waktu, dan wawasan.
Saya kenal tiga orang dengan kondisi kesehatan yang sama, harus menurunkan berat badan dan tekanan darah, tetapi dengan situasi kehidupan yang beda. A berkarier di perusahaan multinasional di pusat Kota Jakarta, ia memutuskan pesan katering makanan sehat yang diantar ke kantornya. Kolega kerjanya memahami perjuangannya sehingga berusaha tidak mengudap di sekitarnya.
Sama dengan olahraga. Saya yang pekerja lepasan tanpa gaji tetap menghindari sesi gym dengan instruktur pribadi yang relatif mahal, tetapi punya keleluasaan waktu mengambil kelas bersama.
Sementara itu, B berwiraswasta sehingga bisa mengatur masak makanan sehat untuk dibawa ke tokonya. C bekerja di sebuah perusahaan di pinggir kota yang berbeda sisi dengan rumahnya yang juga di pinggiran Jakarta, tidak sempat masak pagi-pagi untuk bekal, hanya punya pilihan beli soto atau nasi padang di belakang kantor, lokasi kantor terlalu jauh untuk katering makanan sehat kalaupun harganya cocok, dan rekan sekerjanya kerap mengecilkan hatinya dengan ejekan ”sok sehat lu” atau menyodorkan sepiring gorengan.
Anda bisa tebak mana dari A, B, dan C yang bisa mencapai target yang disuruh dokter saat cek kesehatan berikutnya.
Sama dengan olahraga. Saya yang pekerja lepasan tanpa gaji tetap menghindari sesi gym dengan instruktur pribadi yang relatif mahal, tetapi punya keleluasaan waktu mengambil kelas bersama. Di sekitar saya, banyak teman dari strata yang mampu memanggil pelatih ke rumah, sampai yang baru mampu mengikuti kelas via Zoom dari rumah. Ada juga yang punya waktu dan uang, tetapi malas.
Wawasan gizi juga tampaknya masih rendah di banyak kalangan, terlepas pelajaran biologi wajib sejak SMP secara nasional. Saya masih memaklumi kelas bawah makan nasi dengan mi karena keterbatasan uang; tak sadar itu artinya karbohidrat ganda, boro-boro paham karbohidrat pada dasarnya gula. Saya masih mafhum bahwa susu kotak tinggi gula itu dianggap sama menyehatkannya dengan susu segar.
Baca juga: Cinta Kasih Pilih Kasih
Namun, saya bingung melihat kelas menengah dan atas melakukan hal-hal yang sama, membiasakan anak menelan penganan olahan seperti sosis dan nuget goreng, dan rutin jajan teh boba berlimpah gula. Sekian dokter penyakit dalam yang saya kenal kesal sekali karena kerap mendapat pasien muda dengan diabetes dan kolesterol karena sejak kecil mengonsumsi makanan olahan dan jajanan berbasis gula. Padahal, kalau orangtua sibuk dan tidak punya pembantu yang bisa masak, katering makanan rumahan dengan sayur dan lauk konvensional cukup banyak di sekitar.
Disiplin pribadi, privilese sumber daya, lingkup wawasan. Berbagai faktor menggayuti masyarakat Indonesia sehingga meningkatnya kemakmuran tak selalu disertai perbaikan kesehatan. Saya juga tidak menutup mata bahwa sikap masa bodoh juga banyak dianut, acapkali dengan alasan cuma sekali hidup. Lebih parah tentunya yang memakai dalih citra positif tubuh (body positivity), karena beda antara menerima bentuk tubuh dari sisi estetika dan menerima fakta medis bahwa tubuhnya tidak sehat. Kadang saya melamun, kapan cukup banyak orang mengamalkan hidup sehat sampai secara jumlah mereka bisa mengayun pendulum masyarakat.
Dengan demikian, pada awal Januari kita akan mendengar resolusi Tahun Baru tanpa beberapa minggu kemudian menyaksikannya gugur.
Lynda Ibrahim, Konsultan Bisnis dan Penulis