Balada Enam Pasang Sepatu
Saya membayangkan bahwa diam-diam jajaran alas kaki saya menyimpan benci dan sedang menyiapkan revolusi.
Pengujung tahun kerap diwarnai rekaman kenangan, sedangkan awal tahun ungkapan pengharapan. Di era media sosial, banyak yang mengunggah foto-foto garis merah kehidupan diimbuhi kalimat filosofis nan indah.
Saya tertawa sendiri saat mencoba merangkai kaleidoskop pribadi 2023 karena dari sekian episode kehidupan, cuma satu yang membentuk garis merah—jebolnya sol enam pasang sepatu saya.
Balada dimulai pada awal 2023 di negara jiran. Walau bulan Januari, hari itu Singapura terik sekali. Saya baru meninggalkan sebuah galeri seni di kawasan perkantoran, agenda terakhir sebelum pulang ke Jakarta, saat jari kaki mendadak terasa tersengat. Ternyata sol sepatu kesayangan saya jebol sehingga jempol terpapar langsung ke trotoar. Setelah seminggu menjelajahi Singapura Art Week, sang sepatu lama tampaknya menyerah. Saya sempat celingukan, sebelum ingat ini bukan Jakarta yang punya minimarket penjual sandal jepit di setiap belokan.
Saya tak punya pilihan. Menarik napas dan menabahkan jari, saya menyeret kaki ke stasiun MRT terdekat, naik sampai dekat hotel, jalan dua blok untuk check-out dan mengambil koper yang, untungnya, menyimpan sepasang sandal. Menuju Changi sampai Jakarta, kaki saya aman dari aspal.
Setengah tahun kemudian, saat pengambilan gambar di acara publik untuk sebuah dokumenter, sol selop saya bertingkah. Hak selopnya 5 cm, yang copot cuma satu sisi. Mana saya dibalut kebaya dan kain panjang sesuai tema dokumenternya, lari-lari mengarahkan narasumber dan juru kamera di sebuah gedung kolonial luas di Jakarta. Bayangkan kikuknya keluar-masuk ruangan dan halaman rumput dengan selop yang solnya pelan-pelan copot. Setelah acara selesai, saya lepas selop dan lunglai berjalan nyeker ke kendaraan, sambil mulai berpikir ada apa dengan sepatu dan sandal saya.
Beberapa bulan berjalan damai sebelum balada bersambung dalam kuartal penutup tahun. Pada hari terakhir Jakarta Fashion Week (JFW), saat makan sebelum pergelaran pamungkas Dewi Fashion Knight, sol sepatu pantofel (pumps) saya lepas tanpa peringatan. Saya panik karena bukan saja pergelaran mau mulai, saya tahu akan duduk di baris terdepan, terlihat tamu dan kamera. Bagaimana mungkin telanjang kaki di front row JFW, pada malam terakbarnya pula? Bisa seumur-umur dilarang datang panitia nanti.
Baca juga: Kampus: Skripsi Tidak, Politik Iya?
Memutar otak keras, saya teringat ada dua jenama sepatu lokal di bazar JFW. Menyeret kaki dari satu sayap ke sayap lain Pondok Indah Mall, saya makin panik karena jenama pertama menjual sepatu pesta yang terlalu mahal untuk sebatas melindungi reputasi saya malam itu. Untung jenama kedua menjual sepatu yang bukan saja harganya terjangkau, warna abu-abu metaliknya juga masih cocok dengan gaun krem malam itu. Jadilah saya duduk manis di baris terdepan JFW tanpa skandal.
Walau tetap kesal karena pumps klasik coklat itu seharusnya dibawa besoknya untuk dikenakan di pesta pembukaan Art Week Tokyo malam berikutnya. Warnanya cocok dengan gaun dan stoking yang menghangatkan untuk malam musim gugur Jepang. Dengan segala pekerjaan minggu itu tak ada lagi waktu membongkar koper yang sudah tertata, jadi saya terpaksa memakai walking shoes, bukan pumps elegan, di pesta koktail AWT untuk para VIP dan kru media. Untung bentuknya mirip pumps dan warnanya pun coklat.
Sampai beberapa hari kemudian, di hari terakhir sebelum pulang ke Jakarta. Pagi itu setelah menengok pameran sejarah mode Yves Saint Laurent, saya bergegas balik ke hotel untuk check-out sebelum menuju stasiun kereta terdekat. Dua hal beruntun terjadi. Pertama, di stasiun dekat hotel, sol sang walking shoes pun mulai menganga. Kedua, saat mencapai stasiun yang lebih besar, kereta ekspres bandara tak jalan. Saya harus mengambil kereta lain yang, walaupun akan berakhir di Bandara Narita, mesti keliling Tokyo dan pinggirannya. Dan, saya tidak membawa sepatu cadangan.
Lagi-lagi tak punya pilihan, sambil menyeret kaki dan koper, saya menaiki kereta yang ada. Selama hampir dua jam perjalanan, selain makin merindukan minimarket penjual sandal di setiap pengkolan Jakarta, saya berusaha menganalisis rentetan peristiwa. Apakah jajaran alas kaki saya sejatinya alergi terhadap mode dan seni rupa? Atau ini pemberontakan pribadi terhadap saya, terlepas mereka saya rawat baik dan rumahkan di lemari berkaca dengan taburan kamper dan butiran penyerap lembab? Tak ingatkah mereka bahwa saking layaknya, lemari ini pernah diliput majalah dekor terkemuka?
Seolah-olah semesta ingin memastikan saya membuka dan menutup tahun dengan drama yang sama. Saat saya unggah di media sosial, kali ini teman-teman saya sudah melewati basa-basi keprihatinan; mereka terbuka cekakakan.
Tujuh jam penerbangan dari Tokyo, saya tidak bisa tidur. Saya membayangkan bahwa diam-diam jajaran alas kaki saya menyimpan benci dan sedang menyiapkan revolusi.
Tapi, tuntutan pekerjaan jalan terus sehingga saya tak kunjung sempat berdialog dengan warga lemari sepatu sampai datang waktu berlibur. Rehat lama pertama setelah berbagai prahara sejak pertengahan 2021, saya sungguh menikmati hari-hari kami berkendara di Tasmania awal Desember itu.
Sampai pada hari kami mendaki di Taman Nasional Freycinet. Baru menit kesekian belas, sol kedua belah hiking shoes saya lepas. Sepatu yang telah mengantar ke atas Pulau Padar, Kawah Ijen, Gunung Batur, dan sekian bukit yang saya lupa namanya, gugur sebelum perhentian pertama Wineglass Bay. Sekelompok keluarga Australia jatuh iba dan memberikan karet rambut anaknya agar minimal sepatu terikat dan saya bisa mencapai perhentian pertama.
Baca juga: Cinta Kasih Pilih Kasih
Gea, teman mendaki hari itu, mencoba menghibur. Teman-teman lain, yang mengikuti balada sejak awal tahun, pecah tertawa saat saya sekali lagi mengunggah foto sol sepatu rontok. Saya sendiri mulai curiga Dewa-Dewi Sepatu mengincar saya.
Rasanya kecurigaan ini ada benarnya. Karena sepulangnya ke Jakarta, pada hari-hari kerja terakhir 2023, saat mendorong kursi roda ibu saya untuk sebuah urusan penting di bank, sol sepatu keenam pun terbuka. Seolah-olah semesta ingin memastikan saya membuka dan menutup tahun dengan drama yang sama. Saat saya unggah di media sosial, kali ini teman-teman saya sudah melewati basa-basi keprihatinan; mereka terbuka cekakakan. Sahabat saya Lailai merekomendasikan mandi kembang.
Enam pasang sol sepatu. Empat negara. Saat bekerja, berlibur, dan mengurus orangtua. Entah karena sempat jarang dipakai selama pandemi, entah karena Dewa-Dewi Sepatu ada masalah pribadi. Tahun 2023 adalah tahun yang akan selalu saya kenang bukan saja karena berbagai kesempatan berkarya di jalur baru, melainkan juga karena pemberontakan para sepatu. Mungkin suatu hari saya akan paham pesan filosofis di baliknya, mungkin ini sekadar serial kebetulan. Apa pun itu, izinkanlah tiada drama alas kaki lagi tahun 2024 ini, ya Tuhan.
Lynda Ibrahim, Konsultan Bisnis & Penulis