Lubang Gelap Peredaran Daging Anjing
Perdagangan daging anjing terus terjadi. Selain melanggar kesejahteraan hewan, ini juga mengancam kesehatan masyarakat.
Polemik peredaran daging anjing di Indonesia terus melahirkan pro dan kontra di masyarakat. Pembahasan ini semakin marak setelah munculnya gerakan menghentikan peredaran daging anjing di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Bali. Gerakan di Bali tersebut merupakan program kolaborasi antara Pemerintah Provinsi Bali, terutama Satpol PP Provinsi Bali, dan Sintesia Animalia Indonesia, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara melalui gerakan Dog Meat Free Indonesia (DMFI).
Meskipun beberapa pendekatan, kampanye publik, dan diskusi terfokus telah dilakukan dalam lima tahun terakhir, perdagangan daging anjing tetap terjadi di depan mata kita. Terakhir, Badan Karantina Indonesia wilayah Sulawesi Barat menggagalkan peredaran 2 ton daging anjing dan Badan Karantina Indonesia wilayah Maluku menggagalkan pemasukan 100 kilogram daging anjing ilegal ke Ambon, Maluku. Penggagalan ini dapat berhasil karena ada kolaborasi antar instansi dalam melakukan pengawasan lalu lintas produk hewan.
Peredaran daging anjing ilegal sangat berisiko dan memiliki berbagai ancaman pada kesehatan di masyarakat. Hal ini karena perpindahan anjing dari lokasi asal ke lokasi baru, baik anjing yang tervaksinasi maupun tidak, dapat menimbulkan potensi risiko penyebaran penyakit dan hilangnya kekebalan kelompok (herd immunity) yang melindungi hewan dan manusia di sekitar wilayah asalnya.
Karena itu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan serta Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pengawasan Lalu Lintas Hewan, Produk Hewan, dan Media Pembawa Penyakit Hewan lainnya di dalam Wilayah NKRI mengatur beberapa dokumen persyaratan yang wajib dipenuhi untuk mencegah masuk/tersebar/keluarnya penyakit hewan baik di dalam maupun di luar Indonesia.
Baca juga: Ketiadaan Aturan dan Kontroversi Perdagangan Daging Anjing di Surakarta
Beberapa provinsi dan kabupaten/kota telah mengambil langkah yang lebih konkret untuk melarang peredaran daging anjing di masyarakat melalui pembentukan peraturan daerah dan surat edaran bupati/wali kota. Terbaru, Provinsi Bali mengeluarkan aturan pelarangan distribusi dan jual-beli daging anjing melalui Perda Provinsi Bali No 5/2023 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum, Ketenteraman Masyarakat, dan Perlindungan Masyarakat.
Pada 2022, Kota Semarang melarang penjualan pangan yang berasal dari bahan nonpangan dan/atau tidak memenuhi standar kesehatan dan keamanan pangan, melalui Perda Kota Semarang No 2/2022 tentang Keamanan Pangan. Selanjutnya, beberapa kabupaten/kota, termasuk Salatiga, Brebes, Malang, Purbalingga, Sukoharjo, Surabaya, Blora, Karanganyar, bahkan DKI Jakarta dan Medan, juga menerbitkan aturannya masing-masing melalui surat edaran dari bupati/wali kota atau pejabat yang berwenang.
Pada intinya, pergerakan melawan peredaran daging anjing adalah untuk memunculkan kesadaran di masyarakat bahwa anjing tidak lazim untuk dikonsumsi. Namun, faktanya di lapangan, pemahaman ini kerap kali bersinggungan dengan gagasan bahwa setiap daerah memiliki tradisi dan keyakinan mereka masing-masing tentang bagaimana menempatkan anjing dan daging anjing berdasarkan pada konsep keyakinan, tingkatan ekonomi, pola pikir, nilai gizi, khasiat, dan strata budaya yang ada di masyarakat (Maya dan Pattipeilohy, 2020).
Benturan inilah yang menjadi salah satu penghambat dalam upaya pembentukan regulasi nasional untuk menghentikan aktivitas peredaran daging anjing di Tanah Air. Dalam tulisan ini, perspektif yang mengangkat pertentangan terhadap peredaran daging anjing dikaji secara empiris dan terbuka dari beberapa sudut pandang hingga cara mitigasinya.
Pertimbangan ”One Health”
Peredaran daging anjing adalah isu pendekatan ”Satu Kesehatan” (”One Health”) yang penting, tetapi terabaikan. Proses pengolahan daging anjing kerap kali tidak mengindahkan nilai kebersihan, sanitasi, keamanan lingkungan, dan kesejahteraan hewan. Rantai peredaran daging anjing dimulai dari penangkapan, pengangkutan, pengurungan, pembunuhan, penjagalan, pembuangan limbah, penyimpanan/pengolahan/pemasakan, hingga peredarannya di masyarakat yang secara jelas mengabaikan prinsip kesehatan dan kesejahteraan pada Hewan. Padahal, prinsip dari pendekatan ”Satu Kesehatan” adalah adanya interkoneksi risiko yang membahayakan manusia, hewan, dan lingkungan.
Perlu dipahami, rabies atau penyakit anjing gila bukan satu-satunya ancaman dalam peredaran daging anjing yang mengancam kesehatan manusia. Agen patogen lainnya seperti bakteri, jamur, ektoparasit, endoparasit, hingga virus yang bersifat zoonosis seperti oral microbiome, enteropathogenic bacteria, leptospira, microsporum canis, sarcoptes scabiei, trichinella, dan vibrio cholera juga memiliki risiko negatif kepada kesehatan manusia. Semua memiliki risiko penularan dari anjing ke manusia melalui kontak langsung, oral, bahkan dapat melalui jalur inhalasi.
Pergerakan melawan peredaran daging anjing adalah untuk memunculkan kesadaran di masyarakat bahwa anjing tidak lazim untuk dikonsumsi.
Risiko ini menjadi lebih besar jika agen patogen yang ditularkan memiliki sifat resisten terhadap antibiotik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan resistensi antibiotik sebagai salah satu dari 10 ancaman kesehatan masyarakat global yang dihadapi manusia. Diperkirakan 1,27 juta kematian manusia pada 2019 secara global disebabkan oleh infeksi yang resisten terhadap obat, kemudian pada 2050 diperkirakan akan terjadi 10 juta kematian setiap tahun (WHO, 2022) apabila isu ini tidak ditangani. Peredaran daging anjing juga menimbulkan risiko berbahaya dari racun dan residu antimikroba yang akan mempercepat munculnya resistensi antibiotik.
Ada sejumlah kasus keracunan makanan serius yang terjadi setelah orang mengonsumsi daging anjing, termasuk enam orang (satu meninggal) di Kupang pada 2017; 27 orang di Simalungun Sumatera Utara pada 2020; tujuh orang (satu meninggal) di Kupang pada 2020; 32 orang di Sumatera Utara pada 2022; 53 orang di Boven Digoel, Papua pada 2022; 25 orang di Teluk Wondama Papua pada Desember 2022, dan terakhir 11 orang (satu orang meninggal) di Ende pada Oktober 2023. Ada kemungkinan kasus-kasus keracunan makanan akibat konsumsi daging anjing lainnya tidak dilaporkan kepada dinas terkait.
Pertimbangan kekerasan
Tindakan yang melibatkan anjing hidup menjadi produk hewan seperti daging anjing hampir selalu melibatkan kekerasan baik kepada manusia, hewan, maupun lingkungan. Metode yang kejam dan melanggar kesejahteraan hewan sering digunakan pada proses penangkapan, perkandangan, pemeliharaan, transportasi, hingga pemotongan. Padahal, Mota-Rojas dkk (2022) menyebutkan, orang -orang dan anak-anak yang sering melakukan tindakan kekerasan kepada hewan dapat menjadi faktor risiko dan berpotensi melakukan tindakan kekerasan juga kepada lingkungan termasuk pada sesama manusia.
Contoh lain kekerasan yang kurang diperhatikan dan harus dihentikan adalah pemberian racun kepada anjing saat proses penangkapan. Potassium sianida dan metomil adalah dua jenis racun yang terkonfirmasi digunakan untuk meracuni anjing di Bali (Sintesia Animalia, 2023). Meskipun belum ada laporan resmi, penggunaan bahan kimia secara ilegal untuk meracuni anjing telah dilaporkan terjadi di beberapa wilayah seperti Bali, Medan, dan Palangkaraya.
Peracunan tidak hanya melibatkan kekejaman terhadap anjing, tetapi juga menimbulkan risiko bagi manusia khususnya anak-anak, hewan lain, dan lingkungan. Racun-racun ini dimasukkan ke dalam umpan dan diletakkan di atas tanah yang seringkali ditemukan jalan-jalan umum. Racun tersebut juga berbahaya bagi hewan domestik lainnya seperti kucing, ayam dan bebek, atau hewan liar seperti biawak dan burung. Kematian hewan-hewan nontarget ini tidak hanya menimbulkan rasa sakit dan penderitaan, tetapi juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem.
Metode yang kejam dan melanggar kesejahteraan hewan sering digunakan pada proses penangkapan, perkandangan, pemeliharaan, transportasi, hingga pemotongan.
Pada manusia, racun dapat masuk ke dalam tubuh secara tidak sengaja melalui jalur oral karena penanganan yang tidak tepat atau keterpaparan yang tidak disengaja. Orang yang terlibat dalam peracunan ini memiliki risiko lebih besar, apabila mereka menangani penggunaan racun ini tanpa prosedur yang tepat.
Anjing yang tidak disembelih di rumah potong hewan sehingga pengelolaan limbahnya sangat minim atau bahkan tidak ada sama sekali juga dapat menimbulkan kerugian pada lingkungan. Limbah seperti darah dan isi usus sering kali dibuang sembarangan dan menimbulkan risiko kontaminasi seperti penyebaran bakteri yang terdapat di dalam usus anjing. Bakteri ini dapat bertahan di air dan di lingkungan yang tepat. Ketika bakteri ini bertahan di lingkungan seperti di sungai, maka bakteri ini dapat menyebabkan penurunan kualitas air dan hilangnya ekosistem.
Pembuangan antimikroba yang terkandung dalam limbah juga dapat menyebabkan pertumbuhan alga dan menjadi ”zona mati” untuk kehidupan akuatik dan juga berbahaya bagi kesehatan manusia (Winders 2021). Selain berisiko mendukung resistensi antimikroba, buangan tersebut dapat diserap oleh tanaman, mengganggu proses fisiologis, dan berpotensi menyebabkan efek ekotoksikologi.
Mitigasi risiko
Kolaborasi dan edukasi menjadi senjata utama dalam mengurangi hingga menghilangkan seluruh tindakan dalam peredaran daging anjing di Indonesia. Pendekatan ”Satu Kesehatan” dan ”Satu Kesejahteraan” (One Welfare) (Pinillos, 2018) dapat dilakukan dengan sinergitas seluruh instansi dan lembaga swadaya masyarakat. Risiko kesehatan dan sosial yang dapat timbul pun dapat diminimalisasi dan menciptakan lingkungan yang aman dan sehat.
Penegakan regulasi pun dinilai vital mengingat Indonesia adalah negara hukum. Beberapa regulasi yang mengatur tentang peredaran daging anjing dapat mengacu kepada UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU No 21/2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, UU No 18/2012 tentang Pangan, PP No 95/2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, serta SNI 99003:2018 tentang Pemotongan Halal Hewan Ruminansia dan SNI 99002:2016 tentang Pemotongan Halal Unggas. Dengan diterapkan dan dieksekusinya regulasi yang berlaku, maka peredaran daging anjing pasti dapat dikendalikan.
Baca juga: Dunia Soroti Indonesia karena Ada yang Makan Daging Anjing
Pemahaman mengenai pentingnya kesejahteraan hewan (kesrawan) menjadi bagian akhir yang harus diketahui oleh masyarakat. Kesrawan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik, mental, dan perilaku alami hewan yang perlu ditegakkan dan diterapkan oleh manusia terhadap hewan yang dimanfaatkan oleh mereka.
Tantangan serta polemik peredaran daging anjing secara nasional pasti akan terus ada. Namun, risiko dan mitigasi serta perkembangan ilmu dalam masyarakat telah meningkat sehingga masyarakat dapat mengambil keputusan yang lebih bijak dalam menentukan apa yang mereka konsumsi.
Kerja sama dan edukasi harus rutin dilakukan untuk bersama menyampaikan risiko negatif yang dapat terjadi saat tetap memilih untuk mengkonsumsi daging anjing. Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang paham pentingnya kesejahteraan hewan serta dapat menghargai seluruh makhluk hidup tanpa adanya perbedaan cara pandang seperti halnya bahwa anjing adalah makhluk hidup yang dapat merasakan emosi positif hingga emosi negatif.
Zulfikar Basrul, Dokter Hewan Karantina Indonesia dan Peneliti Kesejahteraan Hewan Indonesia; Dokter Hewan di Sintesia Animalia Indonesia