Restrukturisasi kredit perlu diperpanjang hingga Maret 2025 untuk membantu pemulihan UMKM yang masih terdampak Covid-19.
Oleh
PAUL SUTARYONO
·4 menit baca
Bagaimana prospek perbankan Indonesia di tahun politik 2024? Banjir likuiditas di tahun pemilu memungkinkan perbankan berperan lebih besar membantu pemerintah menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja lewat penggelontoran kredit ke sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja.
Data Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan kredit bank tumbuh 8,99 persen (yoy), dari Rp 6.334 triliun per Oktober 2022 menjadi Rp 6.903 triliun per Oktober 2023. Pertumbuhan kredit per Oktober itu lebih tinggi dibanding September yang 8,96 persen, meski masih di bawah target pertumbuhan kredit 10-12 persen untuk tahun 2023.
Sementara dana pihak ketiga (DPK) ”hanya” tumbuh 3,43 persen, dari Rp 7.928 triliun menjadi Rp 8.199 triliun; turun dari 6,54 persen pada September 2023. Pertumbuhan DPK yang lebih rendah daripada kredit menyebabkan rasio kredit terhadap DPK (loan to deposit ratio/LDR) naik dari 79,90 persen menjadi 84,19 persen, dalam ambang batas 78-92 persen.
Margin bunga bersih (net interest margin/NIM) naik dari 4,70 persen menjadi 4,85 persen. Sementara imbal hasil aset (return on assets/ROA) naik dari 2,47 persen menjadi 2,73 persen. Ini menyiratkan kualitas aset membaik, jauh di atas ambang batas 1,5 persen.
Tantangan 2024
Untuk penyelenggaraan pemilu, Komisi II DPR sudah menetapkan anggaran penyelenggaraan pemilu bagi KPU Rp 27,39 triliun dan Bawaslu Rp 11,6 triliun. Belanja jumbo ini akan tersalurkan ke sejumlah sektor, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Terlebih ketika pemerintah juga menggeber belanja pemerintah, termasuk untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara. Hingga akhir Desember 2023, realisasi belanja pemerintah mencapai Rp 3.121,9 triliun atau 110,2 persen di atas target APBN Rp 3,061,2 triliun pada 2023. APBN masih jadi instrumen stimulus ekonomi dan kesejahteraan.
Perbankan sendiri ditantang untuk mampu meningkatkan pembiayaan ke sektor yang menyerap banyak tenaga kerja, seperti pariwisata dan ekonomi kreatif. Kedua sektor ini bisa menggairahkan sektor atau subsektor lain, seperti transportasi, pergudangan, dan komunikasi (pesawat terbang, angkutan laut, angkutan darat, dan kendaraan pribadi), serta sektor penyediaan akomodasi makan minum (hotel, biro perjalanan, travel fair, restoran).
Demikian pula sektor listrik, gas dan air, sektor konstruksi, sektor jasa pendidikan (perguruan tinggi atau sekolah pariwisata, perhotelan), sektor jasa kesehatan (rumah sakit, klinik), dan sektor UMKM.
Sektor pariwisata juga dapat mengundang investasi global untuk menggenjot banyak kesempatan kerja di sektor, antara lain, infrastruktur (bandara, pelabuhan laut, hotel, jalan) dan jaringan komunikasi (listrik, telepon, internet).
Perbankan sendiri ditantang untuk mampu meningkatkan pembiayaan ke sektor yang menyerap banyak tenaga kerja, seperti pariwisata dan ekonomi kreatif.
Di sektor perbankan sendiri, program restrukturisasi kredit akan berakhir pada 31 Maret 2024. Nilai restrukturisasi kredit turun 5,25 persen atau Rp 15,82 triliun dari Rp 316,98 triliun per September 2023 menjadi Rp 301,16 triliun per Oktober 2023. Jumlah nasabah juga turun 8,20 persen atau 100.000 nasabah dari Rp 1,32 juta menjadi 1,22 juta.
Tampaknya, restrukturisasi kredit perlu diperpanjang hingga Maret 2025 untuk membantu pemulihan UMKM yang masih terdampak Covid-19. Selama ini, UKM mampu menyerap 100 juta lebih tenaga kerja. Ujungnya, bank harus meningkatkan cadangan dan modal.
Suku bunga kredit
Pada 19 Oktober 2023, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan (BI 7 day reverse repo rate) sebesar 25 basis poin (bps) dari 5,75 persen menjadi 6 persen. Kenaikan suku bunga terakhir sebelumnya adalah Januari 2023. Suku bunga 6 persen itu bertahan hingga kini.
Kenaikan suku bunga acuan ini untuk memperkuat kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak meningkatnya ketidakpastian global, selain sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko terhadap inflasi barang impor (imported inflation). Tujuannya, inflasi terkendali dengan sasaran 3 persen plus minus 1 persen pada 2023 dan 2,5 persen plus minus 1 persen pada 2024.
Naiknya bunga acuan BI juga untuk mengantisipasi kenaikan bunga acuan AS (FFR) meski ternyata FFR bertahan di level 5,25-5,5 persen per 1 November 2023, tertinggi dalam 22 tahun.
Kenaikan bunga acuan BI itu kemungkinan tak akan mendorong kenaikan suku bunga kredit perbankan. Penyebabnya, likuiditas perbankan saat ini luber, tecermin dari rasio alat likuid/non-core deposit (AL/NCD) yang naik menjadi 117,29 persen per Oktober 2023, dari 115,37 persen per September 2023, jauh di atas ambang batas 50 persen.
Rasio likuiditas sendiri, yakni alat likuid terhadap DPK, tercatat 26,36 persen per Oktober 2023, naik dari 25,83 persen per September 2023, di atas ambang batas 10 persen.
Kenaikan bunga acuan BI kemungkinan juga tak akan berpengaruh ke suku bunga kredit sektor riil, terutama KPR. Mengapa? Pemerintah telah meluncurkan insentif untuk pembelian rumah berupa pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) 11 persen untuk pembelian rumah dengan harga di bawah Rp 2 miliar, serta insentif Rp 4 juta bagi pembelian rumah bersubsidi oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Semua ini menjadi tantangan bagi perbankan untuk lebih banyak lagi menggelontorkan KPR. Kebangkitan sektor properti akan menggairahkan 174 subsektor lainnya. Selain menciptakan lapangan kerja, kenaikan penjualan rumah di sektor properti juga diharapkan dapat menekan kekurangan penyediaan perumahan (backlog) yang mencapai 12,7 juta unit rumah per 2023.
Pada 2024, perbankan diharapkan juga mendukung pemerintah dalam program langit biru melalui penyaluran kredit hijau. Bank Mandiri juga telah menyalurkan kredit hijau Rp 115 triliun pada semester I-2023, disusul BCA Rp 71 triliun, BRI Rp 79,4 triliun, dan BNI Rp 31,5 triliun.