Cerita Indah Perusahaan Teknologi Telah Berakhir
Kini yang tampak adalah masalah di perusahaan teknologi. Mereka akan kembali melakukan pemutusan hubungan kerja.
Masa-masa emas perusahaan teknologi di Indonesia sudah lewat. Kini yang makin tampak adalah berbagai masalah di dalam perusahaan itu, mulai dari pemutusan hubungan kerja hingga kewajiban harus segera untung. Masalah berikutnya adalah teknologi yang digunakan makin tertinggal. Era kecerdasan buatan mengharuskan mereka menggunakan teknologi ini, tetapi sebagian besar tak siap. Semua cerita yang indah dan sukacita telah berlalu.
Sejumlah perusahaan teknologi, baik di Indonesia maupun di luar negeri, masih terus melakukan pemutusan hubungan kerja. Beberapa kalangan menyebut musim dingin (winter) perusahaan teknologi masih akan berlangsung, tetapi mungkin istilah itu kurang tepat karena sebenarnya perusahaan teknologi tengah menghadapi situasi antara hidup dan mati.
Kisah pemutusan hubungan kerja (PHK) dilakukan untuk menekan pengeluaran. Di dalam perusahaan, PHK memang cara paling mudah dilakukan perusahaan untuk menekan ongkos. Beberapa yang tidak kuat terpaksa menutup usahanya. Di tingkat global ada Google, Meta, dan Spotify yang kembali melakukan PHK. Di dalam negeri platform teknologi finansial (tekfin) Flip juga melakukan PHK, platform ekonomi sirkular Octopus tidak bisa lagi membayar gaji karyawan, dan platform edukasi Zenius menutup sementara usahanya.
Baca juga: Perusahaan Teknologi Rusak karena Nafsu Ingin Cepat Untung
Persoalan pokoknya adalah mereka masih sekadar mendigitalisasikan proses bisnis, tetapi belum bisa menjalankan bisnis yang menguntungkan. Beberapa memang mendapat respons pasar, seperti pada bisnis pengantaran orang dan barang. Untuk pengantaran orang, platform ini menyelesaikan masalah pasar ojek yang kerap berhadapan dengan harga liar dan juga kesulitan untuk memesan ojek di beberapa tempat. Permintaan tinggi dan persoalan harga mungkin menjadi relatif di mata konsumen. Akan tetapi, beberapa pemain yang berada di kolam yang sama menyebabkan mereka sulit untuk mendapatkan keuntungan. Belum lagi masalah perilaku pengemudi ojek yang sangat beragam menyulitkan pengelolaan bisnis ini.
Di luar itu, seperti bisnis tekfin, hingga kini juga masih muncul masalah. Bisnis sistem pembayaran bisa diterima pasar, tetapi bisnis ini mentok. Mereka hanya bisa mendapatkan keuntungan kecil. Data yang didapat pun belum terlihat menggerakkan inovasi bisnis lainnya. Untuk bisnis pinjaman daring, masalah makin bertumpuk dengan berbagai kasus yang ujungnya adalah masalah literasi.
Perubahan orientasi masih jarang dilakukan ketika masalah demi masalah terus muncul. Perusahaan teknologi sekarang cenderung sebatas berusaha untuk selamat dan bisnisnya jalan saja. Tidak banyak pilihan. Mereka tetap mengerjakan bisnis lama dan dengan cara lama. Sepertinya tidak ada pilihan lain atau terobosan sehingga terus menjalankan bisnis yang tak tentu masa depannya.
Sebagai pembanding, kita melihat apa yang dilakukan Meta. Pimpinan perusahaan ini, Mark Zuckerberg, pada akhir tahun 2023 telah menyatakan bahwa saat memasuki tahun 2024 mereka harus melakukan efisiensi. Di awal tahun mereka telah melakukan pemutusan hubungan kerja di Instagram. Mereka yang terkena adalah termasuk dalam level manajerial. Para karyawan tersebut diberi kesempatan untuk mendapatkan peran lain di dalam perusahaan. Di sini terlibat perubahan orientasi bisnis Meta. Beberapa pekerjaan lama sudah dikurangi atau malah ditinggalkan. Mereka butuh karyawan dengan pekerjaan baru.
Masalah teknologi
Masalah lainnya yang menimpa perusahaan teknologi di Indonesia adalah pembaruan teknologi yang digunakan. Hampir semua perusahaan teknologi raksasa kini menyandarkan bisnisnya pada teknologi kecerdasan buatan. Perusahaan-perusahaan teknologi di Indonesia masih sedikit yang mengadopsi teknologi ini.
Permasalahan teknologi bisa dilihat dalam kasus pembelian saham Tokopedia oleh Tiktok sebesar 75 persen. Di samping masalah kebutuhan uang tunai induk Tokopedia, yaitu Goto, juga karena masalah teknologi. Tiktok sangat mudah menjangkau audiensnya ketika pengguna platform ini melakukan siaran langsung dengan menggunakan Tiktok Shop. Bila saja Tokopedia bertahan dengan teknologi lamanya dan tidak bergabung dengan Tiktok, Tiktok sangat mungkin bekerja sama dengan platform lain hingga bisa melibas pasar Tokopedia. Peran teknologi menjadi superior.
Kasus Tokopedia ini mungkin awal dari pembelian perusahaan-perusahaan teknologi Indonesia oleh raksasa-raksasa teknologi dari luar negeri karena persoalan teknologi. Tanpa pembaruan teknologi, satu per satu perusahaan teknologi domestik akan dibeli oleh perusahaan asing. Tak beda dengan kasus bank-bank Indonesia yang akhirnya dijual ke asing karena masalah modal dan teknologi beberapa tahun lalu. Sampai sekarang memang belum ada perusahaan teknologi di Indonesia yang memiliki superioritas dalam kecerdasan buatan. Mereka masih sekadar mampu mendigitalisasi proses seperti disebut di atas.
Sehebat apakah teknologi kecerdasan buatan yang digunakan oleh platform hingga perusahaan teknologi harus berubah? Kita bisa mengambil contoh apa yang sedang dikerjakan platform audio Spotify. Menurut Techopedia, Spotify tengah memamerkan kehebatan kecerdasan buatannya dengan fitur Spotify Wrapped. Alat canggih berbasis algoritma ini mampu memersonalisasi pengalaman pengguna dan mencerminkan kebiasaan dan preferensi pengguna saat mereka mendengarkan konten.
Fitur yang bisa dibilang menyeramkan ini adalah bagian dari strategi pemasaran yang lebih besar untuk menunjukkan bagaimana kecerdasan buatan dapat meningkatkan keterlibatan pengguna dan kehadiran merek. Cara ini dilakukan dengan inisiatif seperti membuat profil atau karakter berbasis pengalaman mereka selama berada di platform dan bagaimana mereka terkoneksi dengan pendengar global. Pesaing Spotify yang hanya mengandalkan teknologi dan pemasaran lama pada akhirnya hanya menunggu waktu untuk mati.
Tak mengherankan apabila perusahaan global juga tengah saling berperang di kecerdasan buatan. Situasi ini muncul karena superioritas teknologi ini sangat menentukan masa depan mereka. Ambil contoh, Google kini terjebak dalam persaingan sengit dengan Microsoft karena kedua perusahaan berusaha untuk memimpin dalam peran utama di bidang kecerdasan buatan. Menurut The Guardian, raksasa perangkat lunak perkantoran Microsoft telah meningkatkan penawaran kecerdasan buatannya untuk menyaingi Google. Pada September, Microsoft memperkenalkan fitur Copilot yang menggabungkan kecerdasan buatan ke dalam produk seperti mesin pencari Bing, browser Edge, serta Windows untuk pelanggan korporatnya.
Mereka yang tidak berada di dalam pertarungan itu sebaiknya bersiap diri. Mereka bisa terlempar dari pasar. Pilihannya memang bergabung dengan perusahaan besar atau saham mereka dibeli oleh investor baru.
Bahaya baru
Perkembangan teknologi terbaru ini sudah barang tentu memunculkan risiko terhadap karyawan perusahaan teknologi. Mereka akan kembali terkena PHK. Ketika banyak perusahaan mempromosikan gagasan bahwa keberhasilan kecerdasan buatan tidak mengorbankan lapangan kerja, sepertinya janji itu tak bakal ditepati alias janji palsu.
Hanya beberapa hari setelah memamerkan kemampuan teknologi kecerdasan buatan mereka, Spotify mengumumkan pengurangan tenaga kerja yang signifikan, yaitu memangkas 17 persen stafnya. Keputusan ini, yang memengaruhi sekitar 1.500 karyawan, merupakan langkah strategis untuk menyederhanakan operasi dan mengelola tantangan keuangan meskipun ada keuntungan baru-baru ini. Menurut Techopedia, penjajaran antara merayakan fitur-fitur canggih yang digerakkan oleh kecerdasan buatan sekaligus mengurangi tenaga kerja manusia menimbulkan pertanyaan penting tentang dampak kecerdasan buatan dan otomatisasi terhadap pekerjaan.
Google melakukan hal yang sama. Mereka telah memberhentikan seribu pekerja di tim perangkat keras, teknologi asisten berbasis suara, dan tenaga tekniknya sebagai bagian dari langkah-langkah pemotongan biaya. Menurut Serikat Pekerja Alfabet, pemotongan ini terjadi ketika Google berupaya berinvestasi secara bertanggung jawab dalam prioritas terbesar perusahaan tersebut serta dalam rangka mencari peluang signifikan di masa depan. Beberapa tim terus melakukan perubahan di Google, termasuk yang mencakup beberapa penghapusan peran secara global.
Google pada awalnya mengatakan akan menghilangkan beberapa ratus peran di bidang teknologi, perangkat keras, dan tim lainnya. Sebagian besar yang terdampak menimpa divisi perangkat keras perusahaan. Keesokan harinya, Serikat Pekerja Alphabet mengabarkan angkanya ternyata sekitar 1.000 pekerja. PHK ini mengikuti pesan para eksekutif Google dan perusahaan induknya Alphabet, untuk mengurangi biaya. Setahun yang lalu, Google mengatakan akan memberhentikan 12.000 karyawan, sekitar 6 persen dari tenaga kerjanya.
Semua yang indah dan sukacita di perusahaan teknologi telah berlalu. Bukan hanya di perusahaan global, melainkan juga di perusahaan teknologi di Indonesia. Tekanan demi tekanan akan terus terjadi. Tekanan masih bertambah karena faktor ekonomi dunia yang mudah bergejolak dan sulit diprediksi. Tanpa ada pembaruan teknologi semua kisah indah memang berakhir.