Perusahaan Teknologi Rusak karena Nafsu Ingin Cepat Untung
Organisasi yang berusaha memperbaiki kondisi perusahaan cenderung mengambil pendekatan dangkal dan gagal memahami hal-hal penting yaitu jiwa perusahaan.
Kami ingin dikenal sebagai perusahaan teknologi yang memiliki jiwa. Kalimat ini muncul dari Direktur Pemasaran STAAH Edwin Saldanha. STAAH adalah platform berbasis komputasi awan terkemuka yang telah membantu mendorong pertumbuhan bisnis penyedia akomodasi.
Ucapan Edwin di salah satu media ini memberi gambaran bagaimana perusahaan teknologi bisa bertumbuh dan bergerak setiap hari karena roh perusahaan. Jiwa perusahaan muncul salah satunya dari para pendiri. Namun, jiwa atau roh perusahaan itu suatu saat bisa rusak atau hilang.
Diskusi soal jiwa perusahaan dan kepribadian para pendiri yang berpengaruh terhadap usaha rintisan dan perusahaan teknologi sudah lama terjadi. Debat soal ini tentu saja penting karena keberhasilan usaha rintisan di tahun pertama adalah 10 persen saja. Sisanya gagal total. Kegagalan juga masih akan terjadi di tahun berikutnya.
Riset terbaru tentang hal itu muncul pekan lalu. Sejumlah peneliti mengumumkan hasil risetnya tentang sukses dan gagal sebuah perusahaan teknologi dengan judul ”The Impact of Founder Personalities on Startup Success” berdasarkan kepribadian para pendiri. Para peneliti dengan latar belakang ilmu komputer memanfaatkan data terperinci tentang keberhasilan usaha rintisan global berskala besar yaitu berjumlah 21.187 sampel. Dari hasil riset mereka diketahui ciri-ciri kepribadian para pendiri yang sangat penting dalam menentukan kesuksesan suatu perusahaan teknologi.
Peneliti berasal dari Oxford Internet Institute, University of Oxford, University of Technology Sydney, dan University of Melbourne menunjukkan bahwa para pendiri usaha rintisan memiliki ciri-ciri kepribadian yang berbeda. Kepribadian mereka lebih penting bagi keberhasilan perusahaan mereka daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Meskipun nasib baik dan keadaan dapat berperan, penelitian baru mengungkapkan bahwa dalam hal kesuksesan sebuah usaha rintisan, kepribadian seorang pendiri atau gabungan kepribadian dari tim pendiri adalah yang terpenting bagi kelangsungan perusahaan teknologi.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Scientific Reports ini menunjukkan bahwa para pendiri perusahaan rintisan yang sukses memiliki ciri-ciri kepribadian yang berbeda secara signifikan dari masyarakat lainnya dan bahwa ciri-ciri ini lebih penting bagi kesuksesan dibandingkan banyak faktor lainnya.
Ada sesuatu yang penting dan tidak berwujud dalam usaha rintisan yaitu sebuah energi atau sebuah jiwa. Para pendiri perusahaan merasakan kehadirannya. Begitu pula karyawan awal dan pelanggan. Jiwa ini menginspirasi orang untuk menyumbangkan bakat, uang, dan antusiasme mereka serta menumbuhkan rasa hubungan yang mendalam dan tujuan bersama.
Para peneliti menemukan bahwa ciri-ciri kepribadian para pendiriusaha rintisan yang sukses yang disebut ciri-ciri inti yang mengukur keterbukaan seseorang terhadap pengalaman, kehati-hatian, ekstraversi, dan keramahan yang berbeda secara signifikan dari populasi pada umumnya. Ciri ini biasanya lebih tinggi pada wirausaha dibandingkan dengan yang lain. Aspek lain yang membedakan pengusaha sukses mencakup preferensi terhadap variasi, memiliki ide-ide baru, berani memulai hal-hal baru atau terbuka terhadap petualangan, menikmati menjadi pusat perhatian, dan bersemangat lebih tinggi.
Semangat tetap ada
Berbagai ciri pendiri itu pada akhirnya menjadi awal dari sebuah bangunan bernama jiwa atau roh perusahaan. Selama semangat ini tetap ada, keterlibatan semua pihak akan tinggi dan perusahaan rintisan akan tetap gesit dan inovatif dalam menghadapi masalah dan tantangan.
Pertumbuhan bisnis perusahaan akan terpacu. Namun ketika semua itu hilang, usaha bisa goyah dan semua orang merasakan kerugian tersebut. Sesuatu yang istimewa dari perusahaan pun hilang hingga karyawan dan mereka yang berada di sekitarnya akan kecewa.
Keyakinan peran jiwa perusahaan yang dibangun oleh pendiri setidaknya muncul dari buku The Soul of Startups: The Untold Stories of How Founders Affect Culture karya pakar SDM dan keberagaman Sophie Theen. Ia menyampaikan diskusi yang mendalam dan membuka mata tentang pentingnya budaya dalam dunia usaha rintisan yang dinamis dan terkadang kacau balau.
Penulis menggambarkan para pendiri perusahaan yang kurang memiliki kematangan emosi dan kecerdasan akan gagal memulai sebuah organisasi sebaliknya mereka yang unggul akan menciptakan lingkungan yang memungkinkan anggota tim mereka untuk berkembang baik secara pribadi maupun profesional. Jiwa perusahaan muncul dari kultur yang melekat pada pendiri.
Investor kasar dan sok tahu
Sebuah tulisan karya Analis Ranjay Gulati yang berjudul ”The Soul of Start-up” di Harvard Business Review diawali dengan kisah perjuangan seorang eksekutif yang sedang mencoba untuk menghidupkan kembali energi bersama di sebuah usaha rintisan. Dari orang ini Sanjay menemukan istilah ”jiwa sebuah perusahaan”. Saat ini banyak perusahaan besar melakukan inisiatif ”pencarian dan penyelamatan” jiwa perusahaan ketika tertimpa masalah.
Saat sebuah bisnis semakin matang, kadang mereka sulit untuk mempertahankan semangat aslinya tetap hidup. Para pendiri dan karyawan sering kali mengacaukan jiwa dan budaya perusahaan. Sisa dari semua ini kadang hanya berupa nostalgia atau cerita kisah masa lalu saat jiwa perusahaan itu mulai berkurang.
Investor juga terkadang bertindak kasar dan sok tahu dengan melupakan inti dari jiwa atau semangat perusahaan. Mereka mendorong perusahaan untuk ”memprofesionalkan diri” atau meningkatkan kinerja bisnis seperti memperbaiki kinerja keuangan, melakukan pemutusan hubungan kerja, dan melakukan perubahan sebagai respons terhadap permintaan pasar namun melupakan jiwa perusahaan.
Kritik Sanjay terhadap perilaku ini menyebutkan, organisasi-organisasi yang berusaha memperbaiki kondisi perusahaan cenderung mengambil pendekatan yang dangkal dan hanya memperhatikan cara-cara bisnis yang sudah ada tetapi gagal memahami hal-hal yang sebenarnya penting yaitu jiwa perusahaan.
Baca juga: Masa Depan ”Startup” Indonesia Sangat Rapuh
Kecenderungan seperti ini sedang terjadi di Indonesia. Para eksekutif usaha rintisan, perusahaan teknologi, dan bahkan perusahaan lama yang mengabdi pada investor semata akhirnya hanya sekadar menengok laporan keuangan saja. Mereka dituntut untuk segera untung. Mereka melupakan jiwa perusahaan yang sudah dibangun oleh para pendiri. Langkah mereka tidak sedikit yang blunder.
Tuntutan agar laporan bisnis terlihat bagus membuat para eksekutif lupa dengan nilai-nilai yang selama ini menyertai perusahaan. Dampaknya karyawan bekerja tanpa tujuan yang jelas. Mereka akan merasa dikejar-kejar target tetapi tidak memiliki energi yang tinggi untuk mencapai target itu karena di depan mereka hanya angka-angka, bukan cita-cita mulia perusahaan. Jiwa perusahaan telah rusak atau hilang diganti dengan laporan pendapatan mingguan, bulanan, dan triwulan saja. Semua karena nafsu ingin cepat untung.