SDGs dan Arah Pembangunan Desa
Data Desa Presisi dan partisipasi aktif masyarakat menjadi prasyarat utama demokratisasi pembangunan desa.
Pemanfaatan Dana Desa untuk pembangunan perdesaan sangat meyakinkan merealisasikan agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Optimisme ini ditunjukkan dari hasil pengukuran SDGs tahun 2023 berbasis Data Desa Presisi (DDP) di 10 provinsi, 21 kabupaten, 171 desa. Pengukuran ini menggunakan indeks komposit dengan rentang angka 0-1 poin. Hasil pengukuran tersebut menunjukkan pencapaian indikator SDGs yang cukup memadai.
Hasil pengukuran
Hasil pengukuran SDGs yang dilakukan tim Laboratorium Data Desa Presisi (Lab DDP) IPB University menunjukkan bahwa agenda menghapus kemiskinan, kesehatan air dan sanitasi, energi bersih dan terbarukan, pekerjaan layak, dan pertumbuhan ekonomi memiliki pencapaian berkategori ”baik” dengan indeks komposit 0,70-0,98.
Sementara, tujuan SDGs mengakhiri kelaparan, kesehatan yang baik dan sejahtera, kesetaraan jender, infrastruktur, Industri dan inovasi, mengurangi ketimpangan, serta kota dan komunitas kemajuan dengan pencapaian berkategori ”cukup” dengan indeks komposit 0,57-0,68.
Namun, beberapa tujuan SDGs terkait layanan pendidikan yang bermutu, penanganan perubahan iklim, perdamaian dan keadilan yang kuat, kemitraan yang menggapai tujuan, menjaga ekosistem laut dan darat masih berkategori ”kurang”, yaitu 0,03-0,49.
Baca juga: Pendataan SDGs Desa dan Ketahanan Desa
Tujuan yang berkategori ”kurang” menandakan bahwa tujuan tersebut tidak tertangani dengan baik dalam pelaksanaan pembangunan desa atau indikator tersebut bukan menjadi sasaran prioritas pembangunan desa. Hasil pencapaian SDGs belum merepresentasikan pembangunan berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia, perlindungan lingkungan hidup, dan penguatan sistem kemitraan.
Tujuan lain yang belum cukup memadai penanganannya terdapat pada tujuan pengembangan infrastruktur, industri dan inovasi, serta pengurangan ketimpangan. Hal ini juga berimplikasi pada ketidakmampuan desa dalam mendorong kemandirian ekonomi dan membuka akses terhadap sumber daya di perdesaan.
Hasil pengukuran SDGs menandai pembangunan desa harus dipahami secara holistik, tidak terpisah antara dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Namun, pengukuran ini harus melingkupi seluruh rangkaian aspek perencanaan pembangunan hingga pengawasan dan evaluasi.
Pengukuran ini menjadi arena pembuktian demokratisasi pembangunan desa. Hasil perhitungan dapat digunakan untuk menentukan arah kebijakan desa yang didukung oleh data aktual dan presisi untuk mengidentifikasi kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Desa.
Arah kebijakan desa
Sofyan Sjaf (2019) selalu mewanti-wanti bahwa pembangunan yang baik harus didasari dengan perencanaan yang baik. Perencanaan yang baik harus didukung dengan data. Maka, komponen penting dalam desa membangun adalah ketersediaan data yang ”aktual dan presisi” yang menggambarkan kondisi potensi desa, baik dari segi sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Sekiranya, data tersebut menjadi acuan untuk menentukan arah kebijakan desa selama lima tahun atau beberapa tahun ke depan.
Hasil penelusuran dokumen Rencana Pembangunan Jangkah Menengah Desa (RPJMDes) yang di dalamnya sarat dengan kebutuhan data tentang potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia, kependudukan, sistem pemerintahan, kebudayaan, dan visi-misi pemerintah desa. Secara metodologis, RPJMDes dihasilkan dari beberapa tahapan yang dimulai dari musyawarah dusun (musdus), musyawarah desa (musdes), dan musyawarah pembangunan desa (musrenbangdes).
Ketiga tahapan ini untuk menampung aspirasi, permasalahan, dan keinginan masyarakat yang diwujudkan dalam satu dokumen RPJMDes. Namun, hal yang paling sumir dalam penyusunan RPJMDes adalah angka-angka yang tertuang di dalamnya.
Persoalan data di tingkat desa masih sangat problematik, ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Selama ini, data apa yang digunakan oleh pemerintah desa untuk merumuskan dan menentukan arah kebijakan desanya? Bagaimana basis dan validitas data penyaluran dana desa yang menggunakan basis data kemiskinan, jumlah penduduk, data luas wilayah, dan indeks kesulitan geografis? Apakah angka-angka tersebut hasil proyeksi dan pendugaan?
Sepertinya, pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab oleh para wali data/lembaga negara penyedia data. Sebab, hasil pendataan yang dilakukan oleh lembaga/kementerian tidak pernah dikembalikan ke desa.
Supaya tidak terjebak dalam dosa pembangunan yang telah dirumuskan Mahbub Ul Haq, kebutuhan atas data presisi sangat krusial dalam merancang RPJMDes.
Menghadapi kenyataan dan permasalahan data ini, Mahbub Ul Haq dalam karyanya, The Poverty Curtain, mengingatkan tentang ”dosa perencana” pembangunan, di antaranya bermain dengan angka-angka. Dosa ini sangat tecermin dalam penyusunan RPJMDes. Dosa kedua, kontrol elite atau birokrasi pemerintah yang terlalu besar dalam merencanakan pembangunan desa, yang menyebabkan keterbatasan partisipasi masyarakat desa.
Dosa ketiga yakni mengabaikan sumber daya manusia dengan lebih mengutamakan infrastruktur daripada layanan pendidikan. Dosa ini pun dikonfirmasi dari pencapaian SDGs yang ”kurang” terkait dengan layanan pendidikan yang bermutu. Semua dosa ini menjadi masalah mendalam dalam perencanaan pembangunan desa.
Supaya tidak terjebak dalam dosa pembangunan yang telah dirumuskan Mahbub Ul Haq, kebutuhan atas data presisi sangat krusial dalam merancang RPJMDes. Data Desa Presisi (DDP) menjadi pedoman bagi pemerintah desa dalam merancang arah kebijakan pembangunan desa. Data DDP menjadi momentum membebaskan para tim perumus RPJMDes dari dosa perencana pembangunan dalam menentukan arah kebijakan desanya masing-masing. Tentu, perumusan RPJMDes tetap mengedepankan prinsip-prinsip demokratis dalam pembangunan.
Strategi pembangunan desa
Hasil pengukuran SDGS yang belum memadai berdasarkan perhitungan tim Lab DDP IPB University bisa ditangani dengan baik. Hasil perhitungan tersebut dapat dikonfirmasi melalui, nama, alamat, koordinat yang disajikan dalam https://webgis.desapresisi.id. SDGs belum memadai tersebut dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan RPJMDes dan diintervensi langsung dengan kebijakan-kebijakan pembangunan. Maka, strategi yang perlu dilakukan adalah memanfaatkan DDP menjadi basis penentuan arah kebijakan desa dalam merumuskan RPJMDes.
Pemanfaatan DDP memandu tim penyusun RPJMDes untuk melihat pembangunan desa secara holistik, yang menyediakan ”data dasar” untuk basis perencanaan pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi pembangunan. Rencana yang efektif biasanya didukung dengan ketersediaan data presisi dan aktual. Langkah ini dilakukan untuk mengatasi kesulitan pemerintah desa terkait masalah pendanaan, otonomi, infrastruktur yang memburuk, kehidupan sosial, dan jaminan sosial.
Baca juga: Membenahi Data Desa
Langkah kedua, menyusun arah kebijakan desa berdasarkan prakarsa warga desa, yang mengedepan nilai-nilai demokratis. Sebab, nilai demokratis membuka kesempatan kepada semua warga untuk memberikan suara dan bertanggung jawab atas keputusan politik. Sementara, desa menjadi arena konsolidasi nilai-nilai demokrasi dan kemasyarakatan yang terbentuk di dalam relung masyarakat. Maka, membangun desa menjadi sarana utama untuk memenuhi kebutuhan dan menangani masalah yang mereka hadapi.
Data Desa Presisi dan partisipasi aktif masyarakat menjadi prasyarat demokratisasi pembangunan desa, yang berkaitan dengan syarat-syarat produksi ekonomi politik desa. Pembangunan desa harus mampu mendayakan rakyatnya. Artinya, rakyat bekerja untuk memproduksi, memproses, mengangkut sumber daya alam yang mereka miliki untuk memandirikan desanya (Wahono, 2020). Demokratisasi pembangunan desa menjadi kunci keberhasilan pembangunan desa.
Sampean, Mahasiswa doktoral Sosiologi Pedesaan IPB University