Di setiap musibah selalu ada pesan positif yang ingin disampaikan. Kali ini pesan itu adalah data desa presisi sangat dibutuhkan agar tidak ada satu pun elemen warga desa yang dirugikan.
Oleh
Sofyan Sjaf
·5 menit baca
Beberapa waktu lalu, jejaring media sosial menyajikan video pendek amarah kepala daerah dan beberapa kepala desa terkait tugas yang dibebankan pemerintah untuk memperbarui data warga sebagai pijakan penerima bantuan langsung tunai yang bersumber dari dana desa. Amarah yang sangat wajar di tengah situasi bertambahnya angka pengangguran dan kemiskinan akibat wabah virus korona yang melanda perdesaan di Indonesia.
Dalam waktu sangat singkat, para kepala desa didesak pemerintah untuk menyajikan dan memperbarui data warga yang berpotensi terpapar Covid-19 nonpenerima Program Keluarga Harapan (PKH) untuk ditetapkan sebagai target sasaran bantuan langsung tunai (BLT) dana desa.
Sebenarnya desakan itu tak akan berbuah amarah dari para pemimpin daerah dan desa apabila sistem pendataan desa dilakukan dengan tepat dan benar. Para kepala daerah dan kepala desa menjadi serba salah sebagai garda terdepan merespons dampak sosial-ekonomi Covid-19.
Kita masih ingat Perpres No 39/2019 tentang Satu Data Indonesia. Ini adalah upaya pemerintah mencegah terjadinya konflik data dari level desa hingga pusat. Akan tetapi, sangat disayangkan, upaya ini tak didukung dengan konsep dan pendekatan inklusif dalam implementasinya.
Sebenarnya kita sudah memiliki data Potensi Desa (Podes) yang memberikan gambaran utuh tentang desa-desa di Indonesia. Namun, apakah pendekatan pengumpulan datanya dan indikatornya sudah tepat? Saya kira di sinilah titik kritisnya sehingga diperlukan pendekatan baru yang mampu beradaptasi dengan era 4.0 dan memberdayakan warga desa dalam pengumpulan data.
Sebenarnya kita sudah memiliki data Potensi Desa yang memberikan gambaran utuh tentang desa-desa di Indonesia.
Soal sumber data
Persoalan yang penting untuk diselesaikan saat ini adalah pendekatan menghasilkan data desa yang presisi dan dapat dipertanggungjawabkan keakurasiannya. Data desa yang presisi akan mampu menghalau terjadinya konflik kepentingan dan dengan mudah digunakan untuk melakukan prediksi terhadap kejadian apa pun, termasuk dampak sosial-ekonomi Covid-19. Untuk itu, soal sumber data menjadi kebutuhan penting dan mendesak.
Selama ini sumber data desa diperoleh dari Podes dan Profil Desa/Kelurahan (Prodeskel). Kedua data ini dirilis dari dua institusi pemerintah yang berbeda. Namun, kenyatannya, kedua sumber data ini selalu saja membuat perdebatan yang tak berujung.
Karena itu, jika saja pendekatan ini masih terus dipertahankan untuk merespons situasi dan kondisi yang ada, hasilnya akan selalu berbeda dengan kenyataan, apalagi data ini terkesan sentralisme. Mengapa? Pertama, baik Podes maupun Prodeskel menempatkan kepala desa atau aparat desa sebagai responden.
Dalam konteks penggalian data Podes dan Prodeskel, responden yang merupakan target enumerator memiliki keterbatasan membaca desa secara utuh. Tidak itu saja, Podes dan Prodeskel memosisikan warga desa sebagai obyek pengambilan data. Kedua, penggalian sumber data desa saat ini masih konvensional, minim partisipasi warga, dan tak berbasis spasial.
Ketiga, sumber data desa masih bergantung pada pendekatan top down. Desa belum memiliki kewenangan mengonstruksi data desanya.
Keempat, Podes dan Prodeskel sebagai sumber data desa masih belum beradaptasi terhadap perkembangan era 4.0. Alhasil, ujung sumber data desa sebagai mahadata masih jauh dari yang diharapkan.
Keempat hal tersebut merupakan hambatan untuk menghasilkan sumber data desa yang presisi. Oleh karena itu, diperlukan pembenahan data desa melalui pendekatan baru yang melibatkan partisipasi warga sehingga polemik tentang data tidak selalu berulang.
Butuh pembenahan
Efisien, efektif, dan presisi adalah tiga unsur penting yang dibutuhkan untuk menghasilkan sumber data desa yang menggambarkan secara aktual kondisi desa-desa di Indonesia. Efisien artinya pengambilan data tidak membutuhkan biaya besar; efektif artinya pengambilan, validasi, dan verifikasi data bisa dilakukan oleh warga desa dengan bantuan pihak luar desa (misal perguruan tinggi); dan presisi artinya data akurat dan tepat sebagaimana kondisi aktual di desa.
Efisien, efektif, dan presisi adalah tiga unsur penting yang dibutuhkan untuk menghasilkan sumber data desa yang menggambarkan secara aktual kondisi desa-desa di Indonesia.
Mempertimbangkan ketiga unsur tersebut, sudah saatnya dilakukan pembenahan data desa. Pembenahan dilakukan berupa pendekatan data desa yang menitikberatkan relasi antara spasial, partisipasi, dan sensus. Ketiga relasi ini hanya dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi drone dan digital, serta pendampingan metodologi kepada warga desa. Inilah keniscayaan yang menghasilkan data desa presisi.
Lalu, bagaimana upaya memproduksi data desa presisi?
Pertama, pemerintah harus mengeluarkan regulasi afirmatif untuk menghasilkan data desa presisi. Kepercayaan sepenuhnya kepada desa harus diberikan untuk memproduksi data desa presisi. Bukan sebaliknya, menjadikan desa sebagai obyek data.
Dana desa harus diorientasikan menghasilkan data desa presisi tersebut. Di sinilah makna efisiensi dan efektif! Peran pemerintah sebatas mengeluarkan regulasi pemanfaatan dana desa untuk data desa presisi dan pedoman penyusunan data desa presisi (data tematik) yang dibutuhkan untuk mengukur kinerja pembangunan desa.
Kedua, era 4.0 harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mempermudah aksi pembangunan desa. Teknologi drone harus dimanfaatkan untuk menghasilkan data spasial yang susah diperoleh desa. Juga pemerintah harus menyediakan server di setiap kabupaten untuk menampung data yang diproduksi desa. Kecamatan harus menjadi penjamin mutu kualitas data yang diproduksi desa. Data yang terkumpul (mahadata) dijadikan basis pijakan musyawarah dari tingkat dusun hingga kabupaten yang berujung sebagai kebijakan pembangunan yang presisi.
Teknologi drone harus dimanfaatkan untuk menghasilkan data spasial yang susah diperoleh desa.
Ketiga, mengaktifkan peran perguruan tinggi atau elemen pegiat sosial sebagai pendamping untuk menghasilkan data desa presisi. Minimnya sumber daya desa menuntut peran perguruan tinggi atau pegiat sosial untuk mengedukasi metodologi yang menghasilkan data presisi. Metodologi yang benar akan menghasilkan data desa presisi!
Dengan demikian, siapa pun kementerian/lembaga pemerintah yang menggunakan data presisi ini dipastikan tidak akan berbeda. Harapannya, kebijakan satu data Indonesia dimulai dari desa; dan keempat, membangun sistem kerahasiaan data desa. Dibantu dengan pakar digital, pemerintah saatnya mulai memikirkan sistem kerahasiaan data desa.
Akhirnya, di setiap musibah selalu ada pesan positif yang ingin disampaikan. Kali ini pesan itu adalah data desa presisi sangat dibutuhkan agar tidak ada satu pun elemen warga desa yang dirugikan. Semoga!
Sofyan Sjaf,Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) IPB