logo Kompas.id
OpiniPemilihan Lucu
Iklan

Pemilihan Lucu

Pembiaran penegakan hukum hanya akan menambah pelanggaran pemilu yang dapat merusak demokrasi.

Oleh
MUHAMMAD FATAHILLAH AKBAR
· 6 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/w_KY2N-YHv9uNSVPv704AS1EabY=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F14%2F9e73cbe2-995e-49d2-a625-5324efab57f4_jpg.jpg

Politiae legius non leges politii adoptandae. Politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya. Dengan adagium ini, jelas bahwa hukum harus jadi panglima. Jangan sampai politik mengendalikan penegakan hukum.

Prinsip ini sangat penting dijaga terutama dalam penegakan pidana pemilu. Dalam hukum pemilu, diatur batasan-batasannya di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sanksi pun sangat tegas diatur terhadap pelanggaran-pelanggaran aturan pemilu.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Bahkan, Bawaslu mengeluarkan larangan ”pose foto” bagi aparatur sipil negara untuk menunjukkan netralitas ASN. Hanya pose ”kepalan tangan” yang diperbolehkan. Di sisi lain, ada agenda-agenda kampanye yang berbaur dengan agenda pemerintahan.

Ketentuan cuti

Terlihat ada salah satu peserta pemilu yang berkampanye sekaligus menjalankan tugas sebagai menteri. Bahkan, ada fasilitas negara yang digunakan untuk kampanye. Padahal, di UU Pemilu, pelanggaran larangan kampanye bisa membatalkan seseorang sebagai peserta dan bahkan terdapat sanksi pidana bagi yang melanggar.

Bawaslu sebagai pengawas sekaligus penyelidik pada pelanggaran pemilu tak begitu tegas terhadap peserta pemilu.

Persoalan pemilu yang paling pelik berkaitan dengan konflik kepentingan adalah mengenai tak adanya kewajiban mundur bagi pejabat tertentu dalam pemilu sehingga sulit membatasi penggunaan fasilitas negara atau jabatan dalam kampanye.

Jangan sampai politik mengendalikan penegakan hukum.

Batasannya hanya di masa cuti yang hanya diketahui pejabat yang berwenang saja. Tidak dapat dibedakan warga peserta kampanye. Pasal 170 UU Pemilu mengatur, pejabat yang dicalonkan sebagai presiden atau wakil presiden wajib mengundurkan diri kecuali presiden, wapres, kepala daerah, dan beberapa jabatan lain.

Menteri tak diatur sebagai pengecualian di pasal itu. Pasal 18 Peraturan Pemerintah No 32/2018 tentang Pengunduran Diri dan Cuti bagi Pejabat Negara tak mengatur mengenai jabatan menteri sebagai jabatan yang dikecualikan dari kewajiban mundur.

Namun, ketentuan itu kemudian diubah oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XX/2022.

Pada pertimbangan [3.12.3], MK sejatinya sudah memberikan pertimbangan bahwa MK tetap pada putusan MK sebelumnya, yakni Putusan No 41/PUU-XII/2014, 33/PUU-XII /2015, dan Putusan No 45/PUU -XV/ 2017 di mana ASN, pegawai BUMN, dan anggota legislatif harus mengundurkan diri dalam pencalonan.

Namun, juga ada pergeseran pandangan dari MK terkait pejabat yang kontribusinya tetap dibutuhkan sekalipun ia sedang mengikuti kontestasi pemilu. Dalam hal ini, MK melihat kewajiban mundur dapat dikecualikan pada pejabat tertentu.

Berdasarkan pertimbangan ini, menteri akhirnya menjadi salah satu pejabat yang tak wajib mengundurkan diri. Salah satu bentuk pelaksanaan putusan MK ini, Presiden mengeluarkan PP No 53/2023 tentang Perubahan PP No 32/2018.

Pasal 18 PP ini kemudian diubah dan memasukkan frasa ”Menteri dan Pejabat setingkat Menteri” sebagai jabatan yang dikecualikan. PP tersebut juga mengatur tata cara cuti yang tak terus-menerus sehingga dalam proses pemilu seseorang dapat menjadi menteri dan capres/cawapres pada waktu yang berdekatan. Bersifat on and off.

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito blak-blakan terkait dengan pengaduan pelanggaran pemilu, kewenangan, dan ujian netralitas.
KOMPAS

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito blak-blakan terkait dengan pengaduan pelanggaran pemilu, kewenangan, dan ujian netralitas.

Penggunaan fasilitas

Dampak dari tidak wajibnya mengundurkan diri, potensi pelanggaran pemilu berupa penggunaan fasilitas pemerintah akan semakin tinggi. Pasal 280 Ayat (1) Huruf h UU Pemilu melarang kampanye dengan menggunakan fasilitas pemerintah. Pasal 521 mengatur setiap peserta pemilu yang melanggar Pasal 280 Ayat (1) Huruf h diancam pidana 2 tahun penjara dan denda Rp 24 juta.

Iklan

Putusan MK No 65/PUU- XXI/2023 mengulas, pengaturan pidana penggunaan fasilitas pemerintah untuk kampanye telah ada sejak era reformasi dan perlu dipertahankan. Pembatasan ini untuk menjaga integritas, transparansi, dan keadilan dalam proses politik.

Putusan MK ini kemudian mengatur pengecualian, di mana saja bisa menggunakan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang dapat izin dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu. Pengecualian hanya berlaku jika peserta kampanye adalah undangan, bukan pejabat yang menjabat.

Jika peserta pemilu masih aktif menjabat, ada potensi pelanggaran cukup tinggi. Perlu ada keterbukaan masa cuti dari pejabat tertentu sehingga masyarakat bisa membedakan apakah seseorang bertindak sebagai capres atau menteri.

Politik uang

Selain penggunaan fasilitas, politik uang adalah tindak pidana pemilu yang harus diperhatikan. Sejarahnya, di pilkada, pada UU No 22/2014, politik uang hanya menjadi perbuatan yang dilarang, tetapi tak terdapat ancaman pidana bagi yang melakukan pelanggaran.

Jika peserta pemilu masih aktif menjabat, ada potensi pelanggaran cukup tinggi.

Bahkan, pada perubahannya di UU No 8/2015, politik uang juga belum diatur larangannya. Baru di UU No 10/2016, larangan politik uang muncul dalam pilkada. Oleh karena itu, UU Pemilu tahun 2017 sudah cukup baik mengakomodasi pasal politik uang, tetapi terdapat beberapa kelemahan.

Pasal 280 Ayat (1) Huruf j UU Pemilu mengatur dasar larangan kampanye dengan memberikan materi. Kemudian, Pasal 284 dan 286 mengatur larangan memberikan uang atau materi lain. Namun, larangan itu hanya ditujukan bagi peserta, pelaksana, dan tim kampanye.

Dengan demikian, pasal ini hanya melekat pada orang-orang yang namanya terdaftar di KPU sebagai peserta, pelaksana, dan tim kampanye. Bahkan, Pasal 285 dan 286 memberikan konsekuensi administratif berupa pembatalan sebagai calon ketika politik uang sudah diputus berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Pasal 523 Ayat (1) mengatur sanksi pidana ketika ada pemberian janji atau uang atau materi lain kepada peserta kampanye, dalam hal ini masyarakat luas. Kelemahannya, Pasal 523 Ayat (1) ini menggunakan subyek pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye. Oleh karena itu, jika dilakukan oleh orang di luar subyek itu, akan sulit memenuhi pasal tersebut.

Ini menjadi celah hukum yang berbahaya bagi demokrasi Indonesia. Seharusnya subyek dirumuskan dengan unsur ”setiap orang”. Pada Pasal 523 Ayat (3) digunakan istilah ”setiap orang”, hanya saja politik uang itu adalah saat hari pemungutan suara. Dengan demikian, politik uang di masa kampanye dan masa tenang berlaku terbatas pada subyek tertentu dan saat pemungutan suara berlaku luas.

Padahal, secara sejarah historis, Pasal 149 KUHP mengatur politik uang dengan subyek ”barang siapa” yang dapat berlaku pada siapa pun. Dalam konteks ini, terdapat celah bagi pelaku lain di luar subyek dimaksud.

Baca juga: Politik Uang dan Komoditas ”Suara Rakyat”

Warga melintasi spanduk berisi seruan antipolitik uang terpasang di salah satu tepi Jalan Raya Ciomas, Bogor, Jawa Barat, Minggu (12/2/2023).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Warga melintasi spanduk berisi seruan antipolitik uang terpasang di salah satu tepi Jalan Raya Ciomas, Bogor, Jawa Barat, Minggu (12/2/2023).

Tak aneh jika kemudian banyak pembelaan dilakukan dengan mengatakan bahwa pemberi uang bukan bagian dari tim kampanye. Dari sejarahnya, di mana politik uang sempat tak dilarang dan aturan terlalu sempit, maka bisa jadi dalam perumusan, soal politik uang ini lebih pada sarat politik daripada penegakan hukum.

Bawaslu yang bertugas mengawal demokrasi, dalam sentra penegakan hukum terpadu yang melibatkan kepolisian dan kejaksaan, seharusnya lebih tegas dalam melihat masalah hukum pemilu ini.

Bahkan, Pasal 479 UU Pemilu memberikan waktu 1 x 24 jam saja untuk menentukan bahwa pelanggaran masuk dalam pidana pemilu atau tidak dan hanya ada waktu 14 hari bagi Kepolisian untuk melakukan penyidikan. Dengan masa itu. penting bagi Bawaslu untuk memberikan kepastian hukum bagi para tim kampanye dan juga warga sebagai peserta kampanye.

Pembiaran penegakan hukum hanya akan menambah pelanggaran pemilu yang dapat merusak demokrasi. Dengan tak adanya kewajiban mundur bagi pejabat tertentu dan tingginya potensi konflik kepentingan, seharusnya fungsi Bawaslu diperkuat dan dijalankan dengan penuh integritas. Lex legibus sine moribus. Apalah artinya hukum tanpa moralitas.

Muhammad Fatahillah Akbar,Dosen pada Departemen Hukum Pidana FH-UGM

Muhammad Fatahillah Akbar
ARSIP PRIBADI

Muhammad Fatahillah Akbar

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000