Menjadi pejabat harus siap mendapatkan kritik, baik aspek personal dirinya sebagai pejabat publik maupun kebijakannya.
Oleh
HADISUDJONO SASTROSATOMO
·1 menit baca
Berita Kompas (9/1/2024) yang berjudul ”Oase Kebebasan Berpendapat dari Vonis Bebas Haris dan Fatia” benar-benar ibarat oase di tengah kegersangan perilaku para politikus menjelang Pemilu Presiden 2024.
Pertimbangan hakim dalam persidangan mengandung sisi yang mencerdaskan pemahaman masyarakat luas sehingga patut diberikan apresiasi.
Dalam pertimbangannya, hakim Agam Syarif menyebut pepatah Latin, cogitationis poenam nemo patitur, yang berarti ”tidak ada seorang pun yang boleh dihukum karena pikirannya”.
Ia menegaskan bahwa menjadi seorang pejabat memang harus siap mendapatkan kritik, baik aspek personal dirinya sebagai pejabat publik maupun aspek kebijakannya. Kritik yang disampaikan kepada pemerintah adalah bentuk kebebasan berpendapat.
Tidaklah keliru saat saya membuat catatan di kolom ini (Kompas, 14/11/2023), bahwa masih banyak jenis ”manusia Y”, menurut pakar psikologi McGregor, yang memiliki kejujuran dan dorongan nurani kebenaran demi memperjuangkan kepentingan bersama masih lebih dominan mewarnai bangsa ini.
Hakim Agam Syarif adalah salah satu sosok berintegritas terhadap profesinya seperti digambarkan. Hal itu diharapkan juga dimiliki para pelaku politik yang ada di kekuasaan atau tengah berlomba menggapai kekuasaan.
Kejelian Kompas adalah dengan menyertakan pada catatan ”Surat Pembaca” saya tersebut sebuah ilustrasi seorang hakim menggapai palu pengadilan. Semoga benih-benih kejujuran serta integritas profesional yang diteladankan oleh hakim Agam Syarif menyebar luas kepada generasi masa depan bangsa tercinta ini.