Seni mengelola rahasia dan transparansi pengadaan alutsista akan membuat postur pertahanan Indonesia makin kuat.
Oleh
FAHMI ALFANSI P PANE
·4 menit baca
Salah satu yang mengemuka dalam debat calon presiden, 7 Januari lalu, adalah kerahasiaan dan transparansi dalam pertahanan, terutama pengadaan alat utama sistem persenjataan atau alutsista.
Pengelolaan rahasia dan transparansi dalam pertahanan adalah upaya dan prosedur membangun kepercayaan (confidence building measure/CBM), yang merupakan diplomasi pertahanan untuk mencegah konflik bersenjata, mengurangi kecurigaan negara tetangga, dan meredam ketegangan geopolitik.
Aturan undang-undang
Kerahasiaan dalam pengadaan alutsista sama adanya dengan transparansi. Namun, batasan kerahasiaan dan transparansi itu tidak diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Adapun UU No 34/2004 tentang TNI fokus mengatur rahasia militer yang harus dipegang seorang prajurit karena terkait sumpah prajurit.
Definisi rahasia militer pada Penjelasan Pasal 35 UU TNI juga sangat umum, yaitu ”segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas-tugas tentara yang apabila jatuh ke tangan orang lain yang tak berhak akan merugikan negara di bidang pertahanan”. Masalahnya, mereka yang berhak juga belum tentu tak merugikan pertahanan negara.
Regulasi rahasia pertahanan yang lebih jelas justru diatur dalam UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Pada Pasal 17 Ayat c, informasi yang dikecualikan dan terkait pertahanan adalah informasi atau dokumen tentang strategi, intelijen, operasi, taktik, dan teknik terkait penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara; jumlah, komposisi, disposisi, atau dislokasi kekuatan dan kemampuan pertahanan.
Kerahasiaan dalam pengadaan alutsista sama adanya dengan transparansi.
Selain itu, juga rencana pengembangannya; gambar dan data situasi dan keadaan pangkalan/instalasi militer; perkiraan kemampuan militer dan pertahanan negara lain dan/atau kerja sama militer yang disepakati sebagai rahasia atau sangat rahasia; sistem persandian negara; dan/atau sistem intelijen negara.
Penjelasan Pasal 17 Huruf c Angka 1 membatasi untuk informasi infrastruktur pertahanan pada kerawanan, sistem komunikasi strategis, sistem pendukung strategis, pusat pemandu, dan pengendali operasi militer. Lalu, terkait operasi militer adalah gelar, komando dan kendali, kemampuan satuan, misi taktis, dan hal-hal taktis lainnya.
Adapun terkait alutsista adalah spesifikasi teknis operasional, kinerja dan kapabilitas teknis, kerawanan sistemnya, serta rancang bangun dan purwarupa persenjataan.
Terkait informasi rancang bangun dan purwarupa alutsista dipertegas dalam Pasal 2 dan Pasal 30 UU No 16/2012 tentang Industri Pertahanan, termasuk Penjelasannya.
Konsekuensinya, tidak ada pembatasan informasi publik atau kerahasiaan untuk pengadaan alutsista, kecuali pada aspek tadi.
Oleh karena itu, pengadaan pesawat tempur, kapal selam, atau rudal dari negara dan produsen mana, jumlah, anggaran, skema pembiayaan jika memakai utang luar negeri, jadwal kedatangannya, dan hal-hal lain yang tidak diatur dalam Penjelasan tersebut bukan merupakan rahasia, atau informasi yang dikecualikan untuk dibuka dan diberikan kepada publik.
Kendala kerahasiaan
Merahasiakan pengadaan alutsista juga terkendala oleh adanya data dasar atau laporan rutin tahunan dari lembaga riset internasional seperti Stockholm Institute Peace Research Institute (SIPRI) atau International Institute for Strategic Studies (IISS) dengan laporan The Military Balance.
Bahkan, media asing yang mewartakan negosiasi pesawat tempur bekas Eurofighter Typhoon dari Austria, yang setelah gagal berlanjut ke negosiasi pesawat tempur bekas Mirage-2000 dari Qatar. Bahkan, media asing juga yang mengungkap nama-nama yang diduga berperan sebagai perantaranya.
Yang terpenting adalah mustahil merahasiakan pengadaan alutsista selama persenjataan itu diimpor. Publik mungkin tidak tahu, termasuk juga anggota DPR yang karena kewenangannya membahas satuan tiga (kegiatan/subkegiatan hingga proyek pengadaan alutsista), sudah dibatasi oleh putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2013.
Namun, perusahaan dan negara produsen pasti tahu alutsista yang dibeli oleh Indonesia, termasuk spesifikasi teknis dan kelemahannya, serta skema utangnya. Bahkan, Amerika Serikat (AS) selalu menerbitkan notifikasi alutsista yang dapat dijual kepada negara lain, termasuk Indonesia, lengkap dengan nilai pembelian, jumlah, komponen, dan spesifikasi teknisnya.
Hanya litbang dan produksi mandiri yang memungkinkan kerahasiaan terjaga. Namun, itu juga tidak mudah untuk alutsista sangat besar, seperti pembuatan mandiri kapal induk China Fujian (tipe 003), yang selalu dipantau satelit Barat.
Yang terpenting adalah mustahil merahasiakan pengadaan alutsista selama persenjataan itu diimpor.
Adapun litbang rudal dan roket secara mandiri lebih sulit karena perlu uji coba di ruang udara perairan laut yang terpantau satelit, dan harus dipublikasikan ke kapal dan pesawat sipil agar tidak terjadi insiden salah tembak.
Selain itu, litbang dan produksi alutsista memerlukan komponen, sistem elektronik, atau mesin buatan atau hasil kerja sama dari produsen dan negara lain. Misalnya, drone Anka yang dibeli Indonesia dari hasil litbang Turki digerakkan oleh mesin dari perusahaan patungan GE Aviation (AS) dan Turkish Aerospace Industries (TAI).
Ini tentu mengurangi kerahasiaan pengembangan alutsista Turki. Namun, seperti penulis ungkap di atas, ini juga CBM atau upaya Turki membangun kepercayaan negara luar.
Seni mengelola rahasia dan transparansi pengadaan alutsista inilah yang akan membuat postur pertahanan Indonesia makin kuat seraya meningkatkan kepercayaan publik Indonesia dan negara luar.