Ibu Kota yang Pindah
Pengalaman sejumlah negara membangun dan memindah ibu kota negara bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua.
Dua bulan lalu saya ke Kuala Lumpur berjumpa kawan saya, Datuk Seri Anwar Ibrahim, Perdana Menteri ke-10 Malaysia. Dalam acara makan malam di kediaman resmi di Putrajaya, dia menceritakan proses pembangunan Putrajaya sebagai pusat pemerintahan baru tahun 1995 oleh PM Mahathir Mohamad.
Putrajaya dibangun karena ingin pusat pemerintahan terpusat pada tempat yang tenang, tapi tak jauh, 30 kilometer, dari Kuala Lumpur.
Istana dan parlemen tetap di Kuala Lumpur sebagai ibu kota negara sehingga tidak perlu banyak sarana baru, seperti bandara, jalan-jalan, dan fasilitas lain, sehingga biaya pembangunan tidak besar.
Waktu itu ekonomi Malaysia sangat baik dan tidak ada utang, dan agar efisien luasnya hanya 50 kilometer persegi, dan dibangun beberapa gedung kementerian dan fasilitas lain. Suasana malam hari di Putrajaya sangat sepi karena sebagian besar pegawai masih tinggal di Kuala Lumpur, termasuk PM Anwar sendiri.
Kisah ibu kota yang pindah
Lain lagi di Myanmar, pindah ibu kota dari Yangoon ke Naypyidaw. Naypyidaw baru dibangun tahun 2005, berjarak 320 kilometer dari ibu kota lama, dan secara geografis terletak di tengah-tengah negeri itu. Tempat itu dipilih dengan alasan keadilan, lebih aman, dan juga karena adanya nasihat spiritual.
Biaya pembangunan adalah 4 miliar dollar AS pada waktu itu. Myanmar membangun istana dan gedung parlemen yang megah, kantor-kantor kementerian, rusun-rusun yang tersebar untuk tempat tinggal pegawai, dan fasilitas lainnya.
Putrajaya dibangun karena ingin pusat pemerintahan terpusat pada tempat yang tenang, tapi tak jauh, 30 kilometer, dari Kuala Lumpur.
Saya tiga kali mengunjungi kota itu sebagai Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) tahun 2013 bersama Hamid Awaludin dan tim PMI, bertemu dengan Presiden Thein Sein untuk membicarakan perdamaian. Presiden Then Sein meminta saya berdiskusi dengan 16 menterinya tentang konflik dan perdamaian di sana selama dua hari.
Saya sekaligus juga meninjau Negara Bagian Rakhine, yang terdapat banyak penduduk Rohingya, dalam kamp yang diawasi. PMI memberikan bantuan dua kontainer sarung dan membangun rumah sakit di perbatasan permukiman warga Rohingya dengan kelompok Buddha, bersama Walubi dan Mer-C.
Situasi kota Naypyidaw sepi, apalagi hari Jumat sore saat sebagian besar pegawai pemerintah dan pejabat pulang ke Yangoon dengan bus dan kembali Senin pagi karena keluarga mereka tetap tinggal di Yangoon.
Negara lain di Asia yang memindahkan ibu kota adalah Pakistan, yakni pada tahun 1967, dari Karachi ke Islamabad. Saya mengunjungi kota tersebut tahun 2003 sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat untuk memberikan bantuan kepada pengungsi Afghanistan yang masuk ke Pakistan. Dengan Hercules, kami terbang melalui India membawa obat-obatan dan lain-lain, bersama tim dokter dari Universitas Hasanuddin dan Mer-C.
Kotanya tak besar, pusat pemerintahan dalam kompleks istana dan gedung-gedung kementerian. Islamabad dibangun dekat Rawalpindi, dengan jarak 12 kilometer, sehingga infrastruktur dan fasilitas sudah ada. Masjid besar dan Universitas Islam dibantu Arab Saudi.
Di Afrika ada Nigeria yang memindahkan ibu kota dari Lagos ke Abuja tahun 1991. Abuja dipilih karena strategis letaknya di tengah dan tempat yang sejuk dibandingkan dengan Lagos yang tetap menjadi kota perdagangan.
Di Amerika Selatan, Brasil memindahkan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Alasan hampir sama, macet dan perlu di tengah negeri, di pegunungan yang sejuk. Pembangunan mulai tahun 1960, Presiden Juscelino Kubitschek minta selesai lima tahun dengan biaya 1,5 miliar dollar AS pada waktu itu (kini setara 15 miliar dollar AS atau Rp 250 triliun). Pembangunannya sangat membebani ekonomi Brasil, sampai terjadi krisis, karena terlalu banyak mencetak uang untuk proyek ibu kota. Bahkan inflasi sampai 200 persen setahun.
Saya ke Brasil tahun 1975. Harga makanan dan barang-barang tiap hari naik. Beberapa orang yang saya tanya mengatakan anggaran negara defisit karena membangun ibu kota dengan biaya besar. Dampak ekonomi itu masih terasa sampai 10 tahun setelahnya. Kotanya bagus dan sejuk, tapi sangat jauh dari pusat ekonomi di Rio atau Sao Paulo.
Sebelumnya, lebih dari 100 tahun lalu, AS memindahkan ibu kota dari New York ke Washington DC dan Australia dari Melbourne ke Canberra.
Negara federal
Semua negara di atas adalah negara federal yang lebih banyak pindah ke ibu kota baru yang lebih kecil dan dibangun di daerah khusus yang bukan wilayah dari negara bagian. Ibu kota negara federal mudah pindah karena pemerintahan pusat kecil, hanya mengurus urusan luar negeri, pertahanan, moneter dan hukum, sementara koordinasi yang lainnya diurus negara bagian.
Ada juga negara kesatuan, yang ibu kotanya pindah, seperti Turki, dari Istanbul ke Ankara pada tahun 1923, setelah Kesultanan Ottoman jatuh dan diganti dengan republik dengan Presiden Ataturk yang tidak mau mengikuti warisan pemerintahan lama.
Ibu kota negara federal mudah pindah karena pemerintahan pusat kecil, hanya mengurus urusan luar negeri, pertahanan, moneter dan hukum, sementara koordinasi yang lainnya diurus negara bagian.
Tidak membangun kota baru karena Ankara adalah ibu kota provinsi yang sudah maju. Hanya memindahkan pusat pemerintahan dengan membangun kantor-kantor dan fasilitas tambahan di Ankara. Saya beberapa kali ke sana bertemu Presiden Erdogan di Istanbul, karena di sana juga ada istana.
Kazakhstan juga memindahkan ibu kota pada tahun 2000 dari Almaty ke Astana, di era Presiden Nursultan—yang kemudian pada 2019 mengganti nama ibu kota itu sesuai dengan nama presidennya yang otoriter, Nursultan.
Astana, suatu kota lama yang tertata baik sejak zaman Uni Soviet. Kunjungan kami ke Astana waktu itu untuk memenuhi undangan World Expo 2017 untuk melihat kemajuan ekonomi dan teknologi Kazakhstan, bersama beberapa rektor universitas. Sebagai ibu kota baru, negara itu hanya membangun kompleks pemerintahan, yakni beberapa gedung tinggi gabungan dari beberapa kementerian dan istana yang tidak terlalu besar. Penduduk Kazakhstan hanya 19 juta, tetapi kaya dengan minyak dan gas. Sebagian besar penduduk beragama Islam.
Korea Selatan sedang membangun ibu kota administratif baru, tetapi bermasalah. Sejak tahun 2005 rencana pindah ibu kota dari Seoul ke Sejong oleh Presiden Roh Moo-hyun sudah 20 tahun belum dapat dilaksanakan. Alasannya, ada masalah hukum dan keengganan para pejabat dan pegawai untuk pindah walaupun beberapa kantor kementerian sudah dibangun, dan di kota Sejong sudah banyak fasilitas baru, seperti hotel, restoran, rumah sakit. Jarak Sejong dengan Seoul 125 kilometer, hampir seperti Jakarta-Bandung.
Mesir juga sedang membangun ibu kota baru, di sebelah tenggara Kairo. Jarak dari Kairo cuma 50 kilometer. Alasannya hampir sama, menghindari kemacetan dan agar lebih tenang. Pembangunan dibantu Uni Emirat Arab dan beberapa negara Arab lainnya.
Bulan Juli lalu saya ke Kairo untuk bertemu dengan Grand Syekh Al-Azhar, Prof Dr Syekh Muhammad Ahmad ath-Thayyeb, dalam rangka kerja sama Al-Azhar dengan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).
Seorang teman mengajak saya mengunjungi kota baru yang belum diberi nama itu. Namun, karena harus pulang, saya tak sempat mengunjungi. Menurut mereka, kota baru itu belum selesai walau sudah sepuluh tahun pembangunannya dilakukan Presiden Abdel Fatah el-Sisi dengan rencana biaya 58 miliar dollar AS atau setara Rp 900 triliun.
Keadaan ekonomi Mesir memang tidak dalam keadaan baik. Apalagi pemindahan ibu kota negara kesatuan memang sulit karena kementerian dan birokrasi sangat besar dibandingkan dengan di negara-negara federal yang banyak melakukan pemindahan ibu kota.
Dari semua pengalaman negara-negara yang memindahkan ibu kotanya, umumnya mereka pindah ke kota yang sudah ada atau membangun pusat pemerintahan baru dekat dengan ibu kota yang lama. Negara federal yang membangun ibu kota baru dan jauh dari ibu kota lama hanya Brasil, yakni dari Rio ke Brasilia dengan jarak 1.200 kilometer, yang dengan biaya yang besar menyebabkan beban yang besar bagi perekonomian dalam waktu yang lama. Pengalaman semua negara itu tentu bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua.
Baca juga: Mereka yang Terdampak Pembangunan Ibu Kota Nusantara
M Jusuf Kalla, Wakil Presiden Ke-10 dan Ke-12 RI