Suhu rata-rata global terus meningkat hingga mencapai tahun terpanas sepanjang sejarah pada tahun 2023.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Tahun 2023 tercatat menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah. Krisis iklim ini membawa konsekuensi pada ancaman berbagai bencana hidrometeorologi dan krisis pangan. Untuk itu, kita mesti bersiap menghadapi kondisi Bumi yang diperkirakan bertambah panas tahun ini.
Laporan Copernicus Climate Change Service Uni Eropa mencatat, suhu rata-rata global 2023 mencapai 14,98 derajat celsius. Hal itu berarti lebih panas 0,6 derajat celsius daripada tahun 1991-2020, dan lebih panas 1,48 derajat celsius di atas suhu praindustri tahun 1850-1900 yang sebesar 13,5 derajat celsius.
Selain itu, tahun 2023 menjadi tahun pertama dengan suhu harian lebih dari 1 derajat celsius lebih panas dibandingkan dengan periode praindustri. Menurut Wakil Direktur Copernicus Climate Change Service Samantha Burges, suhu tahun 2023 melebihi suhu dalam 100.000 tahun terakhir (Kompas, 11 Januari 2024).
Berdasarkan Laporan Ikhtiar Iklim Global, El Nino turut memicu melonjaknya suhu global. Hal ini ditambah dengan pemanasan global akibat gas rumah kaca terakumulasi di atmosfer dengan konsentrasi karbon dioksida dan metana mencapai rekor tertinggi pada tahun 2023.
Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), peristiwa El Nino sejak Juli 2023 diperkirakan berlanjut sampai April 2024 hingga memicu lonjakan suhu global. Met Office atau Layanan Cuaca Britania Raya memprediksi, suhu rata-rata 2024 berkisar 1,34-1,58 derajat celsius di atas suhu praindustri.
Tanpa aksi nyata menahan laju pemanasan global, cuaca ekstrem akan terus kita alami yang memicu gelombang panas, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, hingga krisis pangan. Untuk itu, upaya menahan laju pemanasan global melalui transisi energi makin mendesak dilakukan.
Suhu tahun 2023 melebihi suhu dalam 100.000 tahun terakhir.
Seruan agar beralih dari bahan bakar fosil menuju energi ramah lingkungan disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB (COP) Ke-28, pada Desember 2023, di Dubai, Uni Emirat Arab. Komitmen dari 198 negara itu menekankan transisi energi fosil menuju sistem energi berkelanjutan.
Hal ini selaras dengan pernyataan Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) bahwa emisi gas rumah kaca global perlu dikurangi minimal 43 persen pada 2030 daripada tingkat pada 2019.
Namun, hasil inventarisasi global mencatat para pihak berada di luar jalur mencapai tujuan Perjanjian Paris. Kesepakatan iklim tersebut menyerukan agar negara-negara menekan emisi karbon.
Para pihak didorong memacu kapasitas energi terbarukan tiga kali lipat dan efisiensi energi naik dua kali pada 2030. Langkah mencapai nol emisi mencakup percepatan pengurangan penggunaan batubara dan penghapusan pemakaian bahan bakar fosil, serta langkah lain mendorong transisi energi.
Situasi di Indonesia
Indonesia menetapkan target nol emisi tahun 2060 atau lebih cepat. Namun, dari laporan Outlook Transisi Energi 2024 yang diterbitkan Institute for Essential Services Reform, kebijakan energi saat ini jauh dari cukup untuk menekan emisi, yang ditandai lambannya pertumbuhan energi terbarukan.
Sejauh ini penggunaan bahan bakar fosil mendominasi dengan konsumsi energi dan kebijakan yang ada membantu memfasilitasi konsumsi domestik. Pada tahun 2022, batubara menyumbang hampir setengah dari bauran energi primer, diikuti dengan produk minyak dan gas.
Situasi tersebut menunjukkan, tingkat kesiapan transisi energi Indonesia masih stagnan. Padahal, transisi energi membutuhkan kondisi yang mendukung seperti kerangka politik dan peraturan, aspek teknologi dan ekonomi, investasi dan pembiayaan, serta kesiapan sosial.
Untuk menahan laju pemanasan suhu global, percepatan transisi dan efisiensi energi menjadi keniscayaan. Komitmen beralih dari bahan bakar fosil menuju energi ramah lingkungan selayaknya tak sebatas di atas kertas, tetapi menjadi aksi nyata yang berkelanjutan.