Jamu mengisahkan Indonesia: bermula dari identitas kultural, bisnis-perdagangan internasional, hingga politik kontemporer.
Oleh
OTI M LESTARI
·4 menit baca
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan jamu sebagai Warisan Budaya Dunia pada 6 Desember 2023. Kita mengenal jamu sebagai ramuan untuk pencegahan, pengobatan, pemulihan, dan pemeliharaan kesehatan hingga kecantikan.
Jamu beras kencur, kunir asem, atau cabe puyang jadi contohnya. Sensasi rasa pahit dan hangat dari bahan-bahan alami dari rempah-rempah, mulai dari akar, kulit, daun, hingga buah dari temulawak (Curcuma cautkeridza), kunyit (Curcuma domestica), atau jahe (Zingiber officinale) membuat tubuh memperoleh kualitas kesehatan jiwa raga.
Sejarah jamu
Jamu sebagai pengobatan tradisional merupakan salah satu warisan ilmu pengetahuan dari nenek moyang di hampir setiap suku bangsa di Indonesia. Bukti arkeologis budaya sehat jamu tercetak relief Karmawibangga Candi Borobudur (750 M), situs Liyangan (800 M) Prasasti Madhawapura (1305 M), dan Candi Rimbi (1329 M).
Naskah-naskah lama juga menyebut penggunaan jamu, seperti Kitab Kutaramanawa, Sarasmuccaya, Kawruh Jampi Jawi, hingga lontar Usada Bali. Kata jamu, dalam bentuk jampi, muncul di kitab Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh. Serat Centhini juga mencatat jamu sebagai salah satu primbon dan ensiklopedia kesehatan terlengkap dalam tradisi Jawa.
Penelitian tentang jamu pernah dilakukan oleh Rumphius, seorang botanis Belanda, dalam buku Herbarium Amboinense (1775). Diskusi ilmiah tentang jamu bahkan pernah dilangsungkan di Solo pada 1940. Wacana tentangnya juga telah diterbitkan dalam buku Ratjikan Djampi Djawi Ingkang Winados (1942) susunan Njonjah van Bloklan.
Jamu dikenal sebagai loloh di Bali, atau mbeko (Flores), batatamba atau banyu kinca (Kalimantan), sanrego atau lamatu (Sulawesi), serta swansea atau bii di Papua. Jamu menjadi ensiklopedi ekologis, referensi medis, dan pengetahuan teknologi kesehatan.
Kini beberapa produk jamu Indonesia telah dikenal di luar negeri, seperti di Belanda, Malaysia, Jepang, Australia, Taiwan, hingga Vietnam. Jamu dikonsumsi sebagai cara pengobatan alternatif yang unik dan menarik bagi manusia modern Barat, seperti halnya meditasi atau yoga.
Modernitas
Di masyarakat kita, minum jamu kerap dianggap sikap yang kuno, aneh, dan ndesa karena identik dengan jamu gendong dan ibu-ibu sepuh bersepeda onthel atau di pojokan pasar. Padahal sebagai elemen kesehatan, keaslian dan kesegaran bahan-bahan jamu mempunyai kadar alami yang tinggi.
Sejauh ini, memang belum ditemukan efek negatif pada konsumen yang rutin meminum ramuan jamu selama bertahun-tahun. Namun, logika masyarakat kiwari lebih menekankan pada hasil uji klinis dan saintifikasi pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan sehingga layak dikonsumsi (scientifically proven). Dengannya, penggunaan jamu bisa dipertanggungjawabkan dan tidak kalah dengan ramuan herbal lainnya.
Pada perkembangannya, mengutip Purnawan Andra (2020), konsep modernitas mengawinkan makna jamu dengan imaji eksotisme dan nalar konsumtif dunia kontemporer sehingga aktivitas minum jamu beroleh makna sebagai bagian dari gaya hidup manusia kiwari. Jamu, sebagai bagian dari kesehatan, kini menjadi bagian penting dalam aspek pencitraan diri yang diciptakan kepentingan bisnis.
Merek jamu yang dipakai menjadi penanda identitas. Jamu diberi cap sebagai ”ramuan para raja”. Jamu digunakan untuk menjadi penghubung antara individu masa kini dengan masa lalu. Kini muncul jargon prasyarat orang pintar minum merek jamu tertentu, seperti dalam iklan TV. Orang tua dan muda meminumnya. Jamu menjadi penghubung antara kesehatan dan intelektualitas. Di balik itu, bisnis tetap dapat dijalankan.
Sebagai industri, jamu memberikan keuntungan ekonomi dan menciptakan pangsa pasar yang lebih beragam. Jamu juga memunculkan kelas ekonomi baru lewat para pengusaha alias ’raja jamu’.
Lebih lanjut dikatakan Andra, sebagai industri, jamu memberikan keuntungan ekonomi dan menciptakan pangsa pasar yang lebih beragam. Jamu juga memunculkan kelas ekonomi baru lewat para pengusaha alias ”raja jamu”. Tak melulu urusan industri, jamu sebagai simbol dan pembentukan identitas di Indonesia mulai diajukan sebagai hari peringatan.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel (waktu itu) pernah membuat program ”Hari Jamu”. Gerakan minum jamu bersama dilaksanakan setiap Jumat, bermaksud menguatkan pemahaman bahwa jamu adalah minuman khas Nusantara, yang berprospek internasional. Pada waktu itu Puan Maharani ditunjuk sebagai Duta Jamu Indonesia. Jamu mengisahkan Indonesia: bermula dari identitas kultural, bisnis-perdagangan internasional, hingga politik kontemporer.
Jamu juga pernah hadir di depan instalasi pengobatan RSPAD Gatot Soebroto, simbol pencapaian teknologi medis di Indonesia itu. Di depan wartawan, jamu diminum oleh Joko Widodo-Jusuf Kalla (calon presiden dan calon wakil presiden yang sedang tes kesehatan pada waktu itu) sebagai simbol keberpihakan kepada wong cilik.
Masalah
Romantisisme atas jamu memang kerap menghadirkan kisah dan gambaran nan eksotis di masa lalu juga kiwari. Namun, di balik itu, cerita jamu sebenarnya menyiratkan berbagai masalah tentang diri kita sebagai sebuah bangsa.
Dalam sejarah, rempah-rempah (sebagai bahan dasar pembuatan jamu) telah menimbulkan histori eksploitasi, monopoli, konflik, peperangan, dan penjajahan, hingga praktik korupsi yang menghancurkan Nusantara dan terwariskan hingga kini. Penguasaan atas bahan-bahan jamu menjadi tinggalan kolonialisme yang mewariskan berbagai masalah mental, sosial, ekonomi, lingkungan, dan kultural bangsa ini.
Potensi jamu belum terekam dalam keberpihakan regulatif yang kontekstual, aplikatif, implikatif, dan visioner. Tidak hanya bagi pelestarian, tetapi juga demi masa depan jamu itu sendiri sebagai entitas kultural dan komunal. Seperti pendokumentasian, pengkajian, sosialisasi, dan internalisasi pengetahuan dan pemaknaan tentang jamu sebagai edukasi kultural, logika ekonomi, dan keberpihakan semua pihak untuk menjadikannya entitas potensial yang bisa dikembangkan dan dimanfaatkan.
Pengakuan atas jamu seharusnya membawa kesadaran tentang refleksi atas sisi kelam masa lalu yang tidak boleh dilupakan dan revivalisme penyikapan yang harus dilakukan ke depan. Bahwa jamu tidak hanya serupa ramuan yang terasa pahit di lidah, tetapi ia menyatukan, menguatkan, dan ”menyehatkan” kita sebagai bangsa.
Oti M Lestari, Peminat Kajian Sosial Budaya; Pegiat Pemberdayaan Masyarakat di Kelompok Tumbuh Sinema Rakyat Jakarta