Mengapa pernyataan Presiden Jokowi bisa berbeda dengan realitas di lapangan?
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·5 menit baca
Dalam tiga hari terakhir, ada tiga esai menarik. Pertama, esai berjudul ”Demokrasi di Ujung Kematian” yang ditulis Sukidi di Kompas, 4 Januari 2024. Kedua, esai ”Debat dan Demokrasi” yang ditulis Otto Gusti Madung, Rektor Institut Filsafat Ledalero. Esai ketiga ditulis Yasraf A Piliang di Kompas, 5 Januari 2024, berjudul ”Malu Menjadi Bangsa”.
Esai Sukidi diilhami buku How Democracy Die (2018) yang ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Ia menceritakan bagaimana demokrasi dimatikan secara bertahap. Pada salah satu bagian, Sukidi menulis, ”Saatnya kita bergerak bersama untuk menyelamatkan demokrasi dari kematian. Memperjuangkan politik kebenaran dengan bersandar pada kecerdasan dan ’tuntutan hati nurani’.”
Otto mengamini terjadinya kemunduran demokrasi di Indonesia. Kemunduran demokrasi sejalan dengan suasana anti-intelektualisme. Dalam rezim antisains, peran akademisi tidak lebih dari aksesori pemberi legitimasi bagi praktik kekuasaan sewenang-wenang.
Sementara Yasraf menulis, demokrasi seperti layar yang di baliknya bekerja kekuatan oligarki, mafia, kartel politik yang ikut menggerus norma publik. Gejala polarisasi sudah tampak. Negara mestinya menjadi mediator untuk merajut kembali persatuan bangsa. Ironisnya, tulis Yasraf, negara justru menjadi bagian dari polarisasi itu—the divided society.
Esai dengan basis argumentasi yang kuat selayaknya direfleksikan untuk melihat apa yang sedang terjadi di negeri ini. Namun, ada juga yang khawatir di tengah semangat menghalalkan segala cara, serta berpegang pada prinsip ”pokoknya menang”, esai-esai itu hanya menjadi bahan pemikiran elite dan mungkin tak banyak mengubah keadaan.
Sebagaimana judul tulisan Yasraf, ”Malu Menjadi Bangsa”. Justru rasa malu itulah yang hilang di Republik ini. Yasraf kemudian menulis, ”Demi rasa hormat terhadap pendiri bangsa, Pemilu Presiden 2024 hendaknya tak dilihat sebagai pertarungan menang kalah, tetapi pesta demokrasi menegakkan kembali keadaban bangsa yang tergerus ketakadaban.”
Dalam menghadapi Pemilu 2024, bangsa ini sepertinya terus bergerak dalam satu kontradiksi ke kontradiksi lain. Kontradiksi dalam artian berbedanya lisan dan kenyataan. Berbicara soal netralitas TNI/Polri/aparatur sipil negara (ASN), misalnya, berulang kali ditegaskan Presiden Joko Widodo dalam panggung depan politik. ”Kepada seluruh aparat negara, juga bolak-balik saya sampaikan ASN, TNI, Polri harus bersikap netral dan tidak memihak,” tegas Presiden Jokowi.
Namun, di lapangan, publik menyaksikan bagaimana pelanggaran atas netralitas ASN dipertontonkan secara vulgar. Beredar di media sosial, personel satuan polisi pamong praja menunjukkan dukungannya untuk Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden nomor urut 2. Gibran adalah putra Presiden Jokowi yang menjadi cawapres setelah Mahkamah Konstitusi membukakan jalan. Meskipun untuk langkah politik itu Anwar Usman, paman Gibran, harus dinonpalukan, dia melawan.
Saat kontroversi terjadi, Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moeldoko justru membela. Ia berkomentar, ”Tak ada pelanggaran karena satpol PP sebagai institusi belum mendapat posisi yang jelas.” Berbeda dengan Kepala Staf Kepresidenan, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, ”Seharusnya itu tidak boleh. Itu pelanggaran kode etik dan pelanggaran aturan sebetulnya,” kata Mahfud, cawapres dari Ganjar Pranowo. Cawapres Muhaimin Iskandar berkomentar, ”Pernyataan Moeldoko menyakiti nurani dan etika.”
Kok, bisa ada dua pendapat berbeda untuk dua kasus sederhana? Apakah karena berbeda posisi politik sehingga terjadi perbedaan pandangan antara Moeldoko dan Mahfud serta Muhaimin. Kontradiksi itu bukan merupakan pendidikan politik yang baik di mata publik.
Mengapa pernyataan Presiden Jokowi bisa berbeda dengan realitas di lapangan? Dalam praktiknya, susah meminta ASN netral ketika elite di Jakarta, pembantu Presiden dan mungkin Presiden Jokowi sendiri secara tersirat, dibaca publik menunjukkan dukungannya kepada putranya. Bagaimana mau meminta ASN bersikap netral, sementara ada menteri menjadi tim sukses, ada yang ikut jingkrak-jingkrak dalam debat cawapres? Bagaimana mau memaksakan netralitas ketika anggota Dewan Pertimbangan Presiden juga berada dalam tim pemenangan calon tertentu?
Namun, jangan-jangan itulah politik tanpa prinsip di negeri ini. Pernyataan di panggung depan berbeda dengan tindakan di belakang. Bangsa ini dihadapkan pada situasi anomi. Situasi tanpa nilai. Zaman edan. Hampir tiada lagi nilai yang bisa dipegang, selain politik kekuasaan. Dalam bahasa Sukidi, bangsa ini terbelah dalam ”bersama penguasa” dan ”melawan penguasa”. Kedua kelompok itu mendapatkan perlakuan berbeda. Hukum bisa dipakai sebagai alat sandera, tetapi di sisi lain, hukum sebagai alat pelindung.
Sikap pensiunan jenderal TNI juga bisa berubah sesuai dengan kepentingan. Tahun 2019 bicara apa, tahun 2024 bicara yang lain lagi, untuk hal yang sama. Itulah kredo politik purba. Tiada lawan dan kawan abadi, selain kepentingan. Di sisi itu pulalah sebenarnya integritas seseorang dipertaruhkan. Orang yang berperilaku tak punya prinsip sebenarnya tak layak dijadikan acuan.
Kontradiksi lain juga terjadi di penyelenggara pemilu. Simulasi pencoblosan capres yang diikuti tiga pasangan calon, tetapi dalam spesimen surat suara tertera dua pasangan calon. Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Idham Holik, seperti dikutip Kompas, 4 Januari 2024, mengatakan, ”Itu merupakan kesalahan manusia. Tak ada unsur kesengajaan.”
Pragmatisme politik yang menghalalkan segala cara hanya akan menghadirkan kedangkalan politik. Saya kutip pernyataan akhir tahun Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, proses pemilu yang serba pragmatis dan oportunistis bisa mengakibatkan pendangkalan politik. ”Kami tidak ingin pendangkalan politik dan disorientasi kenegaraan terjadi karena proses pemilu yang serba pragmatis, yang serba oportunistis, yang hanya mementingkan kemenangan,” ujar Haedar.
Di tengah situasi anomi seperti sekarang ini, disayangkan lembaga pengawas pemilu seperti hanya menjalankan peran formal dan prosedural. DPR tertidur lelap dan tak terdengar suara mengawasi jalannya pemilu. Hampir tak ada kewibawaan institusional untuk menjaga independensi pemilu.
Jangan-jangan, kita butuh cara lain, termasuk mengundang pemantau asing, seperti Asia Democracy Network atau Asian Network for Free Elections (ANFREL), yang pernah memantau Pemilu 2019 untuk kembali memantau jalannya Pemilu 2024 di tengah ”kelumpuhan” pemantau politik karena berbagai penyebab. Pemantau asing boleh jadi bisa ikut membantu meningkatkan kredibilitas Pemilu 2024 yang sejak awal sudah terseok-seok.