Resiliensi nelayan tradisional merupakan masalah kompleks, memiliki beragam dimensi.
Oleh
ALEXSANDER HASYIM
·4 menit baca
Resiliensi merupakan ketahanan sistem untuk beradaptasi dan bertransformasi untuk melestarikan fungsinya. Dalam perspektif kebijakan publik, membangun resiliensi berarti memperbesar kemampuan global, nasional, atau lokal untuk mengatasi ancaman dan dampaknya serta pulih dari gangguan tersebut.
Resiliensi nelayan tradisional merupakan masalah kompleks. Saking kompleksnya, saya melihatnya sebagai problem yang bersifat ill structured problems. Permasalahan dengan kategori ini, menurut Dunn (2018), memiliki banyak pengambil keputusan, memiliki alternatif solusi kebijakan yang beragam, pilihan-pilihan kebijakan berpotensi konflik, dampak berisiko, dan hasil kebijakan dapat diprediksi.
Permasalahan resiliensi nelayan memiliki beragam dimensi, seperti dimensi sosial, ekonomi, kelembagaan, infrastruktur, sumber daya, lingkungan, dan hukum. Dimensi sosial yang kompleks terkait pendidikan, keluarga, komunitas, persepsi, nilai, pola jaringan, konflik, dan tingkat partisipasi. Dimensi ekonomi nelayan yang terdiri dari tingkat pendapatan, pengeluaran, tabungan, investasi, ketersediaan alternatif mata pencarian, kepemilikan aset dan peralatan, dan lain-lain.
Dimensi kelembagaan nelayan yang terdiri dari sistem tata kelola, pengaturan multikepentingan, kelembagaan informal, peran pemerintah, swasta, dan koperasi. Dimensi infrastruktur yang terkait dengan pelabuhan dan pelelangan, galangan kapal dan perbengkelan, bahan bakar, peralatan tangkap dan teknologi, pengawetan serta pengangkutan, permukiman, dan kesehatan nelayan.
Dimensi ketersediaan sumber daya perikanan laut tangkap meliputi hasil tangkapan, kondisi tutupan terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan praktik destructive fishing. Dimensi lingkungan dan hazard, yaitu kondisi anomali cuaca, pemanasan global, pencemaran lingkungan, dan overfishing. Terakhir dimensi regulasi yang terkait dengan pengendalian, pengawasan kawasan, dan penegakan hukum serta teritorial laut.
Kebijakan infrastruktur sektor perikanan laut penting untuk mendukung keberlangsungan proses produksi perikanan tangkap. Kompleksitas kebijakan berhubungan dengan potensi konflik antara kebijakan dan program untuk nelayan.
Bagaimana nelayan mematuhi aturan pengendalian tangkapan dan kawasan konservasi di tengah kebutuhan yang meningkat dan kondisi bahan bakar yang terbatas? Bagaimana mengatur hubungan yang adil antara nelayan dan tauke? Bagaimana aparatur menegakkan aturan illegal, unreported, and unregulated fishing (IUU)? Tiga pertanyaan ini saja dapat menimbulkan potensi konflik kebijakan.
Ill structured problems dalam permasalahan kebijakan nelayan berupa risiko kebijakan yang diambil. Problem sebenarnya adalah bagaimana menerima risiko dan bagaimana manajemen risiko kebijakan pronelayan. Faktor taking the risk merupakan implikasi dan bi-implikasi kebijakan yang diambil.
Program perkapalan rakyat berbahan fiberglass terkendala dengan risiko penyediaan bahan baku dan modal. Kaderisasi nelayan muda terkait kemampuan dan anggaran pemerintah daerah membangun pendidikan sekolah nelayan. Faktor managing the risk terkait kebijakan resiliensi yang mendukung strategi adaptasi/coping nelayan tradisional.
Walaupun demikian, intervensi kebijakan publik yang dilakukan sebenarnya dapat diprediksi. Studi yang mendalam terkait nelayan dan sektor penangkapan ikan artisanal, menurut Warren dan Steenbergen (2021), masih perlu ditingkatkan. Riset yang berkualitas pada gilirannya akan membantu kebijakan pronelayan.
Penurunan jumlah nelayan telah terjadi beberapa tahun terakhir. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat sebanyak 330.000 nelayan menggantung jala sepanjang tahun 2010-2019.
Nelayan tradisional
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan ekspor produk perikanan hingga September 2023 mencapai 4,1 miliar dollar AS atau setara Rp 64,1 triliun. Angka tersebut masih jauh dari target yang sebesar 7,6 miliar dollar AS pada 2023. Ketidaktercapaian target tersebut mengindikasikan produksi perikanan laut yang berada di luar estimasi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang volume ikan laut yang didaratkan di tempat pendaratan ikan tradisional pada 2018 menunjukkan sebanyak 6.142.301,06 ton, sementara pada 2019 sebanyak 5.320.339,08 ton. Jika dibandingkan dengan produksi pada 2022 hanya berhasil mendaratkan 4.926.472 ton, maka dapat diindikasikan kondisi perikanan tangkap skala kecil ini tidak sedang baik-baik saja.
Penurunan jumlah nelayan telah terjadi beberapa tahun terakhir. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat sebanyak 330.000 nelayan menggantung jala sepanjang tahun 2010-2019. Lebih spesifik di Sumatera, data tahun 2023 menunjukkan Provinsi Bengkulu merupakan daerah yang paling signifikan persentase penurunannya, yaitu sebanyak 25,7 persen (8.277 nelayan) dibandingkan dengan Lampung (15,8 persen atau 4.508 nelayan), Bangka Belitung (14,6 persen atau 10.208 nelayan), dan Sumatera Barat (3,9 persen atau 2.193 nelayan).
Dilema
Dilema nelayan tradisional merupakan ambiguitas, ketidakjelasan, dan bahkan ketakutan nelayan menghadapi kenyataan kondisi mata pencarian, penghidupan, kondisi laut, lingkungan, dan jaringan interaksi yang bergeser menuju ketidakpastian atau ketidakmenentuan. Penurunan penghasilan, perubahan kondisi laut, dan berkurangnya jaringan interaksi merupakan sebagian kondisi yang menggiring mereka untuk menimbang ulang: tetap menjadi nelayan atau mencari pekerjaan lain.
Sebagian besar nelayan tradisional bertumbuh kembang secara turun-temurun dalam budaya bahari. Holland dan Norman(2020) menyatakan nelayan adalah profesi dan jalan hidup (fish to live and live to fish). Artinya, tidak mudah untuk beralih profesi. Nelayan adalah profesi, identitas, dan komunitas. Oleh karena itu, hajat hidup dan profesi nelayan harus tetap dijaga oleh pemerintah dengan berbagai pertimbangan. Pertimbangan itu berupa produktivitas, fungsi strategis, dan sosial budaya.
Dodges (2014) menyatakan peran kebijakan deliberatif adalah pengambilan keputusan yang dilakukan masyarakat. Dengan demikian, kebijakan deliberatif menurut Jacquet dan Does(2021) memiliki syarat searah keputusan, pelibatan dalam pengambilan keputusan, dan memiliki arah perubahan. Kebijakan yang dilakukan deliberatif memungkinkan pilihan-pilihan rasional nelayan tradisional dalam mempertahankan hajat hidup dan lingkungannya dapat dilaksanakan dengan berbasis komunitas.
Pemerintah dan akademisi bertugas meregulasi dan menjaga program yang disepakati. Beberapa praktik baik telah menunjukkan keberhasilan program pronelayan dengan melibatkan partisipasi komunitas kebijakan. Komunitas nelayan yang bergerak beradaptasi dengan mencari strategi coping berdasarkan kondisi masing-masing. Mereka harus dipercayai sebagai komunitas bahari yang tak akan menyerah dilamun badai sebagaimana nenek moyang kita yang pelaut tangguh.
Alexsander Hasyim, Kepala Program Pendidikan Magister Administrasi Publik Universitas Prof Dr Hazairin, SH, Bengkulu