Kemiskinan Perdesaan
Kemiskinan di perdesaan tidak hanya lebih banyak dibandingkan dengan kemiskinan di perkotaan, tetapi indeks kedalaman dan indeks keparahan kemiskinannya juga lebih tinggi.
Ilustrasi
Sampai saat ini, disparitas kemiskinan antara daerah perkotaan dan perdesaan masih lebar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Maret 2023, tingkat kemiskinan di daerah perkotaan sudah mencapai 7,29 persen atau 11,74 juta orang. Sementara di daerah perdesaan masih 12,22 persen atau 14,16 juta orang.
Pada periode sebelum pandemi Covid-19, yakni September 2019, persentase penduduk miskin di daerah perdesaan mencapai 12,60 persen. Angka ini menurun 0,38 persen poin menjadi 12,22 persen pada Maret 2023. Sebaliknya, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan justru naik 0,73 persen poin dari 6,56 persen pada September 2019 menjadi 7,29 persen pada Maret 2023. Meski penurunan kemiskinan di perdesaan lebih cepat dibandingkan dengan perkotaan, angka kemiskinan di perdesaan jauh lebih tinggi.
Tidak hanya persentase dan jumlah penduduk miskin, indeks kedalaman dan indeks keparahan kemiskinan di daerah perdesaan juga lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan. Indeks kedalaman kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran tiap-tiap penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.
Baca juga: Rumitnya Melenyapkan Kemiskinan Ekstrem di Desa
Garis kemiskinan mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun nonmakanan. Semakin tinggi nilai indeks kedalaman kemiskinan, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.
Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan merupakan angka yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
Meski selama periode September 2019-Maret 2023 kedua indeks tersebut menurun, angka tersebut masih lebih tinggi daripada angka perkotaan. Pada Maret 2023, indeks kedalaman kemiskinan di perdesaan masih 2,035, sedangkan di perkotaan 1,163. Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan di perdesaan mencapai 0,511, sedangkan di perkotaan 0,281. Kondisi ini tentu perlu mendapat perhatian.
Masalah kompleks
Masalah kemiskinan di perdesaan merupakan masalah kompleks yang disebabkan oleh banyak faktor. Mulai dari kurangnya akses pendidikan, terbatasnya lapangan pekerjaan, dan lain sebagainya. Jika kita telaah, berdasarkan data hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) yang diselenggarakan BPS, rata-rata lama sekolah kepala rumah tangga miskin di perdesaan hanya 6,04 tahun. Hal ini mencerminkan bahwa jenjang pendidikan yang ditempuh oleh kepala rumah tangga miskin di perdesaan masih relatif singkat.
Hasil Susenas juga menunjukkan bahwa mayoritas kepala rumah tangga miskin di perdesaan hanya berpendidikan SD sederajat. Pada Maret 2023, terdapat sekitar 39,60 persen kepala rumah tangga miskin di perdesaan yang hanya berpendidikan SD sederajat. Bahkan, terdapat 29,54 persen yang tidak tamat SD, dalam hal ini termasuk kepala rumah tangga yang tidak/belum pernah bersekolah.
Masalah kemiskinan di perdesaan merupakan masalah kompleks yang disebabkan oleh banyak faktor. Mulai dari kurangnya akses pendidikan hingga terbatasnya lapangan pekerjaan.
Selain itu, kepala rumah tangga pada rumah tangga miskin yang tergolong buta huruf (tidak dapat membaca dan menulis huruf Latin dan/atau huruf lainnya) di perdesaan juga cukup tinggi, yaitu 11,44 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi pada rumah tangga tidak miskin yang sebesar 6,02 persen.
Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki kepala rumah tangga miskin tersebut tentu berdampak pada keterbatasan untuk mengakses informasi, mencari pekerjaan yang lebih baik, serta memengaruhi peluang pekerjaan yang memungkinkan untuk mereka. Pada akhirnya, banyak rumah tangga miskin di perdesaan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Menurut data BPS, pada Maret 2023, terdapat 65,36 persen rumah tangga miskin di perdesaan yang sumber penghasilan utama kepala rumah tangganya berasal dari sektor pertanian.
Banyaknya rumah tangga miskin yang bekerja di sektor pertanian sebenarnya tidak menjadi masalah jika penghasilan mereka cukup dan layak sehingga dapat melepaskan mereka dari jeratan kemiskinan. Realitasnya, mereka sering kali harus menghadapi ketidakpastian pendapatan. Adanya fluktuasi harga komoditas, perubahan iklim yang tak bisa dihindari, serta teknologi modern pertanian yang mungkin belum bisa diakses menjadi permasalahan yang perlu ditemukan solusinya.
Apalagi hingga saat ini sektor pertanian masih menjadi salah satu leading sector perekonomian nasional yang memberikan kontribusi besar terhadap PDB (produk domestik bruno) nasional. Pada triwulan III-2023, misalnya, sektor pertanian berkontribusi 13,57 persen terhadap PDB nasional. Angka ini tertinggi kedua setelah sektor industri pengolahan. Dengan kontribusi besar ini, diharapkan para pekerja di sektor pertanian juga dapat ditingkatkan kesejahteraannya.
Selain program perlindungan sosial yang penting untuk membantu melindungi rumah tangga miskin dari dampak ekonomi yang tidak terduga, berbagai program seperti memberikan pelatihan dan keterampilan kepada rumah tangga miskin juga penting untuk ditingkatkan agar mereka mampu bersaing dan bisa mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan lebih tinggi. Apalagi, berdasarkan hasil Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) Agustus 2023, sektor pertanian ini merupakan salah satu lapangan pekerjaan dengan rata-rata upah terendah, yaitu Rp 2,37 juta per bulan.
Baca juga: Jalan Pintas Menghapus Kemiskinan Ekstrem
Selain itu, adanya diversifikasi ekonomi di daerah perdesaan juga perlu didukung sehingga memberikan peluang pekerjaan yang lebih banyak di sektor-sektor lain dan tidak hanya bergantung pada sektor pertanian. Pemberdayaan ekonomi lokal juga harus terus ditingkatkan agar dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat perdesaan secara berkelanjutan.
Terakhir, untuk mendukung terciptanya lingkungan ekonomi perdesaan yang lebih bervariasi, peningkatan akses infrastruktur dan akses permodalan juga perlu ditingkatkan. Hal ini agar para pelaku usaha di perdesaan lebih mudah meningkatkan usahanya dan ke depan diharapkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk miskin yang mungkin belum dapat membuka usaha sendiri.
Lili Retnosari, Statistisi di Badan Pusat Statistik