Tahun baru, keterampilan anyar. Itulah semangat yang seharusnya dimiliki para pencari kerja termasuk di Indonesia.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Linkedin, platform media sosial yang fokus pada perekrutan pekerja dan pencarian pekerjaan, menyampaikan bahwa dunia kerja kini semakin beralih untuk menjadi lebih memprioritaskan keterampilan. Dalam konteks perkembangan sekarang, keterampilan itu terutama berhubungan dengan bidang teknologi kecerdasan buatan. ”Para pengusaha mengubah pola pikir mereka dengan menempatkan keterampilan sebagai inti perekrutan serta pengembangan talenta di dalam perusahaan,” ujar Country Lead Linkedin for Indonesia Rohit Kalsy, Senin (1/1/2024) silam (Kompas.id, 1/1/2024).
Saat kian banyak perusahaan yang mencari pekerja dengan keterampilan terkait kecerdasan buatan, hal itu menunjukkan teknologi kecerdasan buatan sesungguhnya tak membuat manusia kehilangan pekerjaan. Dari sudut pandang optimistis, kehadiran teknologi kecerdasan buatan mengubah sifat pekerjaan sehingga seseorang dituntut memiliki keterampilan yang lebih canggih agar dapat tetap bekerja.
Sebagai contoh, Google Maps dan Waze membuat siapa pun bisa menjadi sopir. Berkat dua aplikasi ini, orang tak perlu bersusah-susah menghafal rute. Masukkan alamat tujuan, mesin segera memperhitungkan kondisi jalan, cuaca, dan sebagainya sebelum memberi saran rute paling optimal.
Maka, di zaman sekarang, sopir justru harus meningkatkan kemampuan mengajak penumpang bercakap-cakap. Sopir dituntut memiliki pengetahuan mengenai sejarah dan keunikan daerah tujuan. Dia harus mau menggali informasi tentang sebuah lokasi. Jika tidak, ia akan diberhentikan.
Selain itu, kecerdasan buatan mendorong permintaan akan orang yang dapat mengurusi teknologi itu. ”Harus ada orang yang memprogram, memantau, dan merawat robot-robot itu,” ujar Sarah Boisvert, pendiri New Collar Network, program pelatihan kerja nasional, di New Mexico, Amerika Serikat (The New York Times, 29/12/2023).
Di Asia Tenggara, Linkedin mencatat, syarat keterampilan teknologi kecerdasan buatan, atau khusus kecerdasan buatan generatif (generative AI), meningkat lebih dari dua kali lipat. Artinya, pasar tenaga kerja mengalami transformasi, dengan teknologi kecerdasan buatan berada di garda paling depan.
Di tengah meningkatnya kebutuhan akan pekerja terampil, khususnya terkait kecerdasan buatan itu, muncul istilah new collar (kerah baru). Terminologi ini mengacu pada pekerjaan yang memerlukan keterampilan tingkat lanjut (tetapi tidak harus bergelar tinggi), terutama di bidang kecerdasan buatan, robotik, keamanan siber, serta kendaraan listrik.
Dalam situasi itu, tak ada pilihan bagi pekerja selain selalu menambah dan meningkatkan keterampilan. Pemerintah pun dituntut untuk membuat program nasional peningkatan keterampilan warga agar produktivitas penduduk tetap tinggi.