Pemenang dan Pecundang dalam Transisi Energi
Biaya listrik tenaga angin dan matahari turun dan adopsi dengan cepat menjadikannya pemenang di era transisi energi.
Komitmen global untuk ”meningkatkan tiga kali lipat energi terbarukan pada 2030” dalam teks akhir Konferensi Tingkat Tinggi Iklim atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), menandai awal dari berakhirnya era bahan bakar fosil (the beginning of the end of the fossil fuel era).
Kesepakatan bersejarah ini merupakan langkah perubahan dalam perjalanan dunia menuju masa depan energi yang bersih, aman, dan adil. Selain akan menginspirasi negara-negara di dunia, kesepakatan yang dikenal sebagai Konsensus UEA ini memiliki dampak besar bagi tatanan global, terutama dalam percepatan transisi energi ramah lingkungan.
Pemenang dan pecundang
Dinamika politik baru ini akan memengaruhi politik energi yang terkait dengan minyak dan bahan bakar fosil lain, serta menghidupkan pertanyaan-pertanyaan lama seperti kategori ”yang menang” dan ”yang kalah” dalam transisi energi.
Salah satunya tentang politik perminyakan yang masih jauh dari tamat atau berakhir. Bahkan, mengutip laporan terbaru UN Environment Programme (2023), The Production Gap: Phasing down or phasing up? Top fossil fuel producers plan even more extraction despite climate promises, industri minyak masih akan menjadi kekuatan utama meski terdapat janji-janji mengenai perubahan iklim.
Kesepakatan bersejarah ini merupakan langkah perubahan dalam perjalanan dunia menuju masa depan energi yang bersih, aman, dan adil.
Untuk itu, meski dunia mulai terlibat dalam transisi energi, transisi itu hanya dapat dipahami dalam konteks di mana minyak, di tingkat global, kemungkinan besar masih menjadi salah satu sumber energi terbesar selama beberapa dekade mendatang. Konsumsi minyak mungkin menurun dengan cepat di beberapa tempat, dan beberapa produsen minyak akan menjadi salah satu pihak yang dirugikan dalam transisi.
Jeff D Colgan dan Miriam Hinthorn (International Energy Politics in an Age Climate Change, 2023) mengategorikan pemenang dan pecundang dalam transisi energi global dikaitkan dengan dua faktor utama pendorong transisi energi.
Pertama, perubahan iklim dan respons kebijakan yang mendorong ilmuwan, investor, dan produsen cari alternatif pengganti bahan bakar fosil. Kedua, kemajuan teknologi baterai dan energi terbarukan, yang secara komersial membentuk kembali pasar energi global.
Pasca-invasi Rusia ke Ukraina, pertimbangan geopolitik juga berperan mempercepat transisi energi ramah lingkungan. Tingginya ketergantungan impor Eropa pada bahan bakar fosil Rusia memunculkan kesadaran para pembuat kebijakan di dunia mengenai risiko geopolitik terkait bahan bakar fosil.
Pendapatan besar minyak dan gas alam Rusia sering dikaitkan dengan perang dan terjadinya ”petro-agresi”, yaitu kecenderungan beberapa negara minyak (petrostate) untuk memicu konflik antarnegara.
Faktor-faktor ini memperkuat motivasi untuk melakukan transisi energi. Namun, pada saat yang sama kekhawatiran mengenai keamanan energi dapat menimbulkan hambatan politik terhadap kebijakan apa pun yang melibatkan pengurangan ketersediaan dan keterjangkauan bahan bakar fosil.
Eropa adalah contoh paling nyata pasca-perang Rusia-Ukraina, dengan mengaktivasi pembangkit-pembangkit batubara untuk keperluan energinya.
Dalam transisi energi, keuntungan dan kerugian dapat terjadi dalam berbagai bentuk, bervariasi antarwilayah, negara, sektor, organisasi, dan demografi. Aktor yang mengalami peningkatan pendapatan, keuntungan, dan pengaruh politik akibat transisi energi menjadi ”pemenang”. Sebagai ”pecundang” adalah aktor yang mengalami hal sebaliknya. Pemenang dan pecundang ini bisa diterapkan pada tingkat negara, pemerintah daerah, sektor, perusahaan, atau tingkat proyek.
Listrik tenaga angin dan matahari telah mengalami penurunan biaya dan adopsi dengan cepat yang menjadikannya pemenang di era transisi energi.
Penurunan besar biaya dari energi terbarukan dan perkiraan pengurangan biaya untuk elektroliser menjadikan hidrogen komoditas yang diperdagangkan secara global dan pembawa energi utama dalam transisi energi. Namun, biaya yang terkait produksi hidrogen dinilai masih tinggi saat ini.
Industri pertambangan litium, tembaga, dan mineral kritis lainnya untuk energi ramah lingkungan berpotensi besar menjadi pemenang utama, meski politik ekstraksinya menimbulkan konflik dan problematik tersendiri. Keberadaannya yang terkonsentrasi di wilayah geografi tertentu menjadikan mineral ini juga rawan risiko geopolitik. Pada 2010, China pernah menahan ekspor logam tanah jarang ke Jepang karena perselisihan mengenai pulau-pulau yang disengketakan.
Dalam transisi energi, keuntungan dan kerugian dapat terjadi dalam berbagai bentuk, bervariasi antarwilayah, negara, sektor, organisasi, dan demografi.
Fusi nuklir dan geoengineering surya merupakan teknologi unggulan yang potensial menjadi pemenang. Meski tantangan teknis untuk teknologinya masih ada, peningkatan besar dalam investasi swasta di perusahaan fusi nuklir belakangan ini menunjukkan teknologi tersebut mendekati kelayakan komersial. Demikian juga dengan rekayasa geo-tenaga surya dapat diterapkan dalam skala besar di masa depan.
Produsen gas alam tidak jelas siapa yang menang atau kalah, meski gas mengeluarkan lebih sedikit emisi karbon. Gas alam sering dianggap ”bahan bakar penghubung” yang dalam terminologi Uni Eropa sebagai pengganti sementara batubara sampai jaringan listrik ditenagai oleh bahan bakar nonfosil.
Masih ada perdebatan apakah peningkatan penggunaan gas alam akan mengurangi konsumsi batubara global, atau meningkatkan konsumsi bahan bakar fosil secara keseluruhan.
Selain produsen minyak, batubara dianggap yang akan dirugikan dalam transisi energi. Meningkatnya prevalensi kendaraan listrik, efisiensi energi, dan peningkatan bahan bakar alternatif jadi ancaman industri batubara (IRENA, 2021).
Namun, penghentian penggunaan batubara secara bertahap masih akan sulit, khususnya di Asia, di mana batubara masih dianggap penting untuk pertumbuhan ekonomi, ketahanan energi, dan permintaan yang terus meningkat.
Diversifikasi ekonomi
Transisi energi pada akhirnya akan mengakhiri negara- negara petrostate dan memaksa produsen minyak melakukan diversifikasi perekonomian mereka dari bahan bakar fosil.
Laporan Carbon Tracker terbaru (2023), PetroStates of Decline, menemukan negara-negara produsen minyak menghadapi risiko fiskal yang besar akibat transisi energi, dengan menurunnya permintaan minyak dan gas akan memberikan tekanan pada harga komoditas.
Dari 40 negara yang dianalisis, 28 negara akan kehilangan lebih dari separuh pendapatan yang diharapkan sebesar 8 triliun dollar AS, meski transisi energi dilakukan secara moderat.
Merujuk studi Natural Resource Governance Institute (2023), Riskier Bets, Smaller Pockets: How National Oil Companies Are Spending Public Money Amid The Energy Transition, Pertamina bersama Petronas dari Malaysia adalah dua dari empat perusahaan minyak milik negara di dunia yang akan menghadapi biaya tinggi untuk melanjutkan ekspansi minyak. Permintaan bahan bakar fosil di era net-zero dapat berdampak pada perekonomian nasional.
Dalam menghadapi risiko-risiko ini, negara-negara minyak harus mempertimbangkan serangkaian tindakan yang dapat mengurangi kerentanan terhadap transisi energi. Seperti diversifikasi ekonomi, reformasi subsidi bahan bakar fosil, pembentukan sovereign wealth fund dan penetapan pajak baru (pajak karbon). Selain itu, mendesak penerapan pendekatan kebijakan berwawasan ke depan yang mampu memitigasi dan mengatasi dampak negatif dari transisi energi.
Dalam menghadapi risiko-risiko ini, negara-negara minyak harus mempertimbangkan serangkaian tindakan yang dapat mengurangi kerentanan terhadap transisi energi.
Pendekatan ini harus dapat membantu mengukur potensi dampak transisi terhadap indikator makroekonomi bagi negara-negara yang terkena dampak secara tidak proporsional.
Di tingkat internasional, lembaga-lembaga keuangan multilateral harus mengembangkan kapasitas negara-negara minyak, seperti diversifikasi dan potensi kompensasi atas aset-aset yang terbengkalai.
Diperlukan strategi dan kebijakan iklim yang matang untuk negara-negara yang bergantung pada bahan bakar fosil ke depan agar tak jadi pecundang dalam transisi energi yang inklusif dan adil secara global.
Baca juga : Paradoks Transisi Energi
Eko SulistyoDirektur Institute for Climate Policy & Global Politics