Judi ”Online” Mengancam Bonus Demografi
Perlu dipikirkan membuat kampanye sosial ”judi pasti rugi” melibatkan anak muda untuk mengubah norma bahwa judi itu bodoh.
Menyusul laporan liputan investigasi harian Kompas tentang judi online, Otoritas Jasa Keuangan telah membekukan 3.236 rekening bank terkait judi online dengan nilai saldo sebesar Rp 138 miliar (Kompas, 17/12/2023). Tentu ini langkah yang konkret dan penting. Namun, nilai nominal itu masih sangat kecil dibandingkan dengan besarnya kerugian judi yang setidaknya mencapai Rp 200 triliun di tahun 2023.
Artinya, dari sisi bisnis judi online, hanya 5-6 persen omzet tertangkap. Dalam akuntansi, hal ini bisa dianggap sebagai biaya usaha biasa. Pebisnis judi akan terus gencar menyerang Indonesia karena omzetnya tetap jadi primadona. Indonesia menempati urutan tertinggi unggahan kata slot di media sosial di dunia.
Dengan kata lain, kita berada dalam mode perang melawan judi online. Jika OJK sebagai panglima perangnya, pihak-pihak lain, termasuk masyarakat, adalah pasukannya.
Angka kerugian akibat judi online ini tidak bisa disepelekan karena ternyata lebih besar dari kerugian akibat narkotika yang belum menembus angka Rp 100 triliun per tahun. Kerugian nasional akibat judi online bahkan cukup untuk menutup angka defisit investasi APBN 2023 yang sekitar Rp 175 triliun.
Angka kerugian itu hampir menyaingi nilai omzet pendapatan premi asuransi yang sekitar Rp 200 triliun per tahun. Kerugian akibat judi online pun dapat melebar ke arah lain, seperti serangan pornografi yang merusak bonus demografi serta pinjaman online yang makin laris manis.
Kerugian akibat judi online pun dapat melebar ke arah lain, seperti serangan pornografi yang merusak bonus demografi serta pinjaman online yang makin laris manis.
Baca juga: Rekening Hasil Jual Beli Menopang Judi Online
Situs judi secara kreatif mengintegrasikan judi dengan tontonan pornografi online. Judi berselimut pornografi online makin mengandung candu. Bagi bandar judi internasional, kecanduan masyarakat Indonesia telah menjadikan negeri ini pasar legit mengeruk profit.
Sejarah Judi
Fenomena judi sebetulnya menjadi masalah hampir semua negara sejak puluhan tahun silam. Di Indonesia, judi berskala nasional pertama kali digaungkan pada tahun 1968 dengan program Nalo (nasional lotre). Kemudian berkembang menjadi sumbangan sosial berhadiah di tahun 1978-1988, kupon sumbangan olahraga berhadiah (1987-1988), dan sumbangan nasional dermawan (1991-1993).
Gubernur DKI Jakarta periode 1967-1977 Ali Sadikin bahkan melegalkan kasino pertama di Jakarta agar dapat menarik pajak dari aktivitas perjudian.
Menurut data dari Bank Dunia, industri perjudian menyumbangkan perputaran ekonomi yang cukup fantastis. Sebut saja Makau, pendapatan judi pada distrik tersebut lebih dari 50 persen total pendapatannya, mengalahkan sektor pariwisata. Geliat untung industri judi dinikmati pula oleh negara besar seperti Amerika Serikat (Las Vegas), Hong Kong, Inggris, dan baru-baru ini Kamboja.
Sementara itu, apa yang terjadi dengan Indonesia? Pelaku judi justru sebagian besar dari kalangan menengah ke bawah dengan 79 persen nominal transaksi di bawah Rp 100.000 per permainan. Situasi itu membahayakan mimpi Indonesia meraih bonus demografi. Jangan-jangan, bukannya bonus demografi yang didapat, melainkan beban demografi.
Literasi bahaya judi
Di masa lampau, judi berlangsung luring (offline) sehingga masih ada kontrol sosial. Di masa sekarang, judi dilakukan dengan mudah secara daring di telepon seluler sehingga rasa malu dicap sebagai penjudi dapat dihilangkan.
Oleh karena itu, untuk memberantas judi online, literasi tentang bahaya judi menjadi kunci. Masyarakat perlu memahami bahwa judi online rentan menimbulkan efek kecanduan yang berlanjut pada gangguan kesehatan mental, seperti stres, kecemasan, depresi, dan bahkan pemikiran tentang bunuh diri.
Penjudi dapat mengalami gangguan lobus frontal yang mengganggu regulasi emosi sehingga otak kirinya tidak berfungsi dengan baik.
Judi online pun rentan memicu masalah dalam hubungan keluarga, kesulitan dalam bekerja (seperti penurunan produktivitas), dan isolasi sosial (menarik diri dari kegiatan sosial sehingga lama-lama merasa sendiri).
Beberapa riset tentang otak menyatakan bahwa penjudi dapat mengalami gangguan lobus frontal yang mengganggu regulasi emosi sehingga otak kirinya tidak berfungsi dengan baik. Tak heran banyak penelitian menemukan bahwa berjudi erat dengan tindakan bunuh diri karena logika (otak kiri) yang lemah.
Edukasi bahaya judi online harus melibatkan banyak pihak. Selaras dengan UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen, literasi bahaya judi dapat dicanangkan pula oleh perbankan. Literasi spesifik bahaya judi dapat menjadi bagian dari agenda edukasi. Perbankan perlu dirangkul untuk tegas mengupayakan pemberantasan judi online, bukannya justru menikmati omzet dari transaksi yang meroket.
Transaksi judi online bersifat instan, tetapi di masa depan merusak tatanan keuangan. Risiko kredit macet juga dapat meningkat jika kebiasaan judi terus melekat di masyarakat.
Selain perbankan, instansi pemerintah yang berhubungan langsung dengan publik dapat turut berpartisipasi, misalnya TNI dan Polri. TNI dan Polri perlu mengembangkan budaya asah, asih, asuh yang kental. Para pemimpin memiliki peluang untuk mengedukasi dan memengaruhi bawahan. Masih banyak lembaga dan perangkat sosial yang menjadi intangible asset Indonesia, seperti pemerintah daerah, bahkan RT/RW. Gerakan gotong royong melawan judi dapat dijadikan opsi.
Penjudi sulit menerima kenyataan bahwa bandar judi tentu menciptakan algoritma sedemikian rupa dan acak sehingga mereka yang untung, pemain buntung.
Peran Keluarga
Proses otak yang kecanduan judi ini sebetulnya sejalan dengan teori prospek yang dikemukakan Kahneman & Tversky, bahwa pada kondisi merugi, manusia akan lebih cenderung mengambil risiko (risk taking) dan nekat. Hal ini diperkuat dengan keinginan justifikasi bahwa pilihannya betul dan tidak merugi. Kalaupun merugi, yang penting happy.
Penggabungan teori prospek dan justifikasi diri membuat jerat judi makin memikat. Sangat mustahil berharap penjudi untuk istigfar dan sadar. Penjudi sulit menerima kenyataan bahwa bandar judi tentu menciptakan algoritma sedemikian rupa dan acak sehingga mereka yang untung, pemain buntung.
Di tengah gejolak otak yang tidak normal, peran keluarga menjadi harapan. Keluarga menjadi pihak terdekat yang bisa mengupayakan kesadaran untuk lepas dari jerat kebiasaan judi online.
Baca juga: Kisah Hidup "Rungkad" Penjudi Online
Kecepatan bandar judi menciptakan ekosistem judi online dan duplikasinya ribuan kali lebih cepat daripada kemampuan penegak hukum dan pemerintah untuk mencegah.
Satu situs dibekukan, puluhan situs baru bermunculan. Oleh karena itu, aksi blokade judi online harus berawal dari kebutuhan manusia yang mendasar, antara lain keluarga. Meskipun berat, penjudi tetap perlu dirangkul untuk berhenti dan kembali fokus berkarya.
Judi itu pasti rugi
Dalam teori perilaku, salah satu cara untuk menyebarkan kebiasaan adalah dengan merombak norma. Norma saat ini, judi adalah hal biasa dan menyentuh ranah pribadi. Bahkan, di sejumlah kalangan, judi online menjadi simbol pergaulan. Bisa jadi berlaku pandangan makan tak makan, asal judi.
Berdasarkan teori pula, duplikasi hal negatif memiliki kecepatan jauh lebih tinggi daripada hal positif. Oleh karena itu, perlu dipikirkan untuk membuat kampanye sosial ”judi pasti rugi” yang melibatkan anak-anak muda Indonesia. Bahkan, kampanye ini dapat pula dimulai di usia sekolah dasar. Kampanye sosial itu diharapkan dapat mengubah norma judi itu biasa menjadi judi itu luar biasa bodohnya.
Memberantas judi online bukan hanya tugas pemerintah. Pemerintah melalui perangkatnya memang tetap harus berperang melawan penjajahan ini. Kita, sebagai pasukan perang, harus turut ambil bagian. Para ayah dan ibunda harus memberi contoh dan merangkul anak bangsa supaya lebih kuat mentalnya. Tetap berprestasi di tengah berbagai variasi ancaman generasi. Demi bonus demografi. Bukan beban demografi.
Supeni Anggraeni Mapuasari, Pengajar Akuntansi President University