Gempa bumi terus berulang di Tanah Air. Dampak bencana bisa dikurangi dengan mitigasi dan adaptasi bencana yang membumi.
Oleh
Redaksi Kompas
·2 menit baca
Pengujung tahun 2023 dikejutkan gempa bermagnitudo 4,8 di Sumedang, Jawa Barat. Di Jepang, gempa dangkal M 7,6 membuka tahun 2024.
Hingga kemarin, tidak ada laporan korban meninggal akibat gempa di Sumedang, sedangkan di Jepang sebanyak 6 orang dilaporkan meninggal. Gempa di Sumedang merusak 464 unit bangunan di tujuh kecamatan (Kompas.id, 2 Januari 2024).
Dari sisi frekuensi kejadian, terjadi tujuh kali gempa di Sumedang dari Agustus 2023 hingga 1 Januari 2024. Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Kelas I Bandung, gempa hari Minggu (31/1/2024) itu juga diikuti tiga gempa dangkal susulan bermagnitudo kecil.
Sekalipun digolongkan gempa kecil, guncangan di Sumedang mengejutkan para pihak karena minimnya riset aspek geologis di sana. Baru kemudian diinformasikan bahwa posisi Sumedang diimpit Sesar Baribis segmen Tampomas dan Sesar Cileunyi-Tanjungsari.
Meskipun magnitudo gempa di bawah 6,0, kerusakan ratusan bangunan tergolong banyak. Bangunan yang berdiri tidak mengadopsi risiko gempa. Kondisi yang juga banyak dijumpai di daerah rawan gempa lainnya.
Di Provinsi Jawa Barat saja, sepanjang 2023, terdata 1.155 gempa berbagai magnitudo, yang 107 di antaranya bisa dirasakan. Laman earthquake.org pun menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kejadian gempa tertinggi di dunia sepanjang 2023. Ada 2.205 kejadian gempa signifikan tahun lalu, di atas Meksiko (1.833) dan Filipina (1.340).
Sejatinya, data itu hanyalah penguat sekaligus pengingat betapa rentan hidup di negara kepulauan seperti Indonesia. Gempa diikuti tsunami seperti di Aceh (2004), gempa tektonik di Yogyakarta (2006), gempa disusul tsunami dan likuefaksi di Palu (2018) masih lekat di ingatan, bahwa harus ada langkah mitigasi yang membumi demi menyelamatkan nyawa manusia. Bukan pengetahuan sesaat, lalu dilupakan.
Inilah pekerjaan rumah yang tak pernah terselesaikan di Tanah Air, negeri ”cincin api” dengan risiko bencana geologi dan vulkanologi yang sangat tinggi. Selalu ada bencana yang memakan korban jiwa yang seharusnya bisa dihindari jika mitigasi dan adaptasi bencana diterapkan.
Entah sudah berapa lama kita tahu betapa pentingnya bangunan tahan gempa. Bagaimana tanda-tanda alam kemunculan tsunami. Jangan pula menghuni kawasan rentan gerakan tanah. Namun, semua itu seperti menguap begitu saja dan baru ramai ketika bencana muncul.
Setiap kali bencana alam muncul, pernyataan yang muncul adalah kapan ada bantuan dan berapa rupiah bantuan pemerintah yang akan dikucurkan. Lalu, aparat pemerintah sibuk mendata dampak infrastruktur rusak untuk diajukan kepada pemerintah sebagai dasar kucuran bantuan.
Selama respons tak berubah, bencana seperti gempa tak lebih sebagai peristiwa semata. Tidak ada pembelajaran bahwa dampak bencana bisa dihindari. Setidaknya, dikurangi.