10 Gempa Paling Mematikan di Abad Ke-21, Nomor 1 di Indonesia
Jumlah korban jiwa di Turki dan Suriah akibat gempa bumi M 7,8 telah melebihi 41.000 jiwa. Namun, mengacu pada World Risk Index 2022, Indonesia sebenarnya jauh lebih rentan bencana dibandingkan Turki.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
AP/HUSSEIN MALLA
Korban gempa M 7,8 yang berada di tempat pengungsian tengah antre untuk menerima bantuan di kamp darurat, di kota Iskenderun, Turki, Selasa (14/2/2023).
Jumlah korban jiwa di Turki dan Suriah akibat gempa bumi M 7,8 telah melebihi 41.000 jiwa. Gempa yang melanda pada 6 Februari 2023 itu menjadi penyebab kematian terbanyak kelima sepanjang abad ke-21. Namun, mengacu pada World Risk Index 2022, Indonesia sebenarnya jauh lebih rentan bencana dibandingkan Turki.
Gempa bumi M 9,1 yang mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004 menjadi bencana paling mematikan di abad ke-21. Sebanyak 230.000 orang di Asia Tenggara tewas akibat gempa yang diikuti tsunami berketinggian hingga 30 meter ini. Sebanyak 170.000 korban berasal dari Indonesia, terutama dari Kota Banda Aceh.
Di peringkat kedua, gempa M 7 yang terjadi di ibu kota Haiti, Port-au-Prince, pada 14 Agustus 2010. Gempa ini menewaskan 200.000 orang.
Indonesia merupakan negara yang memiliki gempa paling banyak di dunia. Indonesia juga memiliki gempa paling banyak per satuan luas daratannya, bersama dengan Tonga dan Fiji di Kepulauan Pasifik.
Berikutnya, sebanyak 87.000 orang tewas saat gempa M 7,9 yang melanda Provinsi Sichuan, China, pada 12 Mei 2008 di siang hari. Sebanyak 5.335 korban jiwa ini adalah siswa yang tertimbun bangunan sekolah mereka yang ambruk.
Di nomor empat, gempa pada 8 Oktober 2005 di Kashmir, Pakistan, yang menewaskan 73.000 orang. Gempa ini juga melukai puluhan ribu orang dan jutaan orang mengungsi sehingga menjadikannya sebagai gempa paling merusak di Asia Selatan.
AFP/BULENT KILIC
Warga berdiri di area reruntuhan gedung di Hatay, Turki, Senin (13/2/2023). Pada 6 Februari 2023, wilayah perbatasan Turki dan Suriah dilanda gempa M 7,8,
Gempa berkekuatan M 7,8 di Turki dan Suriah pada 6 Februari 2023 lalu menjadi bencana gempa paling mematikan kelima. Data hingga Rabu (15/2/2023), jumlah korban jiwa melebihi 41.000 dan diperkirakan terus bertambah. Saat ini upaya evakuasi masih terus dilakukan. Sekalipun gempa sudah terjadi sejak sepekan, pada Selasa (14/2/2023) berhasil dievakuasi sembilan orang yang selamat dari puing-puing di Turki.
Gempa M 6,6 yang melanda Iran pada 26 Desember 2003 menjadi bencana paling mematikan keenam. Gempa yang menghancurkan kota batubata lumpur kuno Bam ini menewaskan sedikitnya 31.000 orang.
Berikutnya, gempa berkekuatan M 7,7 pada 26 Januari 2001 yang menghantam Gujarat, India, menewaskan 20.000 orang. Gempa ini menjadi yang paling mematikan ketujuh, disusul gempa M 9 disusul tsunami yang melanda pantai timur Sendai, Jepang, pada 11 Maret 2011. Gempa ini menewaskan 18.500 orang dan memicu kebocoran pembangkit nuklir Fukushima Daiichi.
Gempa M 7,8 di Nepal pada 25 April 2015 yang menewaskan 9.000 orang menjadi yang paling mematikan kesembilan. Gempa ini memicu longsoran salju dan tanah longsor di beberapa bagian Pegunungan Himalaya, serta menghancurkan sekolah dan rumah sakit.
AP PHOTO/NIRANJAN SHRESTHA
Perempuan Nepal beristirahat sejenak dari pekerjaannya merekonstruksi rumahnya yang rusak akibat gempa 2015 pada Hari Womens International di Bhaktapur, Nepal, awal Maret 2017.
Adapun di nomor sepuluh adalah gempa M 6,3 yang melanda Yogyakarta pada 26 Mei 2006. Setidaknya 6.000 orang tewas saat itu. Berada di urutan kesepuluh gempa paling mematikan, magnitudo gempa ini juga paling kecil dibandingkan sembilan gempa lainnya.
Risiko di Indonesia
Jika data statistik ini kita lihat dalam skala lebih luas dengan memasukkan seluruh kejadian gempa bumi paling mematikan dalam periode 25 tahun terakhir, kita juga akan melihat tingginya risiko Indonesia. Dari 19 gempa paling mematikan di dunia selama periode tersebut, sebanyak lima di antaranya terjadi di Indonesia.
Selain gempa Aceh dan Yogyakarta, gempa yang tercatat paling mematikan di Indonesia adalah M 7,5 yang melanda Kota Palu pada 28 September 2018 dengan korban jiwa lebih dari 4.300 orang.Berikutnya gempa M 7,6 pada 30 September 2009 yang mengguncang lepas pantai Padang, dan menyebabkan 1.117 orang meninggal, serta gempa di Nias berkekuatan M 8,6 pada 28 Maret 2005 menewaskan 1.300 orang.
Data statistik ini menunjukkan tingginya risiko bencana gempa di Indonesia. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan posisi Indonesia di jalur cicin api dan diimpit tiga lempeng Bumi sehingga rentan dilanda gempa.
Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) menyebutkan, Indonesia merupakan negara yang memiliki gempa paling banyak di dunia. Indonesia juga memiliki gempa paling banyak per satuan luas daratannya, bersama dengan Tonga dan Fiji di Kepulauan Pasifik.
Tingginya kerentanan gempa ini menyumbang pada tingginya risiko bencana di Indonesia dari berbagai sumber. Apalagi, sebagian besar daerah rentan bencana, termasuk gempa bumi di Indonesia, memiliki kepadatan penduduk yang tinggi.
Meski demikian, penting untuk dicatat, risiko bencana tidak serta-merta disebabkan oleh kerentanan geologi yang tidak bisa kita modifikasi. Tingginya risiko gempa di Indonesia juga disebabkan lemahnya kapasitas dalam mitigasi, terutama karena buruknya kualitas bangunan.
Sebagai perbandingan, gempa dari kerak dangkal berkekuatan M 6,3 di Yogyakarta pada 27 Mei 2006 menelan korban jiwa lebih dari 5.778 orang. Sementara gempa di Suruga, Jepang, pada 11 Agustus 2009, yang berkekuatan sama dan juga dangkal, menyebabkan satu korban jiwa.
Contoh lain, gempa M 9 dari zona subduksi di timur Sendai pada 2011, juga memicu tsunami sedahsyat gempa dari subduksi yang melanda Aceh pada 2004. Namun, jumlah korban jiwa di Sendai seperempat dibandingkan Aceh. Mitigasi struktural dan sosial yang dilakukan Jepang terbukti bisa mengurangi risiko jatuhnya korban lebih banyak.
Menurut World Risk Index 2022 yang dikeluarkan Universitas Ruhr Bochum, Jerman, dibandingkan Turki, Indonesia jauh lebih rentan. Indeks yang mengukur kerentanan dan ketangguhan suatu negara terhadap bencana ini memberikan skor risiko 41,46 atau di peringkat tertinggi ketiga di dunia setelah Filipina (46,82) dan India (42,31). Sementara Turki memiliki skor 16,23.
Selain kerentanan dari banyaknya sumber bencana, indeks ini juga dipengaruhi tiga hal, yaitu ketimpangan sosial dan kurangnya pembangunan, stabilitas politik yang tidak mencukupi, perawatan kesehatan dan infrastruktur, serta kurangnya kemajuan. Khusus pada kategori kedua, Turki dinilai memiliki kerentanan ”sangat tinggi” terhadap bencana alam.
STATISTA
World Risk Index 2022 menyebutkan, dibandingkan Turki, Indonesia jauh lebih rentan bencana. Indonesia berada di peringkat ketiga negara paling rentan bencana setelah Filipina dan India.
Negara-negara, seperti Turki, mengalami banyak gempa bumi, misalnya Jepang, AS, Iran, atau Indonesia semuanya dinilai sangat rentan terhadap bencana alam oleh World Risk Index. Namun, negara maju Jepang dan AS mendapat skor terendah untuk kerentanan, China juga dianggap relatif siap.
Negara-negara lain dengan risiko bencana sangat tinggi yang kurang berkembang, tetapi dinilai lebih siap daripada Indonesia, termasuk Nikaragua, Bolivia, Vietnam, Meksiko, dan Honduras.
Ditakdirkan berada di jalur gempa yang aktif, Indonesia tidak bisa mengelak dari ancaman bencana. Namun, tingginya risiko bencana di Indonesia sebenarnya bisa dikurangi dengan perbaikan kapasitas dalam manajemen bencana, terutama untuk mengurangi risiko gempa adalah dengan memperkuat bangunan.