Dampak Propaganda Komputasional
Dalam momentum pemilu, diperlukan sikap rasional menghadapi pesan propagandis melalui media sosial atau media massa.
Beberapa saat yang lalu, publik dikejutkan oleh kabar kebocoran data pemilih tetap dalam sistem data Komisi Pemilihan Umum.
Diberitakan media massa, data itu mencakup nomor induk kependudukan (NIK), nomor kartu keluarga (NKK), tanggal lahir, jenis kelamin, hingga tempat pemungutan suara (TPS).
Ini bukan kejadian pertama di Indonesia. Kebocoran, peretasan, atau penyalahgunaan data pribadi telah lama menjadi perbincangan publik. Namun, sesungguhnya ada jenis data lain yang lebih berisiko dimanipulasi atau disalahgunakan untuk tujuan elektoral. Dan data itu, tanpa banyak disadari, saat ini telah dikendalikan oleh tangan- tangan yang tidak tampak.
Lazim disebut sebagai data perilaku pengguna (user behavioral data), data itu juga dikenal sebagai data psikografis.
Merujuk pada penelitian Michal Kosinski, profesor perilaku organisasional dari The Stanford Graduate School of Business, data psikografis menggambarkan bagaimana perilaku kita di dunia maya.
Apa yang sering kita cari dari mesin pencari, situs apa yang sering kita kunjungi, konten apa yang sering kita baca, ujaran seperti apa yang sering kita buat atau kita sukai, dengan siapa kita berinteraksi di medsos, minat apa yang kita tunjukkan secara digital dan seterusnya.
Semakin aktif kita berinternet, semakin lengkap profil kita terekam oleh pihak penyedia layanan digital (gratis) untuk kita. Data psikografis ini menjelaskan mengapa layanan medsos, mesin pencari, e-commerce, dan kecerdasan buatan (AI) semakin canggih dan paripurna.
Semakin aktif kita berinternet, semakin lengkap profil kita terekam oleh pihak penyedia layanan digital (gratis) untuk kita.
Kita terus memasok mereka dengan data perilaku digital kita sebagai ”bahan baku” untuk melahirkan program, aplikasi, mesin, robot yang semakin lama mendekati kemampuan dan kecerdasan manusia.
Penargetan individu
Pendek kata, tak ada layanan digital yang benar-benar gratis. Layanan digital gratis hampir selalu dibarter dengan pengawasan dan penambangan data pribadi yang gratis pula.
Ponsel yang kita gunakan setiap hari diibaratkan Kosinski sebagai kuis kepribadian yang tak pernah berhenti memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan psikologis tentang siapa kita. Semakin banyak aplikasi yang tertanam di ponsel itu, semakin lebar rentang data yang tersedia untuk para petambang data (Michal Kosinski: You are the product, Melinda Crane, 26/8/2019).
Pada awalnya, data psikografis merupakan dasar dari periklanan tertarget secara mikro (microtargeting advertising).
Mode beriklan yang menyesuaikan diri dengan profil pribadi pengguna internet. Orang yang sedang mencari rumah akan terus dipasok dengan informasi properti melalui akun medsos atau aplikasi mesin pencari yang tertanam di gawainya. Penggemar traveling akan terus diterpa iklan promosi perhotelan, tiket pesawat murah, dan semacamnya.
Dari pemasaran produk kemudian bergeser ke propaganda politik. Pemasaran microtargeting bertransformasi menjadi propaganda microtargeting. Fundamen dari operasi propaganda komputasional Cambridge Analytica yang begitu fenomenal di pilpres AS dan referendum Brexit 2016 adalah propaganda microtargeting itu.
Disebut juga sebagai data psikometris, data psikografis menyediakan detail kepribadian orang per orang sebagai landasan kampanye politik yang bersifat masif, sekaligus menargetkan individu-individu.
Para juru kampanye yang telah menguasai data psikografis mampu menyebarkan pesan kampanye yang disesuaikan dengan minat, masalah, dan kecenderungan orang per orang.
Jika data psikografis menyimpulkan seseorang takut akan kejahatan, dia akan menerima pesan yang mengklaim seorang kandidat sedang serius memberantas kejahatan.
Jika data psikografis mengidentifikasi keluarga adalah yang paling penting untuk kita, akun medsos kita akan dikirimi pesan yang mencitrakan kandidat X adalah figur yang menyayangi keluarga.
Jika seseorang teridentifikasi sebagai penggemar otomotif, tiba-tiba dia menerima pesan hasutan bahwa partai Y sedang menyiapkan pajak kendaraan bermotor yang akan menyulitkan para penggemar otomotif (Simon Batt, 2020).
Dalam konteks ini, penyalahgunaan data perilaku pengguna internet perlu lebih diwaspadai daripada penyalahgunaan data pribadi yang bersifat umum seperti dalam kasus data KPU di atas. Di tangan agen-agen propaganda komputasional seperti Cambridge Analytica, data psikografis dapat memfasilitasi banjir kabar bohong, pesan kebencian, bahkan hasutan permusuhan di akun-akun pribadi begitu banyak orang menjelang penyelenggaraan pemilu.
Perusahaan platform digital global seperti Google dan Meta adalah pengendali utama data perilaku pengguna.
Yang juga mesti diwaspadai adalah dampak rekayasa data perilaku pengguna terhadap polarisasi di masyarakat. Perusahaan platform digital global seperti Google dan Meta adalah pengendali utama data perilaku pengguna. Jika Facebook hari ini memiliki 3,05 miliar pengguna, data perilaku pengguna sebanyak itu juga yang secara matematis dikuasai Facebook.
Dengan data tersebut, platform digital mampu melakukan intervensi algoritmis atas semesta informasi para penggunanya. Tanpa sadar, pengguna internet kemudian terperangkap dalam fenomena daily me, yakni gugusan informasi yang diasumsikan sesuai minat, orientasi, atau kecenderungan politik setiap orang.
Orang-orang yang aktif menunjukkan pilihan politiknya di medsos akan terus dipasok dengan konten-konten yang selaras dengan pilihan politik itu.
Sejurus dengan itu, intervensi algoritmis juga mempertemukan pengguna medsos dengan orang-orang yang seideologi atau segaris politik. Terciptalah forum percakapan sosial dengan arus informasi dan wacana yang kurang lebih searah.
Terbentuklah kelompok pertemanan yang semakin eksklusif, di mana yang terus terjadi adalah puja-puji terhadap suatu pilihan politik dan cenderung menutup diri terhadap kemungkinan dialog dengan kelompok lain. Kita di sini tanpa sadar terperangkap dalam gelembung informatif (filter bubble) yang sepertinya luas tak terbatas, tetapi sesungguhnya terseleksi dan terbatas.
Dalam konteks inilah, polarisasi menguat menjelang pemilu dan mengarah ke keadaan konflik. Fenomena ”Cebong” dan ”Kampret” di Pemilu 2019 adalah contoh yang nyata, dan tampaknya juga akan terulang lagi.
Peran teknologi digital bersifat ambigu di sini. Di satu sisi membebaskan, di sisi lain membelenggu kita dalam pilihan-pilihan yang terbatas.
Medsos memberi peluang jejaring yang begitu luas, tetapi secara algoritmis juga bisa mengerangkeng kita dalam kelompok-kelompok pertemanan yang eksklusif. Teknologi informasi memfasilitasi kita membangun solidaritas lintas batas, tetapi juga dapat memperkuat polarisasi yang membahayakan kehidupan bersama, khususnya dalam momentum pemilu.
Supremasi algoritma
Dalam buku Computational Propaganda, Political Parties, Politicians, and Political Manipulation on Social Media (2019), Samuel C Woolley dan Philip N Howard menjelaskan propaganda komputasional sebagai operasionalisasi sistem algoritma, analisis data perilaku, sistem otomatisasi, serta produk AI untuk menghasilkan dan menyebarkan informasi menyesatkan lewat jaringan medsos dan media konvensional.
Dalam konteks keberadaan media massa sebagai lokus propaganda komputasional, kita perlu membahas peran cybertroll, yakni orang-orang yang sengaja memancing orang lain untuk memberikan respons emosional tentang masalah tertentu di jagat maya.
Cybertroll lazim beraksi dengan memposting pesan yang menghasut pengguna medsos dengan tujuan melahirkan kegaduhan dan memicu reaksi emosional. Tahap selanjutnya, seperti terjadi pada pemilu AS tahun 2016 dan 2020, cybertroll mencoba memprovokasi awak media untuk memublikasikan berita palsu yang mereka pasok.
Cybertroll mencoba memengaruhi rantai pasok berita dengan secara cuma-cuma membagikan konten provokatif ke media-media kecil dengan kemampuan yang terbatas dalam memverifikasi pasokan konten dari pihak lain.
Teknologi informasi memfasilitasi kita membangun solidaritas lintas batas, tetapi juga dapat memperkuat polarisasi yang membahayakan kehidupan bersama, khususnya dalam momentum pemilu.
Ketika media-media kecil telah ramai mengutip konten provokatif itu, media-media menengah atau besar pun terpancing turut mengutipnya. Bisa jadi media paham konten tersebut menghasut atau palsu.
Namun, karena telanjur viral, dikutip juga demi meraih trafik. Yang ditargetkan cybertroll adalah melahirkan kegaduhan dan menarik perhatian khalayak. Dampak yang mereka tuju: persebaran pesan disinformatif meluber melampaui lingkup jangkauan awalnya, yakni lingkup medsos.
Sementara yang dikedepankan banyak media adalah bagaimana meraih trafik dari sesuatu yang sedang viral. Tanpa disadari, para awak media telah menyukseskan agenda tersembunyi agen-agen propaganda di belakang cybertroll itu.
Cybertroll di sini membangun jembatan antara realitas medsos dan realitas media massa. Jembatan yang merembeskan pesan-pesan propaganda media sosial yang lazim bersifat menghakimi, rasis, dan memecah belah ke ruang pemberitaan media. Jika hal ini terus berlangsung, media massa bukan lagi menjadi sistem yang terpisah, atau sekadar terhubung dengan sistem media sosial.
Alih-alih, media massa menjadi sekadar bagian dari sistem informasi-komunikasi yang dibentuk dan digerakkan oleh platform media sosial (medsos). Kode etik jurnalistik tak lagi kokoh menjadi tolok ukur produksi berita, perlahan digeser oleh standar produktivitas kreator konten yang menempatkan pencapaian trafik, viralitas, dan social engagement sebagai paradigma.
Supremasi algoritma di sini telah melahirkan genre jurnalisme yang mengejar klik, dengan kuantitas lebih dikedepankan daripada kualitas berita, desas-desus dan syak wasangka dimonetisasi, serta kebenaran dan kebohongan tidak dipisahkan secara tegas.
Alih-alih para awak media justru mengikuti pola penyebaran konten medsos yang tanpa merujuk pada standar etika yang jelas.
Tentu saja perkembangan ini melahirkan dampak negatif terhadap ruang publik. Media massa tidak bisa menunjukkan keunggulan distingtifnya di hadapan medsos. Alih-alih para awak media justru mengikuti pola penyebaran konten medsos yang tanpa merujuk pada standar etika yang jelas.
Publik dihadapkan pada situasi nihilistik, di mana dalam ruang media, batas antara informasi dan disinformasi, berita dan desas-desus, kebenaran dan kebohongan menjadi sedemikian kabur. Dalam keadaan ini, mau tak mau setiap orang mesti didorong untuk memiliki kemampuan jurnalistik pada dirinya sendiri.
Setiap orang mesti didorong untuk mampu menyaring, menyeleksi, dan menilai informasi. Terlebih-lebih dalam momentum pemilu, setiap orang perlu didorong untuk bersikap rasional menghadapi pesan propagandis yang menyebar melalui medsos ataupun media massa.
Membaca informasi sebanyak mungkin dan membanding-bandingkannya, berjarak dengan kelompok percakapan yang semakin eksklusif, berdiskusi dengan teman-teman sejawat yang bersikap netral sangat dianjurkan.
Baca juga: Kuasa Algoritma dan Polarisasi Politik
Agus Sudibyo, Ketua Dewan Pakar PWI Pusat