Kegagapan Nasib dan Satire Tahun Baru
Pergantian tahun tak membuka pintu keberuntungan bagi kaum papa yang mengais rezeki. Kaum papa gagap menghadapi pergeseran zaman dengan segala tuntutan kebudayaan kapitalis dan paradigma jati diri manusia seiring waktu.
Tahun baru kerap membuka kesadaran penyair untuk mencipta peristiwa-peristiwa kecil yang luput dari perhatian seseorang. Penyair Joko Pinurbo, misalnya, mengangkat peristiwa pergantian tahun baru dan pergulatan manusia menghadapi perjalanan waktu dalam kemasan bahasa lugas, satire, dan terselubung humor.
Ia membuka cakrawala pandang pembaca tentang pengalaman hidup rakyat jelata di tengah pergolakan nasib dan takdir yang mesti dihadapi.
Setidaknya saya menemukan enam puisi Joko Pinurbo yang terobsesi pada pandangan tentang waktu dan suasana malam tahun baru. Dalam buku Perjamuan Khong Guan (Kompas Gramedia, 2020) terdapat puisi ”Senin Pagi” yang mengangkat tafsir kegagapan tentang waktu.
Dalam buku Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (Gramedia Pustaka Utama, 2022), saya menemukan dua puisi, ”Penjual Kalender” dan ”Trompet Tahun Baru”, yang mengekspresikan empati terhadap nasib rakyat jelata dalam menjalani pergantian tahun.
Dalam Sepotong Hati di Angkringan (Diva Press, 2022) terdapat puisi ”Perjamuan Akhir Tahun”, ”Menyambut Tahun Baru”, dan ”Pesan Kalender” yang secara jelas menuangkan pengalaman batin yang dialami rakyat jelata saat menghadapi pergantian tahun.
Pergantian tahun tak membuka pintu keberuntungan bagi kaum papa yang mengais rezeki. Kaum papa gagap dalam menghadapi pergeseran zaman dengan segala tuntutan kebudayaan kapitalis dan paradigma tentang jati diri manusia seiring perjalanan waktu.
Keterbatasan upaya manusia dan peristiwa-peristiwa getir sepanjang tahun telah menjadi bagian penciptaan puisi Joko Pinurbo. Ia tertarik untuk mengangkat persoalan personal, sosial, dan transendental.
Memang ia secara terbuka mengangkat renungan akan malam pergantian tahun, yang pada hakikatnya merefleksikan kepedulian tentang perjalanan waktu, dan menghadirkan kenangan. Kecemasan dan harapan menjadi roh penciptaan puisi.
Pergantian tahun tak membuka pintu keberuntungan bagi kaum papa yang mengais rezeki.
Kegelisahan apakah yang telah menyita perhatian Joko Pinurbo pada kegagapan manusia tentang waktu? Melalui puisi ”Senin Pagi”, ia menyingkap tentang kegagapan dalam memaknai perjalanan waktu. Manusia dihadapkan dengan segala tuntutan dan keterbatasan etos sebagai masyarakat urban dalam memaknai rutinitas, teknologi dan komunikasi yang nyinyir, dunia kerja yang penuh tuntutan.
Keadaan ini menyebabkan manusia gagal memaknai atmosfer kehidupannya dengan bijak. Penyair mengekspresikan kesaksiannya akan perangkap rutinitas, perjalanan hidup yang mengguncang kesadaran dan kekuatan jiwa.
Dalam kesaksian penyair, ketangguhan manusia telah luruh dan tak lagi dapat menyampaikan narasi kehidupan secara nyaman. Joko Pinurbo merasakan kegagapan manusia menghadapi pergeseran waktu seperti dalam larik-larik berikut ini: tubuhmu/ yang masih ngantuk/ sudah siap jadi jalanan/ macet dan bising/ jadi ponsel yang bawel/ jadi meja kerja yang rewel// …Tubuhmu/ masih gagap/ membaca waktu//.
Kegagapan kaum papa dalam menghadapi pergeseran tuntutan hidup dan pandangan tentang tahun baru disampaikan Joko Pinurbo dalam puisi ”Penjual Kalender”. Ia memandang bahwa kaum papa tak memiliki kekuasaan untuk memperbaiki nasibnya dalam menghadapi pergeseran zaman.
Narasi budaya mencipta sejarah, dengan peristiwa-peristiwa yang tak mungkin disanggah. Sejarah kehidupan kaum papa ditentukan kehendak zaman. Kaum papa tak dapat melawannya, tak dapat menentukan nasib sesuai harapannya.
Berikut ini petikan puisi itu: Pawai tahun baru baru saja dibubarkan sepi/ Sisa suara trompet berceceran/ sebentar lagi basi. Lelaki tua berulangkali/ menghitung receh di tangan, barang dagangannya/ sedikit sekali terbeli. ”Makin lama waktu/ makin tidak laku.” Ia berkeluh//.
Sejarah kehidupan kaum papa ditentukan kehendak zaman. Kaum papa tak dapat melawannya, tak dapat menentukan nasib sesuai harapannya.
Joko Pinurbo memberi makna peristiwa-peristiwa senyap dalam kehidupan seseorang sebagai sebuah sejarah yang bisu dalam puisi ”Trompet Tahun Baru”. Manusia menyerah ketika pergantian tahun, teralienasi dari kegembiraan. Joko Pinurbo menarasikan kesepian manusia dalam pergeseran sejarah.
”Terompet” menjadi simbol kebisuan manusia dalam menghadapi perubahan zaman, seperti larik berikut: Aku dan ibu pergi/ jalan-jalan ke pusat kota/ untuk meramaikan malam tahun baru/ Ayah pilih menyepi di rumah saja/ sebab beliau harus menemani kalender/ pada saat-saat terakhirnya// …”Mengapa terompet ini bisu, Ibu?”/ ”Mungkin karena terbuat/ dari kertas kalender, anakku.”//
Obsesi Joko Pinurbo tentang pergantian tahun melukiskan bahwa hakikatnya manusia senantiasa berjuang mencari kebahagiaan hidup. Dalam puisi ”Perjamuan Akhir Tahun”, ia menarasikan kehidupan manusia yang berada dalam puncak kepenatannya mencari berkah kehidupan, karena ia lelah berjuang terus-menerus untuk mencapai kebahagiaan hidup. Dia menganggap pergantian tahun baru sebagai saat untuk beristirahat dari perjuangan menemukan kebahagiaan.
Larik-larik puisi berikut ini memberi gambaran tentang kelelahan jiwa dalam memburu kebahagiaan duniawi: Selamat tahun baru, semuanya. Semoga/ hujan mencurahkan berkah kepada kita/ Aku tidur dulu ya. Capek ke sana ke mari/ mencari kebahagiaan seperti ini//.
Dalam pandangan Joko Pinurbo, pergantian tahun baru berada dalam tafsir ganda budaya semu: antara nestapa dan bahagia, antara menangis dan tertawa. Perjalanan waktu selalu berada dalam bingkai kenangan akan tragedi yang kelam dan harapan untuk menemukan kebahagiaan.
Tahun baru menjadi masa transisi untuk melupakan kenangan-kenangan sedih dan masa depan yang penuh harapan. Akan tetapi, sesungguhnya manusia tidak dapat mendustai hati nuraninya sendiri dan sering kali menempuh kepura-puraan dalam menjalani hidup.
Kepura-puraan manusia dalam berekspresi itu dituangkan penyair dalam puisi ”Menyambut Tahun Baru”: Hai, teman-teman terkasih, selamat pagi/ Baru mau sedih, sudah harus bahagia lagi// Pandemi membuat miris dan nelangsa/ Mau misuh dan menangis, eh keliru tertawa//.
Kesadaran tentang peran manusia dalam perjalanan waktu dan keikhlasan menerima takdir merupakan nilai moral puisi ”Pesan Kalender”. Dalam puisi ini, Joko Pinurbo menuturkan bahwa perjalanan hidup manusia ditentukan takdir, dan manusia tak akan pernah sanggup menentang rencana Sang Pencipta.
Dengan bahasa sederhana, ia menyusupkan pesan tentang cahaya keilahian dan kesadaran manusia sebagai makhluk, yang mesti menjalani segala hal yang telah ditentukan Sang Pencipta. Kesadaran transenden ini disampaikannya dengan personifikasi ”kalender” yang memberi kesadaran manusia akan waktu dan peristiwa yang mesti dijalani.
Sama sekali ia tak menampakkan diri sebagai seorang fatalis, melainkan seseorang yang menyadari keterbatasan sebagai makhluk: Manusia berencana, rencana jua yang menentukan/ Ia akan tetap atau berubah, lurus atau berbelok arah/ tinggal atau pindah, itu bukan urusanmu sebab kamu/ makhluk di luar rencana. Ikuti saja maunya rencana// Itulah pesan kalender pada malam tahun baru sebelum/ ia kamu kasih ucapan terima kasih, kamu gulung, kamu/ lupakan, dan kamu ganti dengan kalender baru//.
Dengan bahasa sederhana, ia menyusupkan pesan tentang cahaya keilahian dan kesadaran manusia sebagai makhluk, yang mesti menjalani segala hal yang telah ditentukan Sang Pencipta.
Sebagai penyair, Joko Pinurbo menciptakan renungan berbeda tentang kegagapan nasib manusia papa dalam bergulat memperjuangkan rezeki saat pergantian tahun baru. Ia memandang pergantian tahun baru sebagai sebuah renungan akan sejarah kehidupan yang bisu, yang tak menemukan katup pembebas bagi kenestapaan hidup.
Baca juga: Tahun Baru, Puisi Itu, dan Makna Waktu
Kehidupan manusia sering kali dihadapkan pada ketiadaan harapan. Terjadilah alienasi di tengah masyarakat. Dalam perjalanan waktu, manusia tak punya kekuasaan untuk membebaskan diri dari takdir. Kadang manusia menyerah dalam sebuah rencana Sang Pencipta. Akan tetapi, penyair masih bisa menarasikan kepedihan hidup secara satire, kebahagiaan dalam kepura-puraan.
Sungguh memikat puisi Joko Pinurbo yang menempatkan manusia dalam kesadaran kemanusiaannya. Ia mengekspresikan para korban budaya kapitalis.
Dalam puisinya, Joko Pinurbo menarasikan segala pembebasan kedok kepalsuan budaya itu dengan ketenangan batin. Puisi-puisinya mewakili kegagapan nasib manusia, rakyat jelata dengan perjalanan hidup yang menahan kegetiran. Ia menyusupkan sugesti pada pembacanya untuk terbebas dari tirani budaya industri.
S Prasetyo Utomo, Sastrawan, Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Semarang (Unnes)