Tahun Baru, Puisi Itu, dan Makna Waktu
Ada sebuah lingkup kesunyian yang secara perlahan dibangun untuk menggugah kesadaran diri. Perpaduan antara keberserahan dan kemauan seseorang dalam memaknai kehidupan.
Momen Tahun Baru selalu membawa kita pada refleksi masa lalu dan pembayangan masa depan. Kita mengingat apa yang telah lewat, resolusi yang belum tercapai, sembari kembali meminta harap dan menyusun rencana yang (dianggap) lebih baik. Tahun baru menjadi semacam epistemologi tentang dunia baru.
Pada saat yang sama, kerap sambil berdebar kita tersadar bahwa waktu ternyata terus berputar, tiba-tiba terasa begitu cepat sementara ternyata banyak hal yang belum selesai.
Pada hari-hari terakhir di bulan Desember, kita jadi kerap memperkarakan waktu. Kita jadi beroleh kesadaran bahwa hidup ternyata berulang: sejak memasang kalender baru awal tahun hingga berakhir di akhir tahun. Ia seperti lingkaran, berputar, begitu seterusnya.
Kerap sambil berdebar kita tersadar bahwa waktu ternyata terus berputar, tiba-tiba terasa begitu cepat sementara ternyata banyak hal yang belum selesai.
Kita pun mengulang hidup, mendapati diri bangun pada suatu pagi di akhir tahun 2023, menghirup udara Desember yang sama, melihat gerimis akhir tahun yang sama, dan mengingat kembali liris puisi yang legendaris itu:
Yang fana adalah waktu. Kita Abadi:
Memungut detik demi detik, merangkainya
seperti bunga sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
…
Puisi berjudul ”Yang Fana adalah Waktu” karya Sapardi Djoko Damono itu pas menggambarkan pergantian tahun, di mana kita sedang menyadari alur waktu. Seturut Amini (2003) puisi itu terasa sederhana dalam kata, tetapi menghujam dalam rasa.
Kata-katanya seperti cahaya yang melintas, menyusun bahasa yang berkelindan menciptakan suasana, lalu menelusup menjadi imaji yang mencipta dunianya sendiri. Kehadirannya halus, tersamar, dan lindap, tapi seperti bermain, bergerak mengikuti impuls-impuls perasaan yang tak selalu terjelaskan.
Dibaca di waktu-waktu pergantian tahun seperti ini, puisi itu mampu menyajikan momen puitik, menelusup ke setiap celah logika pikiran dan perasaan setiap pribadi, menghidupkan kesadaran yang masih tersisa pada diri kita: memaknai waktu yang berlalu.
Puisi tersebut seperti ruang ambang, berada dalam narasi tarik-menarik antara menjalani rutinitas kehidupan, memberi arti padanya sembari terkadang juga mempertanyakannya; menyadari kenyataan semesta sekaligus memaknai adanya suatu mekanisme putaran waktu dari sesuatu Yang Lebih di luar sana, yang belum (atau tak?) terjangkau oleh nalar.
Seturut Alex R Nainggolan (2022) ada sebuah lingkup kesunyian yang secara perlahan dibangun untuk menggugah kesadaran diri. Perpaduan antara keberserahan dan kemauan seseorang dalam memaknai kehidupan.
Kita diajaknya merenung atas dunia yang hiruk-pikuk (“memungut detik demi detik”), untuk membangun ruang tersendiri (“merangkainya seperti bunga”), untuk menemukan eksistensi kemanusiaan kita sendiri di hadapan kehidupan (“waktu”).
Lewat diksi-diksi yang subtil atas hal-hal kecil terkesan sederhana, puisi itu menghidupkan makna yang luas, bekerja dengan caranya yang ajaib, membentangkan medan atau cakrawala baru. Ia membangun fondasi reflektif atas dinamika kenyataan hidup, sekaligus kaca benggala terhadap batin yang mendamba kebahagiaan sejati (“kita lupa untuk apa”).
Lebih lanjut dikatakan, dengan setiap sintaksis kata yang ada, puisi itu menjadi seperti sebuah gumam, sekaligus doa, meskipun barangkali ia tak pernah berniat menjadi rangkaian kalimat “suci”. Akan tetapi, ketika membacanya, seperti ada gema panjang yang tersisa di rongga kepala. Ada gaung yang kerap kali menjelma tenung, semacam kata-kata yang hinggap. Memaksa untuk terus menafsirkannya, hingga bahkan jauh di luar puisi itu sendiri.
Setiap kali membaca sebuah puisi, pembaca justru menciptakan dunianya sendiri.
Ini karena membaca puisi adalah mempersepsi makna yang terkandung di dalam kata. Tak heran, setiap kali membaca sebuah puisi, pembaca justru menciptakan dunianya sendiri. Dunia yang dibangun dari pusaran kata-kata itu sendiri, dengan ragam tafsir yang tak pernah selesai, tentunya.
Ruang antara
Seperti dikatakan Robert Frost (dalam Handry TM, 2022), puisi tidak hanya kata-kata yang berpilin lidah. Poetry is when an emotion has found its thought and the thought has found words.
Puisi bisa membebaskan diri dari bunyi, tak harus terucap. Ia kadang hanya dibaca dalam sunyi dan diam. Dan kita tahu, kesunyian dan diam adalah puncak dari kesempurnaan makna.
Membaca puisi Sapardi bagai sebuah perjalanan, yang dalam tradisi pemaknaan atas waktu (kala) dalam budaya kita, ia berkisah tentang ”moksa” (Setiawan, 2020). Ia menjadi peristiwa batiniah, menjadi jalan lain untuk mencapai kemanunggalan diri dengan Dzat Hidup Penguasa Waktu, bernama ”kesejatian”.
Puisi itu seperti mengingatkan kita pada sangkan paraning dumadi, semacam jalan menuju ke asal muasal dari hidup dan ke mana tujuan dari hidup ini mengarah. Antara nuansa bahasa, imaji simbolik, dan semesta makna, ia seperti membangun ruang di antara manunggaling kawula-Gusti.
Karena, seturut Masduri (2014), manusia hidup pada sebuah ruang dan waktu. Pemaknaan terhadap hidup selalu didasarkan pada ruang sebagai tempat manusia dalam berproses mencari eksistensi dirinya sebagai manifesitasi dari kesadaran tentang waktu.
Adapun waktu adalah sebuah masa tak terbatas, yang di dalamnya manusia berproses mendialogkan kesadaran diri dengan ruang tempatnya berada. Di dalam keduanya manusia hidup dan menggerakkan segenap harapan sebagai wujud dari kesadaran dirinya tentang hidup.
Waktu adalah sebuah masa tak terbatas, yang di dalamnya manusia berproses mendialogkan kesadaran diri dengan ruang tempatnya berada.
Maka, lebih lanjut dikatakan, selain menggerakkan kesadaran eksistensial manusia pada tahun baru, kita perlu menggerakkan kesadaran spiritualitas yang membuat manusia mampu membaca makna, nilai dan realitas hidup, yang membuat kita tidak berhenti memperjuangkan hidup.
Dan nilai hidup kesadaran spiritualitas bukan pada hasil, melainkan lebih pada usaha mencapai kesempurnaan hidup. Kesadaran spiritualitas juga mengarahkan manusia pada jalan yang baik dan menghindarkan manusia dari perbuatan yang buruk.
Baca juga: Selebaran Sapardi Mendemo Demokrasi
Tahun baru selalu menjadi hari istimewa dalam segenap perjalanan peradaban manusia. Dalam perhitungan penanggalan mana pun, ia akan tetap diperhitungkan sebagai waktu yang baik untuk menekur dan menata diri, memanjatkan doa dan harapan sekaligus refleksi atas kehidupan (Arcana, 2022).
Puisi itu melampaui doa harapan dan refleksi atas perjalanan hidup yang telah dijalankan. Darinya kita jadi bisa memberi arti bahwa kualitas orang yang memiliki kesadaran transendental tidak hanya pada eksistensinya, tapi pada segenap usaha pemaknaannya atas hidup.
…
Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu. Kita abadi.
Purnawan Andra, Bekerja di Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud-Ristek