Sains dan Kebudayaan
Untuk bisa mempertahankan nilai yang diluhurkan, budaya yang progresif, perlu mengambil sains sebagai pendamping.
Persepsi manusia akan dirinya, akan kehidupan, dan akan segala sesuatu yang memengaruhi hidupnya, menentukan cara pandang, perilaku, dan sikapnya.
Disadari atau tidak, ketiga hal tersebut, jika terjaga dengan konsisten dalam sistem kendali internal ataupun eksternal, akan membentuk tata nilai. Tata nilai yang lalu diterima sebagai norma itu harus selalu dijaga dan dipenuhi demi terpeliharanya eksistensi manusia, dengan segala kebaikan yang diaspirasikan.
Tidak sedikit tata nilai yang dikanonisasikan sehingga berkedudukan sakral. Tentu saja ini semua berproses dengan amat lambat, bisa memakan waktu ratusan, bahkan ribuan, tahun. Kita baru mengindera adanya pergeseran nilai atau perilaku yang irreversible ini setelah beberapa generasi.
Namun, yang kita perhatikan dalam beberapa dekade belakangan ini, banyak aspek kehidupan berubah dengan laju tinggi. Contohnya, kita semua dibuat tergopoh-gopoh menyesuaikan diri dengan kemajuan kecerdasan buatan manusia (AI) yang berpotensi mengancam peran manusia dalam peradaban.
Kita baru mengindera adanya pergeseran nilai atau perilaku yang irreversible ini setelah beberapa generasi.
Sains, pemaju kebudayaan
Agar potensi ini tidak mengejawantah, kita perlu paham duduk perkaranya, mengenali elemen-elemen yang berperan dalam peradaban, dan beradaptasi dengan bijak. Hanya ada dua yang ditinjau kali ini: sains dan budaya; yang sebetulnya kikuk pemisahannya.
Sains adalah akumulasi pengetahuan manusia akan alam, termasuk dirinya, yang senantiasa diuji keabsahannya terhadap fakta. Kemajuan teknologi dan pengetahuan manusia mendorong kualitas fakta dari hasil pengamatan untuk semakin dapat dipercaya.
Akibatnya, sains senantiasa berstatus tentatif, batas validitasnya selalu dipertanyakan.
Ini menjadikannya sebagai salah satu produk manusia yang dinamis: senantiasa sedang dikonstruksi, senantiasa terperiksakan. Artinya, untuk suatu saat, hanya pengetahuan sains terbaik yang didiseminasi. Domain kerjanya yang luas termotivasi spirit bahwasannya pengetahuan tentang alam mestinya universal. Bahwa sains adalah elemen penting pemaju peradaban tidaklah perlu dimungkiri.
Hampir setiap sudut kehidupan memanfaatkan sains, atau wujud praktisnya yang paling tampak, yakni teknologi. Padahal, wujud tidak praktis sainslah yang justru mampu menembus ranah yang secara konvensional bukan ranah monopoli sains, yakni akal budi.
Ilustrasi/Supriyanto
Orang yang memiliki pola pikir ilmiah sanggup membaca dan menganalisis kondisi dan situasi, memetakannya secara kontekstual, lalu mengambil keputusan, untuk konsekuensi yang segera, ataupun jangka panjang dan luas.
Semua dengan mengerahkan kemampuan rasional tinggi dan welas asih halus. Ia sadar keputusannya mungkin tidak hanya berdampak pada dirinya, tetapi juga pada lingkungannya dan masa depan orang lain. Ilustrasi yang paling gamblang adalah bagaimana masyarakat kita berlalu lintas.
Memahami hukum kekekalan energi dan momentum total membantu pengendara menjaga jarak aman, tidak memotong lintasan kendaraan lain, memutuskan kapan dan bagaimana menyalip kendaraan di depan.
Banyak orang mengatakan bahwa untuk hal sesederhana itu, tidak perlu sains, hanya perlu intuisi. Namun, intuisi dibangun atas pengalaman dalam sadar (mindful), termasuk pengalaman bernalar.
Keputusan kita untuk makan apa dapat berdampak jauh hingga soal ketahanan pangan nasional. Pertimbangan kita untuk bepergian dan memilih cara bertransportasi berpengaruh pada kebaikan kualitas udara kita dan sebagainya.
Ini semua karena kita bagian dari masyarakat lokal yang berjejaring dengan masyarakat dunia, dan ada dampak dari populasi yang terus tumbuh.
Banyak orang mengatakan bahwa untuk hal sesederhana itu, tidak perlu sains, hanya perlu intuisi.
Budaya, di lain pihak, mencakup persepsi manusia akan dirinya dan lingkungannya, dan responsnya terhadap persepsi tersebut dalam berbagai pengejawantahan yang bersifat komunal dan bertahan lama. Budaya secara utuh tidak dengan sengaja dibentuk. Yang dibentuk dan dihaluskan adalah elemen-elemennya, dengan motivasi dan outcome amat spesifik, dan bisa amat personal.
Dengan demikian, budaya suatu saat adalah integrasi atas semua elemen kemajuan dalam konteks budaya yang setiap individu atau kelompok pilih. Seseorang boleh memilih berbudaya tertentu, dan orang lain memilih yang berbeda. Akibatnya, budaya, cepat atau lambat, senantiasa transformasional.
Di lain pihak, kita tak bisa banyak memilih versi dan komponen sains mana yang mau kita percaya benar. Sains universal, budaya tidak. Itu sebabnya, budaya rentan konflik, tidak saja antara budaya satu lokasi dan lokasi lain, tapi bahkan dari satu akar budaya pada tempo yang berbeda bisa memunculkan konflik. Ini kita kenal sebagai konflik intergenerasi.
Manusia, dengan segala kesamaannya, ternyata memerlukan identitas yang tak tertukar dengan yang lain, yakni jati diri. Realitasnya adalah kita hidup bersama. Namun, alasan yang samalah yang membuat budaya tumbuh beraneka ragam dan indah. Budaya mengenali keberagaman dan perubahan, dan di sana-sini mengakuinya, lalu memilih mendirikan pagar, atau merobohkannya.
Menjaga keseimbangan
Bangsa Indonesia menyadari itu, sedemikian dalam geraknya budaya memastikan semua ikut, tak ada yang tertinggal, dengan menyediakan diri sebagai ruang-waktu bersama yang dinamikanya makin kompleks.
Dalam hal hubungan dengan alam, persepsi dan respons manusia yang konsisten bekerja baik, kita kenal sebagai kearifan lokal atau pengetahuan tradisional. Disebut lokal karena konteks dan keberlakuannya dalam cakupan lokal.
Pengetahuan tradisional berasal dari pengamatan ajek dan panjang atas korelasi antara fitur di langit dan fitur di permukaan Bumi yang menghasilkan pengetahuan tentang waktu, musim, dan karakter makhluk hidup yang menyesuaikan. Sudah ribuan tahun korelasi ini dimanfaatkan untuk dapat memprediksi, yakni kemampuan manusia yang membuat peradaban dapat maju.
Kemampuan ini disandingkan dengan keinginan selalu menyeimbangkan antara karakter alam dan kebutuhan hidup manusia, menjadikan peradaban manusia tak hanya maju, tetapi juga bertahan lama.
Pengetahuan tradisional berprinsip pada penjagaan keseimbangan. Wujudnya, respek terhadap eksistensi dan relasi, termasuk keanekaragaman; respek terhadap waktu: perubahan fitur siklik seperti relasi fase bulan dan pasang surut air laut, relasi posisi matahari, musim, dan panen, masa pemulihan area pertanian pascapanen.
Kebutuhan manusia terus meningkat karena pertambahan populasi, dan karena cara manusia hidup dan berinteraksi yang menyebabkan diversifikasi pada kebutuhan.
Selain itu, respek terhadap tataran kehidupan seperti rantai makanan. Pemenuhan kebutuhan manusia mengikuti semua ini dan telah inheren dalam budaya.
Teknologi telah berhasil membuat manusia merasa dapat menaklukkan alam hingga batas-batas yang terus didorong; membengkokkan alam sesuai keinginan manusia.
Yang manusia lalai untuk ingat adalah ia tetap makhluk hidup yang kebutuhan primernya disediakan oleh alam, sementara alam terbatas dalam menyediakan sumber hidup.
Kebutuhan manusia terus meningkat karena pertambahan populasi, dan karena cara manusia hidup dan berinteraksi yang menyebabkan diversifikasi pada kebutuhan. Prinsip konsumsi ekonomis dan berkelanjutan, ”makan hasil bumi lokal dan sesuai musim”, sudah tidak banyak diikuti. Aturan manusia perlu mengindahkan aturan alam jika tidak ingin alam menghantam balik.
Sains dan kearifan lokal
Yang membedakan kearifan lokal dari sains adalah pada deskripsi relasi kausalnya dan batas keberlakuannya. Perbedaannya bukanlah pada kemampuan prediksinya secara garis besar karena keduanya bermula dari pengetahuan empiris berdasarkan pengamatan yang konsisten dalam jangka waktu yang amat panjang.
Ilustrasi/Heryunanto
Ada cukup banyak kearifan lokal yang menjadi bagian sains modern karena dorongan pencaritahuan relasi kausal yang fisis. Namun, tak bisa dikesampingkan adanya kearifan lokal yang mengusulkan relasi spiritual sebagai kausa.
Manifestasinya adalah diselenggarakannya berbagai ritual sebagai bentuk respek pada alam dan pengharapan akan kemurahan alam untuk senantiasa memberikan yang baik pada manusia. Memang sungguh alam terlalu overpowering dibandingkan dengan manusia.
Dinamika alami dengan amat perlahan mengubah fitur permukaan Bumi. Semesta sebagai ekosistem maharaksasa yang kompleks dan dinamis selalu berubah: jangka pendek, jangka panjang; siklik dan irreversible.
Sains modern mempelajari relasi kausal mekanisme yang menyebabkan perubahan; termasuk korelasi yang dibangun dalam pengetahuan tradisional. Namun, perilaku eksploitatif manusia yang akumulatif setelah ribuan tahun, terutama seabad terkini, merusak permukaan Bumi.
Manusia mengabaikan keseimbangan, mengubah tatanan alami dengan teknologi, dan mengabaikan waktu pemulihan alami yang panjang.
Manusia mengabaikan keseimbangan, mengubah tatanan alami dengan teknologi, dan mengabaikan waktu pemulihan alami yang panjang. Banyak orang menamai lapisan teratas Bumi sekarang anthropocene: lapisan yang fiturnya banyak disebabkan oleh manusia.
Sistem belajar tradisional sulit mengikuti laju perubahan modern. Kearifan lokal jadi kearifan lokal sekaligus temporal. Jelas pengetahuan tradisional atau kearifan lokal tetap diperlukan karena spiritnya adalah penjagaan keseimbangan dan peluhuran eksistensi.
Namun, agar senantiasa relevan dan kontekstual, kerja sama dengan sains modern diperlukan untuk menginikan narasi kausal dan mengusahakan solusi bersama atas tantangan modern, sekaligus untuk menjelaskan dampak sistem lokal pada sistem global dan sebaliknya.
Budaya adalah modal sosial jika dikelola dengan baik karena budayalah yang merangkul keanekaragaman yang menjadikan suatu sistem besar dan kompleks bisa resilien.
Namun, budaya juga bisa menjadi penyebab kelembaman yang menahan laju pemajuan peradaban. Lagi-lagi masalahnya bukan pada budaya secara keseluruhan, melainkan pada adanya konflik di antara berbagai gagasan yang ada dan di antara berbagai praktik yang merupakan elemen-elemen peradaban dan elemen budaya.
Untuk bisa mempertahankan nilai yang diluhurkan, budaya yang progresif, perlu mengambil sains sebagai pendamping. Pertama, karena sains berdasarkan fakta dan logika rasional, dan kedua karena sains universal dan tak berpihak.
Kemampuan sains untuk memprediksi adalah kendaraan yang membawa peradaban maju. Selain itu, fakta tidak bisa dimungkiri. Tradisi yang sulit menerima fakta dan akal sehat akan tergilas. Mungkin sekeras survival of the fittest, di mana yang paling fit adalah yang rasional, siap, dan akal budinya senantiasa sadar penuh untuk menjaga keseimbangan.
Oleh karena itu, sains perlu menjadi salah satu elemen pemaju kebudayaan. Untuk suatu bangsa, budayalah menyetir dan mendorong karena budaya yang tahu nilai apa yang ingin dijaga dan bangsa seperti apa yang ia aspirasikan.
Baca juga: Keindahan, Seni, dan Sains
Premana W Premadi, Kosmolog