Geo-ekonomi dan Revitalisasi Kepemimpinan Indonesia
Dalam mengarungi dinamika global saat ini, Indonesia harus memanfaatkan geoekonomi untuk kepentingan nasionalnya.
Tahun 2023 menandai babak baru bagi Indonesia dalam peranannya di panggung regional, khususnya sebagai ketua ASEAN. Pengalaman sejarah menunjukkan, setiap kali Indonesia mengambil alih kendali keketuaan, ASEAN mengalami transformasi yang signifikan.
Mulai dari evolusi pada tahun 2003 yang mengubah ASEAN menjadi komunitas yang lebih terpadu hingga penguatan posisinya di kancah global pada tahun 2013, Indonesia telah menorehkan jejak perubahan yang fundamental.
Namun, di tahun ini, meskipun Indonesia dikenal sebagai agen perubahan, tantangan yang dihadapi tampaknya membuatnya kesulitan untuk memberikan transformasi dan arahan baru bagi ASEAN seperti masa-masa sebelumnya.
Tantangan di ASEAN
Kepemimpinan Indonesia saat ini diwarnai oleh tantangan yang rumit. Tantangan pertama adalah konflik di Myanmar. Pendekatan Indonesia melalui Konsensus 5 Poin ASEAN, yang dicetuskan pada April 2021, belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Meskipun telah dilakukan lebih dari 180 pertemuan dengan berbagai pihak di Myanmar, masih ada keraguan yang mengemuka, dengan pandangan bahwa ASEAN lebih banyak berbicara daripada bertindak. Konsensus yang bertujuan untuk mengatasi krisis di Myanmar—termasuk menghentikan kekerasan dan memfasilitasi dialog antarpihak—itu tampaknya belum mampu menghasilkan kemajuan yang konkret.
Pengalaman sejarah menunjukkan, setiap kali Indonesia mengambil alih kendali keketuaan, ASEAN mengalami transformasi yang signifikan.
Tantangan lainnya adalah mengenai sentralitas ASEAN yang makin terkikis. Di tengah dukungan verbal dari negara-negara besar, realitas di lapangan justru menunjukkan tren yang berbeda, yakni kecenderungan menuju minilateralisme. Fenomena ini makin memolarisasi dan membuat kawasan Asia menjadi eksklusif.
Sebagai contoh, inisiatif AUKUS yang melibatkan Australia, Inggris, dan Amerika Serikat merupakan pakta keamanan yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dalam teknologi pertahanan canggih, termasuk pengembangan kapal selam bertenaga nuklir.
Inisiatif yang banyak dilihat sebagai upaya untuk menyeimbangkan pengaruh China di kawasan juga menimbulkan kekhawatiran serius tentang proliferasi nuklir dan stabilitas regional.
Di sisi ekonomi, tantangan terhadap sentralitas ASEAN tak kalah kompleks. Terjadi polarisasi yang signifikan dengan AS gencar mempromosikan Indo-Pacific Economic Framework (IPEF), yang tampaknya menjadi counterbalance terhadap dominasi ekonomi China.
Ilustrasi
Dalam upaya mempertahankan sentralitas ASEAN, Indonesia dengan gigih mendorong ASEAN-Outlook on Indo-Pacific (AOIP). Namun, tantangan terbesar yang dihadapi adalah dalam hal penguatan strategis AOIP, agar tidak hanya diakui secara retorika oleh negara-negara besar, tetapi juga secara substantif terlibat dalam agenda setting yang diinisiasi oleh ASEAN. Sayangnya, implementasi AOIP saat ini masih menunjukkan keterbatasan, terutama dalam cakupan dan dampaknya.
AOIP, yang seharusnya menjadi instrumen strategis, kerap kali terjebak dalam peranannya sebagai forum koordinasi proyek-proyek infrastruktur yang sudah ada. Fokusnya yang terbatas pada pencocokan antarberbagai proyek kerja sama infrastruktur membuat AOIP kurang efektif sebagai inisiatif yang proaktif dan inovatif.
Dibandingkan dengan inisiatif lain, seperti Belt and Road Initiative (BRI) China dan Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) Amerika Serikat, AOIP tampak tertinggal. BRI dan IPEF menawarkan pendekatan yang lebih komprehensif dan terstruktur, tak hanya dalam membangun pengaruh ekonomi, tetapi juga di aspek geopolitik di kawasan.
Aspek geoekonomi
Untuk mengembalikan posisi sentral ASEAN, Indonesia harus memfokuskan diri pada konsep penting tetapi sering dilupakan dalam lingkaran kebijakan luar negeri, geoekonomi (geoeconomics). Konsep yang merupakan perpaduan antara geopolitik dan ekonomi ini sering luput dari pengembangan yang koheren dalam kebijakan luar negeri Indonesia.
Konsep yang merupakan perpaduan antara geopolitik dan ekonomi ini sering luput dari pengembangan yang koheren dalam kebijakan luar negeri Indonesia.
Blackwill dan Harris (2016) mendefinisikan geoeconomics sebagai pemahaman tentang bagaimana tindakan ekonomi negara lain dapat memengaruhi tujuan geopolitik suatu negara, serta pentingnya mempertahankan kepentingan nasional. Konsep ini tak hanya mencakup strategi ofensif dalam mengejar tujuan ekonomi, tetapi juga pertahanan dan reaksi terhadap dinamika ekonomi global, serta mempertimbangkan dampaknya pada kebijakan domestik.
Dalam konteks ini, geoeconomics memberikan kemampuan untuk melihat isu ekonomi dalam konteks yang lebih besar, jangka panjang, dan strategis.
Sebagai contoh, Australia dengan surplus perdagangan 63,2 miliar dollar AS dengan China pada 2022 telah memainkan geoeconomics dengan memanfaatkan ekonomi China sambil mengurangi aspek lain yang dianggap merugikan keamanannya. Sementara itu, Indonesia, yang baru mencatat surplus dengan China sebesar 6,36 miliar dollar AS, tak perlu terlalu berambisi dalam mendekati China. Sebaliknya, Indonesia harus merumuskan strategi geoekonomi yang lebih matang dan terintegrasi.
Geoeconomics harus jadi fokus utama dalam strategi kebijakan luar negeri Indonesia. Kebijakan ekonomi harus dirancang tak hanya untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk memperkuat posisi geopolitik Indonesia. Dalam menghadapi dominasi ekonomi global, penting bagi Indonesia mendiversifikasi mitra dagang dan investasi, serta menggunakan diplomasi ekonomi untuk memajukan kepentingan nasional.
Ilustrasi
Investasi dalam infrastruktur strategis dan peningkatan kapasitas domestik melalui pendidikan, inovasi, dan pengembangan sumber daya manusia adalah kunci untuk memperkuat posisi geoekonomi Indonesia. Memperkuat kerja sama ekonomi di kawasan ASEAN dan Asia Pasifik akan membantu Indonesia dan negara-negara tetangga dalam menghadapi tekanan ekonomi dan geopolitik dari kekuatan besar.
Dengan mengadopsi pendekatan ini, Indonesia tidak hanya akan memperkuat posisinya di kawasan, tetapi juga akan berkontribusi secara signifikan terhadap pembentukan arsitektur regional yang lebih stabil dan harmonis.
Ini kesempatan bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinan yang visioner dan memastikan bahwa ASEAN tetap relevan dan berpengaruh di tengah persaingan global yang makin ketat.
Panggung global
Di panggung global, keberhasilan kepemimpinan Indonesia tak semata-mata terukur dari suksesnya pelaksanaan dan keterlibatan dalam pertemuan puncak global atau negosiasi kerja sama multilateral. Ferrel dan Newman (2019) mengingatkan kita, interdependensi dapat dijadikan sebagai senjata. Lembaga-lembaga internasional yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi pasar dan mengurangi biaya transaksi juga dapat berfungsi sebagai alat kontrol dan digunakan untuk tujuan koersif.
Dalam mengarungi dinamika global saat ini, Indonesia harus memanfaatkan geoekonomi untuk kepentingan nasionalnya.
Misalnya, dalam konteks perdagangan bebas, Indonesia harus mengembangkan kebijakan yang lebih menitikberatkan pada kepentingan negara berkembang daripada sekadar fokus pada liberalisasi pasar semata.
Hal ini penting mengingat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ke depan akan menjadi pusat perselisihan kebijakan iklim negara maju dan berkembang seperti perdebatan terkait subsidi yang diperbolehkan dan keluhan tentang tindakan diskriminatif atau proteksionis yang diambil atas nama mitigasi perubahan iklim.
Hal ini terlihat dari langkah Uni Eropa pada April 2023 yang melarang impor komoditas yang terkait dengan deforestasi, termasuk minyak sawit, di mana Indonesia produsen terbesar di dunia. Penggunaan proteksionisme oleh negara maju ini terjadi karena aturan WTO tak memberi kejelasan yang cukup tentang subsidi mana yang diperbolehkan, terutama dalam konteks perubahan iklim.
Dalam konteks mitigasi perubahan iklim, peran aktif Indonesia tidak hanya berhenti pada komitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030 dan berpartisipasi dalam mendapatkan pendanaan internasional.
Ilustrasi
Namun, Indonesia juga harus merumuskan kebijakan dalam negosiasi turunan dari isu perubahan iklim seperti pembuatan taksonomi investasi hijau yang mengatur akses ke pendanaan iklim, standar produk berkelanjutan, prosedur sertifikasi, dan metodologi untuk menghitung jejak CO2. Aturan-aturan ini umumnya dinegosiasikan negara-negara besar, sementara negara lain hanya diminta mencari cara beradaptasi.
Dalam mengarungi dinamika global saat ini, Indonesia harus memanfaatkan geoekonomi untuk kepentingan nasionalnya. Kebijakan luar negeri yang efektif tak hanya bergantung pada diplomasi tradisional, tetapi juga pada pemanfaatan ekonomi sebagai instrumen strategis.
Saatnya Indonesia melihat lebih jauh dari sekadar pertumbuhan ekonomi dan pencarian akan investasi; mengintegrasikan aspek ekonomi ke dalam strategi diplomasi yang lebih luas dan berorientasi pada kepentingan jangka panjang.
Pendekatan ini juga akan memastikan bahwa Indonesia tidak hanya bereaksi terhadap norma dan kebijakan yang dibuat oleh negara-negara besar, tetapi juga aktif dalam menciptakan dan membentuk norma yang mendukung visi dan aspirasi globalnya.
Dengan demikian, Indonesia dapat memastikan bahwa kebijakan dan norma internasional lebih mencerminkan keadilan, kesetaraan, dan keberlanjutan, yang pada akhirnya akan membawa manfaat bagi Indonesia dan komunitas internasional secara keseluruhan.
Baca juga : Geoekonomi, Geopolitik, dan Transformasi Ekonomi Indonesia
Baca juga : Indonesia Berupaya Seimbangkan Pendekatan ke Setiap Blok Geoekonomi
Moch Faisal KarimDosen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Islam Internasional Indonesia