Kita perlu melakukan refleksi budaya untuk menemukan akar masalah krisis kepercayaan publik yang multidimensi.
Oleh
TAMRIN AMAL TOMAGOLA
·3 menit baca
Belakangan ini kita menyaksikan kian meluasnya krisis kepercayaan publik terhadap wibawa lembaga-lembaga tinggi negara, khususnya Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan DPR.
Krisis kepercayaan moral publik ini juga merembet dan marak dalam ranah kehidupan keseharian warga masyarakat.
Bentuknya berupa perundungan di lingkungan lembaga-lembaga pendidikan, intoleransi antarumat dan interumat beragama, pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan lembaga-lembaga pendidikan, absennya keadaban publik dalam antrean pelayanan publik, serta maraknya praktik terabas tanpa peduli pada proses yang sepatutnya dalam mencapai suatu tujuan.
Akar masalah krisis
Baik sebagai warga negara-bangsa maupun sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab dan peduli pada masa depan generasi mendatang, kita perlu melakukan refleksi budaya yang bening-mendalam untuk menemukan akar masalah krisis kepercayaan publik yang multidimensi.
Konsentrasi penumpukan aset-aset dan akses ke aset-aset (ekonomi, politik, sosial, dan budaya) telah membungkam nyaris semua tawaran kritis pemikiran alternatif.
Dari sini kita bisa menawarkan berbagai upaya solusi, baik pada tingkat struktural ekonomi-politik, tingkat kelembagaan sosialisasi formal maupun informal, tingkat lingkungan kehidupan komunitas (agama, suku, dan adat), tingkat lingkup penegakan hukum, maupun tingkat kewargaan publik untuk menanamkan dan memperkuat kompetensi kewargaan (civic competence).
Krisis kepercayaan ini berpotensi melumpuhkan bangunan kehidupan bersama kita, baik dalam ranah negara-bangsa maupun di ranah masyarakat.
Apabila disimpulkan secara padat, akar masalah krisis kepercayaan publik yang menggerus fondasi legitimasi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) saat ini adalah menumpuk dan terkonsentrasinya kekuasaan (politik, ekonomi, sosial, dan budaya) di genggaman sejumlah kecil pihak-pihak.
Konsentrasi penumpukan aset-aset dan akses ke aset-aset (ekonomi, politik, sosial, dan budaya) telah membungkam hampir semua tawaran kritis pemikiran alternatif. Hal ini terjadi baik di ranah keseharian maupun di ranah politik dan ekonomi pemerintahan negara.
Heryunanto
Hulu akar masalah secara sistemik berawal dari: (1) sistem kabinet presidensial yang executive heavy yang memberikan karpet merah pada sepak terjang leluasa dari eksekutif; (2) mandulnya kekuatan oposisi yang berbobot di parlemen karena kuatnya kartel partai-partai politik pendukung pemerintah; (3) terkooptasinya hampir semua parpol besar ke dalam kabinet Jokowi periode kedua.
Dominannya peranan Presiden Jokowi bersama kartel parpolnya di DPR telah memungkinkan diloloskannya berbagai RUU tanpa tantangan berarti dan tanpa konsultasi publik yang memadai. Pemaksaan kehendak dan intoleransi seakan jadi hal lumrah di era new normality pemerintahan Jokowi. Yang memprihatinkan, otoritas justru memperagakan teladan tercela secara berjemaah.
Solusi
Dalam krisis kepercayaan multidimensi saat ini diperlukan suatu solusi radikal sistemik yang operasional pada tiga tataran.
Pertama, pada tataran struktural politik-ekonomi dalam serangkaian langkah sebagai berikut, yakni (1) peninjauan kembali sistem pemerintahan presidensial; (2) penghadiran dan pengokohan oposisi elektoral yang berbobot di parlemen untuk mencegah kartelisasi partai politik; (3) peninjauan kembali ketentuan presidential threshold; (4) penegakan demokrasi internal dalam setiap parpol.
Dalam krisis kepercayaan multidimensi saat ini diperlukan suatu solusi radikal sistemik yang operasional pada tiga tataran.
Selain itu, (5) penetapan perundang-undangan yang mendorong redistribusi aset-aset ekonomi dari para oligark korporasi ke rakyat secara adil; (6) penegakan hukum tanpa tebang pilih; serta (7) pembentukan lembaga pengawas digital independen.
Kedua, pada tataran komunitas: (1) keputusan MK tentang pengakuan dan pengembalian hak ulayat tanah adat perlu segera dijalankan; (2) pembentukan perundang-undangan tata ruang yang mendorong dibangunnya permukiman-permukiman lintas batas (kelas, agama, dan suku/asal daerah) untuk mencegah eksklusivisme berdasarkan apa pun.
Selain itu, (3) perlu pembentukan undang-undang yang mengatur tingkat kebisingan ruang publik.
Ketiga, pada tataran lembaga-lembaga pendidikan perlu ada: (1) ekstensifikasi dan intensifikasi pendampingan anak didik dalam pembangunan karakter, khususnya di usia dini tingkat TK dan SD; (2) perlu dipertimbangkan pendirian institut pendidikan usia dini (early childhood education) untuk mendidik dan mempersiapkan calon-calon guru pendidikan anak usia dini; serta (3) penghidupan kembali konsep Keluarga Sejahtera yang pernah dijalankan BKKBN.