Literasi (Konvensional) Sebelum Literasi Digital
Esensi dari literasi digital terletak pada kata ”literasi” itu, yaitu terkait kemampuan dan karakter setiap individu.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kemenkominfo terus berusaha menggenjot tingkat literasi digital masyarakat. Upaya ini dilakukan dengan cara membangun berbagai infrastuktur pendukung, seperti penyediaan jaringan internet ataupun pelatihan-pelatihan keterampilan digital.
Sebagai ilustrasi, pemerintah telah memasang 52 menara base transceiver station (BTS) di wilayah terpencil di Kabupaten Manggarai Barat pada tahun ini. Tower-tower ini berfungsi untuk menghubungkan perangkat digital ke sistem jaringan sehingga memungkinkan masyarakat yang tinggal di pelosok untuk terkoneksi dengan dunia luar melalui internet.
Selain itu, sejak tahun 2021, Kemenkominfo telah melakukan pelatihan literasi digital kepada lebih dari 10 juta orang. Terkait hal itu, ada tiga aspek yang menjadi tujuan utama dari upaya peningkatan literasi digital di masyarakat, yaitu terciptanya masyarakat digital, pemerintahan digital, serta ekonomi digital yang baik.
Sejak tahun 2021, Kemenkominfo telah melakukan pelatihan literasi digital kepada lebih dari 10 juta orang.
Pada dasarnya, literasi digital yang baik diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan ekonomi masyarakat. Berikutnya, literasi digital diharapkan dapat memberantas kemiskinan melalui kemudahan akses pelayanan sosial yang dijalankan pemerintah.
Hal ini sesuai dengan definisi digital literasi menurut UNESCO, yaitu kemampuan untuk mengakses, mengatur, memahami, mengintegrasi, mengomunikasikan, mengevaluasi, dan membuat informasi secara aman dan tepat melalui teknologi digital untuk menciptakan lapangan kerja, pekerjaan yang layak, serta mendorong kewirausahaan.
Sayangnya, meski terjadi peningkatan angka literasi digital di masyarakat, fakta di lapangan tidak selalu selaras dengan harapan. Fenomena pinjaman daring dan judi daring, misalnya, menunjukkan bahwa penetrasi digital yang semakin tinggi di masyarakat justru menimbulkan kerugian ekonomi yang besar akibat penggunaan yang kurang bijaksana.
Iming-iming mendapatkan uang dengan mudah dan dalam waktu singkat melalui pemanfaatan produk teknologi digital itu justru berakibat pada kerugian materiil dan non-materiil. Kerugian materiil dari adanya pinjaman dan judi daring ini masing-masing ditaksir mencapai Rp 120 triliun dan Rp 350 triliun.
Sementara secara non-materiil, hal ini mengakibatkan banyak persoalan sosial lain, seperti terganggunya kesehatan mental para korban. Alih-alih menjadi peluang dalam peningkatan ekonomi dan kesejahteraan sebagaimana yang diharapkan, penetrasi teknologi digital justru menjadi ancaman bagi masyarakat, bahkan negara secara keseluruhan.
Lalu, mengapa hal-hal demikian dapat terjadi, sementara data menunjukkan terjadi peningkatan tingkat literasi digital dari 3,49 poin (dari 5.00) pada tahun 2021 menjadi 3,54 poin pada 2022?
Budaya digital adalah kemampuan seseorang dalam membaca, memahami, dan memanfaatkan teknologi digital yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Pada dasarnya, terdapat empat pilar dalam literasi digital, yaitu kemampuan digital, keamanan digital, etika digital, dan budaya digital. Dari keempat pilar tersebut, hanya pilar budaya digital yang mengalami penurunan dari 3,90 poin pada tahun 2021 menjadi 3,84 pada tahun 2022. Penting untuk dicatat, budaya digital adalah kemampuan seseorang dalam membaca, memahami, dan memanfaatkan teknologi digital yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Hal ini menjelaskan bahwa secara sosiokultural ada masalah dengan perilaku dan karakter masyarakat secara umum, yang pada akhirnya tecermin di dunia digital. Hal itu diperkuat dengan sejumlah fakta lain, seperti fenomena buzzer, penyebaran berita bohong, ataupun misinformasi yang masih banyak merajalela.
Baca juga: Literasi Digital Sudah Menjadi Kebutuhan
Selain itu, menurut laporan Digital Civility Index yang dilakukan oleh Microsoft, Indonesia menduduki peringkat ke-29 dari 32 negara yang disurvei dilihat dari aspek kesopanan dalam menggunakan teknologi digital atau media sosial, terendah dari semua negara di Asia Tenggara dalam survei tersebut.
Pentingnya literasi (konvensional)
Perilaku atau karakter seseorang tidak dapat diubah dan ditingkatkan kualitasnya hanya melalui pelatihan-pelatihan singkat. Apalagi sekadar pengadaan proyek infrastruktur digital seperti yang dijalankan pemerintah selama ini dalam program-program peningkatan literasi digitalnya.
Sebagaimana menurut psikoanalis Erik Erikson, karakter atau kepribadian seseorang terbentuk melalui proses sosial-budaya yang panjang. Pada akhirnya, hal itu juga dapat termanifestasikan pada perilakunya di dunia digital.
Lalu, apa upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut? Salah satu jawabannya adalah literasi (konvensional), tanpa embel-embel ”digital”.
Secara umum, literasi dapat didefinisikan sebagai suatu cara berpikir, membaca, dan menulis dengan tujuan untuk memahami dan mengungkapkan pikiran ataupun gagasan dalam konteks-konteks tertentu. Penelitian menunjukkan bahwa literasi dapat membentuk identitas dan karakter individu.
Orang dengan tingkat literasi yang tinggi cenderung lebih mudah untuk diedukasi dan dilatih keterampilannya. Mereka secara umum memiliki status ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan individu dengan tingkat literasi yang lebih rendah.
Penelitian menunjukkan bahwa literasi dapat membentuk identitas dan karakter individu. Orang dengan tingkat literasi yang tinggi cenderung lebih mudah untuk diedukasi dan dilatih keterampilannya.
Menariknya, studi yang dilakukan oleh James (2017) menunjukkan bahwa penggunaan teknologi digital justru dapat menurunkan kemampuan literasi seseorang, khususnya terkait kemampuan konseptual dan motorik.
Baca juga: Literasi Bukan Soal "Membaca" dan "Buku"
Menyikapi hal tersebut, beberapa negara maju di Eropa seperti Jerman dan Swedia bahkan mulai membiasakan kembali budaya menulis tangan dan membaca buku cetak bagi siswa sekolah, alih-alih bergantung pada penggunaan teknologi digital. Selain itu, siswa juga diajak aktif bertanya secara langsung kepada guru untuk mengajarkan interaksi antarindividu ataupun kelompok ketimbang mengandalkan mesin pencari seperti Google untuk menemukan jawaban.
Dalam satu kesempatan, Menteri Pendidikan Swedia mengakui bahwa mereka sempat terbuai dengan konsep pengenalan digital sejak dini. Ternyata hal itu justru dirasakan berdampak buruk terhadap kualitas manusia.
Sebagai refleksi, pada konteks persoalan digital di Indonesia saat ini, peran literasi konvensional harus menjadi prioritas. Hal ini disebabkan esensi dari literasi digital terletak pada kata literasi itu, yaitu terkait dengan kemampuan dan karakter setiap individu. Teknologi digital seharusnya dianggap semata-mata sebagai alat penunjang untuk mencapai tujuan manusia, termasuk dalam upaya peningkatan ekonomi.
Beberapa negara maju di Eropa seperti Jerman dan Swedia bahkan mulai membiasakan kembali budaya menulis tangan dan membaca buku cetak bagi siswa sekolah, alih-alih bergantung pada penggunaan teknologi digital.
Pemerintah harus dapat memastikan bahwa perkembangan teknologi digital tidak boleh menguasai dan mengacaukan kondisi seseorang atau masyarakat secara umum seperti yang tergambar pada kasus pinjaman daring dan judi daring. Sebaliknya, pemerintah harus dapat memastikan agar masyarakat terliterasi dengan baik sehingga dapat menggunakan teknologi digital secara bijak.
Dengan kata lain, kebijakan peningkatan literasi digital tidak mungkin berhasil jika hanya bertumpu pada pembangunan infrastruktur fisik dan pelatihan-pelatihan singkat terkait penggunaan teknologi digital. Kebijakan ini harus dibarengi dengan program peningkatan budaya literasi konvensional.
Sebagaimana judul artikel ini, untuk menciptakan masyarakat yang unggul, baik, dan produktif, kita harus menaruh perhatian yang cukup pada peningkatan literasi (konvensional), sebelum literasi digital.
Annadi Muhammad Alkaf, Mahasiswa Magister, University of Twente, Belanda