Kewaspadaan saat menggunakan akses internet terhadap keamanan data pribadi dan kejahatan di dunia maya hingga kini masih minim.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Aktivitas dan informasi di dunia digital semakin meningkat karena didukung tumbuhnya platform media sosial dan memunculkan kecanduan gawai. Masyarakat perlu memiliki kecakapan digital agar dapat memanfaatkan aktivitas di dunia maya secara bijaksana, terutama kewaspadaan terhadap keamanan data pribadi.
”Tiap klik yang kita lakukan di internet, sangat mungkin ada konsekuensi publik. Misal mau like dan comment atau mengetik di mesin pencari, ada konseksuensi buat kita dan orang lain. Untuk penggunaan media sosial sebenarnya ada kebingungan, apakah itu privat atau publik. Di media sosial itu hibrida. Bermedia sosial itu mesti dianggap sebagai ruang publik, maka kita harus paham standar etika ketika bebricara di ruang publik. Mari berpikir dan bernalar sebelum melakukan klik apa pun di internet,” kata Kepala Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik TVRI Agus Sudibyo di acara peluncuran bukunya berjudul Bernalar Sebelum Klik: Panduan Literasi Digital di Jakarta, Senin (18/12/2023).
Agus mengatakan, kecanduan gawai kini jadi masalah banyak orang tanpa disadari, termasuk pada orang dewasa. Kondisi ini seolah membuat kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako) masyarakat kini menjadi sebelas bahan pokok yakni ditambah pulsa/kuota internet dan literasi digital.
Ada problem ketidaksadaran diri (unconsciousness) seperti lupa waktu, konteks, dan kebutuhan jika tidak memegang ponsel. Jemari selalu refleks untuk mengutak-atik tombol ponsel akibat kencanduan gawai.
”Kita tanpa sadar tiap hari menjadi obyek digital surveillance (pengguna internet diawasi oleh perusahaan digital global), data mining, atau profiling. Kalau hari ini Facebook, misalnya, punya pengguna 3,1 miliar orang di dunia, maka Facebook juga menguasai data perilaku. Datanya sangat detail, tidak hanya alamat rumah, tapi data perilaku dari hobi, minat, penyakit, orientasi seksual, orientasi ideologi, dengan siapa berjejaring, hingga tahu kita mau pilih pasangan cawapres nomor berapa. Sistem algoritma mereka lebih tahu siapa diri kita daripada orang dekat kita,” papar Agus.
Agus mengatakan, dengan penguasaan data pribadi yang sedemikian banyak, masyarakat rentan menjadi korban, mulai dari penipuan daring, kejahatan digital, hingga propaganda komputasional. Menjelang pemilu, ada pesan pemilu yang disesuaikan dengan hobi seseorang. Orang yang hobi travelling, misalnya, bisa diberi informasi pilihan kandidat tertentu yang misalnya akan mengurangi pajak tranportasi publik.
”Kita menjadi masyarakat ‘telanjang’ karena seluruh informasi kita diakses oleh tangan yang tidak tampak dan kita bisa jadi obyek pemasaran dan propaganda digital. Karena itu, literasi digital untuk orang awam semakin penting. Buku panduan yang sederhana dibutuhkan agar bisa lebih banyak dibaca orang,” ujar Agus.
Sementara itu, Wakil Menteri Komunikasi dan Informasi Nezar Patria mengatakan konsumsi informasi melalui internet, sekitar tahun 2010 disebut dengan clicktivism atau click monkey, asal dapat informasi langsung sebar. Namun, kini semakin hebat lagi. Aktivitas berbagi infromasi melalui lanskap digital semakin mudah karena pengguna internet yang semakin bertambah. Di Indonesia ada 215 juta orang dari 277 juta penduduk atau sekitar 77 persen populasi menggunakan internet. Tapi telepon selular yang beredar mencapai 370 juta. Selain itu, platform media sosial bertumbuh luar biasa.
Orang makin fanatik sehingga terjadi benturan paling besar. Merasa paling benar karena teknologi. Orang yang tersesat tidak merasa tersesat.
”Aktivitas berbagai informasi di dunia digital ini luar biasa dan membentuk dunia sendiri. Setelah konektivitas dan infrastuktur serta membangun sejumlah data center, pembangunan sumber daya manusia yang cakap digital sama pentingnya. Jika ‘tol langit’ tidak dimanfaatkan dengan positif dan produktif, akan timbul kekacauan,” ujar Nezar.
Kecakapan digital
Nezar mengatakan saat ini semakin penting untuk memasifkan peningkatan kemampuan digital masyarakat. Masyarakat perlu memahami perkembangan dunia digital saat ini, termsuk disinformasi atau misinformasi. Pengguna digital harus memiliki kesadaran akan data. Platform bergerak pada pengumpulan data sehingga pada abad ke-21 data sama berharganya dengan komoditas minyak.
”Kesadaran tentang data yang coba ditekankan di buku ini. Ada satu proses datafikasi yang cukup intens oleh para pengguna teknologi digital. Ada data surveillance atau digital surveillance yang dilakukan pengumpul data karena bernilai. Ini jadi isu dalam penyusunan UU Perlindungan Data Pribadi terkait lanskap dan horizon perkembangan dunia digital saat ini,” ujar Nezar.
Di Kominfo ada program literasi digital yang dalam lima tahun ini telah menjangkau sekitar 22 juta orang. Ada Digital Talent Scholarship yang memberikan beasiswa bagi generasi muda untuk menguasai hal-hal spesifik keterampilan digital seperti data science, cloud, hingga kecerdasan buatan, yang bekerja sama dengan kampus-kampus internasional untuk mendidik talenta digital. Untuk memperkuat ekonomi digital 2030, diproyeksikan, Indonesia butuh 9 juta talenta digital.
Meutya Hafid, Ketua Komisi I DPR, mengatakan, literasi digital menjadi isu strategis untuk mengakselerasi transformasi digital. Komisi I DPR mengawal program literasi digital yang dilakukan pemerintah melalui Kominfo.
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Hendri Subiakto mengatakan, gawai kini menjadi ekstensi, perpanjangan waktu, hidup kita. Hal ini karena semua aktivitas di hidup manusia saat ini tak lepas dari gawai. Namun, ia mengingatkan, perlu disadari dampak dari internet dengan adanya algoritma.
”Banyak orang merasa paling benar karena masuk dalam internet bubble dan echo chamber. Semakin masuk ke sini, orang semakin keras kepala dan paling benar. Akibatnya memunculkan sikap kefanatikan yang paling tinggi. Orang makin fanatik sehingga terjadi benturan paling besar. Merasa paling benar karena teknologi. Orang yang tersesat tidak merasa tersesat karena didekatkan dengan konten yang begitu. Seperti LGBT atau radikalisme yang terus didekatkan dengan konten serupa,” papar Hendri.
Kanaya Sophia, Booktuber dan Bookish Content Creator, mengatakan di media sosial, diskursus tidak dihindari karena ada kebebasan berekspresi dan bicara yang difasilitasi dan dimudahkan dengan internet. Dari sisi sebagai konsumen konten, Sophia mengaku sebisa mungkin tiap kali mendapat informasi dan diskusi di media sosial. Ia berupaya menahan diri dan mencoba berpikir dulu akan di pihak mana dan beropini apa sebelum ikut terjun menanggapi diskusi atau menyebarluaskan informasi yang didapat.
”Sebagai content creator, sebisa mungkin platform di akun aku sudah dipastikan sesuai fakta dan infromasi yang valid. Dengan selalu konfirmasi ke sumber resmi. Kalau ada yang lebih update dan perlu dikoreksi ya, meminta maaf dan mengoreksinya, karena kepercayaan itu penting bagi creator content,” ujar Kanaya.