Covid-19 Kembali, Mengapa Kita Tidak Panik?
Di seluruh dunia, angka kasus Covid-19 terbaru menunjukkan lonjakan kasus hingga 52 persen. Mengapa kita tidak panik?
Dalam antropologi kesehatan, disematkan pesan kuat bahwa ancaman laten bagi kehidupan manusia adalah penyakit. Covid-19 kembali mengusik kehidupan manusia di pengujung 2023 ini. Covid-19 adalah infection control yang uncontrol, yang melahirkan ”gegar budaya” dan ”geger budaya”.
Gegar budaya, sebab seseorang tidak perlu meninggalkan suatu negara dan berpindah ke negara lain dengan segala kebiasaan yang kikuk dan kaku. Gegar budaya atau culture shock dimaknai sebagai proses kekakuan akan kebiasaan baru saat seseorang berpindah habitat. Sederhananya begitu!
Namun, gegar budaya oleh Covid-19 justru terjadi di negeri sendiri, yang memperlihatkan kita merasa sangat asing dengan perubahan budaya secara kilat dan spartan. Tidak perlu pindah kampung, sekolah, atau negara untuk tujuan tertentu.
Itulah salah satu karakter khas Covid-19 yang melemahkan teori Kalervo Oberg (1954). Oberg menulis tentang culture shock yang tak sejalan dengan gegar budaya saat Covid-19 hadir mendunia.
Dalam antropologi kesehatan, disematkan pesan kuat bahwa ancaman laten bagi kehidupan manusia adalah penyakit.
Kemudian, geger budaya. Tumbuh subur misinformasi sehingga hoaks tentang Covid-19 seolah adalah benar dan informasi yang benar tentang Covid-19 seolah hanya hoaks. Ada di antara keduanya, yakni antara hoaks dan fakta ini, memunculkan kebimbangan. Padahal, jika kita salah menerima informasi, nyawalah taruhannya!
Betapa dunia pernah dilukai oleh Covid-19, sedih dan sarat ketidakpastian dengan ciri budaya kesehatannya: skeptis, ambigu, patuh atau melanggar protokol kesehatan, serta sikap fatalistik dan nonfatalistiknya. Ciri ini hak setiap warga negara, atau masyarakat dalam kondisi kepanikan dan krisis pengetahuan atau sulit menentukan sikap.
Akan tetapi, mengapa sekarang ini, kita tidak panik saat Covid-19 kembali lagi? Di seluruh dunia, angka kasus Covid-19 terbaru menunjukkan lonjakan angka kasus hingga 52 persen. Lonjakan juga terjadi di negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Kompas dalam artikel ”Penyakit Menular” (16/12/2023) menuliskan jumlah kasus aktif Covid-19 di Indonesia pada 14 Desember 2023 meningkat hampir 300 kasus dari hari sebelumnya. Peningkatan kasus Covid-19 diperkirakan akan terus berlanjut selama masa libur akhir tahun 2023.
Ilustrasi
Inilah data dan fakta, tetapi realitasnya warga negara jauh dari kesan kepanikan, bukan menjadi tajuk utama, tidak heboh seperti tiga tahun lalu. Mengapa? Padahal, Covid-19 kembali, kita mestinya panik lagi. Nyatanya tidak!
Konsep sehat, sakit, dan penyakit
Pengertian sehat, sakit, dan penyakit sesungguhnya tidak selalu mutlak dan universal karena ada faktor-faktor lain di luar kenyataan klinis yang memengaruhinya, terutama faktor sosial budaya.
Pengertian saling memengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yang lain. Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, praktisi kesehatan masyarakat, dan bidang ilmu pengetahuan lainnya telah mencoba memberikan pengertian tentang konsep sehat, sakit, dan penyakit ditinjau dari disiplin ilmu masing-masing.
Khusus untuk pandangan antropologi, meletakkan masalah sehat, sakit, dan penyakit merupakan proses yang berkaitan dengan adaptasi terhadap lingkungan, baik biologis/ekologi, psikologis, maupun sosial budaya.
Kehadiran kembali Covid-19 sama sekali tak memunculkan kemacetan budaya (culture lag).
Sebelumnya, pandemi Covid-19 secara responsif menghadirkan 845.841 riset Covid-19 di dunia, termasuk Indonesia dengan 4.737 publikasi di pelbagai fokus dan variasi penelitian.
Kehadiran kembali Covid-19 sama sekali tak memunculkan kemacetan budaya (culture lag). Hal ini disebabkan masyarakat telah memiliki pengetahuan meski pengetahuan itu belum bisa dikategorikan turun-temurun karena Covid-19 adalah penyakit baru sehingga segala aktivitas budaya kesehatan juga baru.
Demikian pula, kita memiliki unsur-unsur budaya seperti unsur nilai, kepercayaan, norma, tradisi, dan determinan sosial kesehatan lainnya, tetapi kita cukup mahir menghadapi Covid-19 menurut pengalaman yang lalu. Kita juga telah memiliki persepsi positif mengenai tahapan vaksinasi Covid-19.
Hal-hal ini yang penulis duga menjadi penyebab mengapa pada kenaikan kasus Covid-19 kali ini, kita tak (belum?) panik. Sekarang ini, respons negara cukup jauh dari terminologi lockdown yang dulu ditolak mayoritas masyarakat sebagai bentuk perlawanan terhadap aturan, dengan alasan demi kebutuhan fisiologis, ekonomi, survival, dan ketahanan keluarga.
Dua kutub kontroversi terlihat di sini. Di satu sisi, Covid-19 tidak sepenuhnya diyakini sebagai penyakit berbahaya, sebagai imbas dari pelbagai informasi di media sosial. Sementara di sisi lain, masyarakat dunia tunduk pada protokol kesehatan, vaksinasi, isolasi mandiri, wajib akses Peduli Lindungi, harus rapid test, polymerase chain reaction (PCR), dan lain-lain.
Teori Emily Martin (1998) menyebutkan bahwa sakit dan penyakit adalah konstruksi budaya yang diproduksi oleh masyarakat serta pendukung budaya tersebut sebagai penggambaran penderitaan. Catatan penulis, penggambaran penderitaan itu telah jelas sekali saat pandemi lalu seperti dampak pandemi Covid-19 terhadap stabilitas moneter internasional, termasuk Indonesia, terhentinya budaya ngumpul-ngumpul yang mengakibatkan kita dipaksa untuk antisosial, padahal kita secara ras, etnik, dan genealogi adalah makhluk sosial.
Vaksinasi sosial
Covid-19 dapat disebabkan oleh faktor naturalistik selaku aspek ilmiah, atau kerap disebut sebagai biomedical model. Hidup seperti dikontrol oleh sejumlah proses fisik, biomedik (dapat dipelajari dan dimanipulasi), dan sakit akibat virus, bakteri, jasad renik, dan sebagainya.
Ketidaksiapan tubuh beradaptasi dengan ancaman virus fenomenal ini menyebabkan dibutuhkan rekayasa seperti vaksinasi tubuh.
Ketidaksiapan tubuh beradaptasi dengan ancaman virus fenomenal ini menyebabkan dibutuhkan rekayasa seperti vaksinasi tubuh. Ketidaksiapan tubuh juga bisa karena dinamisnya mutasi gen penyebab virus dengan pelbagai varian- nya. Selain itu, juga karena faktor personalistik yang kerap dinamakan magico-religious model, yakni adanya kekuatan supranatural (dewa, kekuatan gaib, dan lain-lain), dominasi sakit sebagai bentuk hukuman atas pelanggaran.
Selain vaksin kesehatan fisik, kita juga telah banyak belajar sosial melalui pengalaman menjalani masa-masa sulit saat pandemi Covid-19 dengan hal-hal yang berkaitan dengan holistic model, yakni bahwa sehat adalah keseimbangan atau harmoni antara tubuh dan individu, fisik, dan metafisik. Sehat sebagai hasil dari keadaan positif, meliputi lingkungan, sosial budaya, perilaku, dan penyembuhan yang dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan.
Hal ini kerap disebut sebagai vaksinasi perilaku dari pandangan sosial budaya—yakni bahwa dengan belajar sosial budaya yang terarah dan benar, kita dapat meningkatkan imunitas fisik.
Belajar pendekatan
Satu-satunya penyebab penularan wabah Covid-19 atau penyakit menular lainnya adalah kontak antarmanusia, dan ini yang harus diputus. Telah berabad lamanya, setiap muncul wabah, pendekatannya hanya didominasi oleh dua pendekatan, yakni pendekatan medis dan pendekatan ekonomi.
Dengan pandemi Covid-19, kita membutuhkan pendekatan multidisiplin, seperti kesehatan lingkungan, ekonomi, imigrasi, biokultural, sosiologi, psikologi, dan pendekatan religi.
Belajar tentang model pendekatan pencegahan Covid-19 atau penyakit menular lainnya selalu menyisakan kelemahan-kelemahan. Oleh karena itu, diperlukan sejumlah model pendekatan, dan perlu dilakukan proses evaluasi pada pendekatan mana yang cocok, bukan pada pendekatan yang terbaik. Hal ini disebabkan semua pendekatan adalah terbaik, hanya soal cocok atau tidak.
Model-model penyebaran penyakit esensinya adalah membuat kategori-kategori untuk memudahkan ketercapaian dari hasil pendekatan. Kita memerlukan model pendekatan transkultural untuk kepentingan literasi kesehatan sebagai salah satu jawaban atas pertanyaan perihal Covid-19 yang belum selesai.
Memahami tema dan masalah kesehatan masyarakat umumnya berlangsung dari jam ke jam dan sulit diprediksikan (underpredictable), karena ia dinamis sekaligus cair. Butuh kecerdasan untuk mengelolanya agar tak terjadi kecerobohan atau malapraktik intervensi.
Baca juga: Waspadai Penularan Covid-19 bagi Pelaku Perjalanan Luar Negeri
Baca juga: Kasus Covid-19 Mencapai 1.499 Penderita, Naik Hampir 300 Kasus dalam Sehari
Muhammad Arsyad Rahman, Doktor Antropologi Kesehatan dan Dosen Departemen Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar