Akhir tahun tiga tahun lalu masih terbayang jelas di kepala saya. Saat itu warga dunia masih kaget dihantam tahun pertama pandemi. Jalanan lengang, kehidupan berjalan pelan, langit bebas polusi biru cerah dan semua orang menunggu vaksin atau obat.
Sebagian masyarakat aktif berdonasi, baik alat pelindung diri (APD) untuk tenaga kesehatan maupun bahan kebutuhan pokok bagi yang kena PHK. Gal Gadot membuat video bersama artis lainnya menyanyikan lagu perdamaian ”Imagine”. Ramai publik berandai-andai akan dunia yang lebih ramah lingkungan dan terhadap sesama setelah pandemi berlalu. Saya juga berharap demikian. Namun, tampaknya harapan itu terlalu tinggi di awan.
Baru saja pendemi melandai pada 2022, Rusia menyerbu Ukraina. Di antara kecaman pedas ke Rusia, saya kaget bahwa ternyata ada suara mendukung, termasuk dari publik Indonesia.
Saya makin terperangah bahwa alasan pendukung Rusia, terutama di media sosial, adalah karena sejarah Ukraina sebagai bagian dari Kekaisaran Rusia sekian abad dan kemiripan budaya sampai sekarang. Kalau alasannya bagian masa lampau, maka Portugal, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang juga berhak menyerbu Indonesia kapan pun. Belanda sebenarnya memakai alasan itu pada 1947 dan 1949, terlepas Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan sejak 1945. Jika alasannya adalah identitas budaya, Indonesia dan Malaysia tak akan selesai-selesai berebut kuasa karena sederet kerajaan Melayu melingkupi kedua wilayah ini dan meninggalkan warisan budaya yang mirip.
Seorang teman yang sedikit lebih berwawasan ketimbang akun anonim di media sosial melontarkan alternatif alasan, yaitu agar blok Timur bisa mengimbangi blok Barat. Secara umum, saya merasa hegemoni kerap menelurkan kediktatoran dan karenanya lebih menghargai keseimbangan, tetapi menyerbu negara yang sudah menyatakan kemerdekaan adalah pasal yang berbeda. Lagi pula, tindakan Rusia toh tidak terbukti menarik negara pecahan Federasi Soviet berbondong-bondong ”pulang” ke pangkuan Putin—yang ada malah beberapa merapat ke NATO.
Namun, yang menarik adalah cetusan seorang kawan lain, yang mengkritisi simpati orang Indonesia terhadap Ukraina yang tidak selalu disertai simpati terhadap orang Papua atau masyarakat adat. Di mata kawan ini, proses integrasi Irian Jaya dan masyarakat adat ke Republik Indonesia tidak menyentuh merata ke seluruh warganya. Ditambah dengan pembangunan yang tertinggal, makin kompletlah kezaliman Republik terhadap orang Papua dan masyarakat adat di mata sang kawan. ”Mereka hidup dalam dunianya sendiri. Suatu hari mereka dikasih tahu jadi bagian dari sebuah negara baru, eh tapi enggak diurus setelah itu? Mana protesmu?”
Baca juga: Art Week Tokyo 2023: Ekosistem Seni Masyarakat Maju
Saya terdiam, menyadari bahwa di antara peliknya persoalan Papua sekian dekade ini, pertanyaan kawan saya tetap ada benarnya. Keprihatinan, kepedulian, dan cinta kasih harusnya tidak pilih kasih.
Namun, belum saya menemukan jawaban untuk Papua atau meredanya konflik Eropa, meledaklah krisis terbaru Gaza. Sejak 7 Oktober 2023, tak surut foto dan video memilukan yang menunjukkan penderitaan bangsa Palestina. Tiap hari muncul berita seperti dari jurnalis pemenang penghargaan Jonathan Cook, atau kesaksian seperti oleh perawat Emily Callahan dari Medecins Sans Frontiers, tentang parahnya keadaan di lapangan. Namun, Israel, Amerika Serikat, dan barisan sekutu mereka menulikan telinga dan membutakan mata, bahkan pada protes publik di ibu kota-ibu kota mereka. Lebih kecaman terbuka Paus Fransiskus dan resolusi PBB pun diacuhkan, mungkin karena sadar betul keduanya tidak punya kekuatan senjata di belakangnya.
Lupakan argumentasi berdekade, bahkan dari tokoh-tokoh Yahudi sendiri bahwa rakyat Palestina berhak atas negaranya sendiri di tanahnya yang tiap saat makin dikikis oleh pemekaran negara Israel. Lupakan cetusan David Cameron saat masih menjadi PM Inggris bahwa Jalur Gaza sejatinya telah menjadi penjara tak beratap karena blokade Israel dari berbagai arah. Kita fokus saja pada penderitaan Palestina sejak awal Oktober yang terberitakan ke mata dunia.
You know what also died in Gaza? The myth of Western humanity & democracy
Baca juga: Saat Mata Awam Meneropong 2024
Gal Gadot boro-boro menyanyikan lagu perdamaian, ia malah disinyalir menyebarkan undangan nobar film propaganda Israel ke kalangan elite Hollywood. Sementara itu, beberapa figur bisnis hiburan yang berani bersuara menentang kekejaman Israel kehilangan kontrak kerjanya.
RS Indonesia di Gaza, yang dituduh Israel sebagai markas Hamas, sekarang malah dijadikan markas militer Israel sementara rumah sakit lain di Gaza sudah tak ada yang berjalan.
Namun, apa lantas karena kesewenang-wenangan blok Barat soal Palestina membuat penguatan blok Timur via Rusia atau China jadi solusi terbaik? Banyak orang di sekitar saya semakin condong begitu dan saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pilihan bermotif keputusasaan itu. Namun, saya sekadar mau menggambarkan bahwa akhirnya hal itu akan menciptakan diktator semena-mena yang baru dengan daftar kepentingan dan pilih kasih yang baru. Bagaimana kalau Rusia makin merangsek dan menginvasi negara-negara berakhiran-stan yang tadinya bagian Soviet? Bagaimana kalau China akhirnya memutuskan menyerbu Taiwan?
Akhir tahun, selalu dipenuhi pesan perdamaian dan cinta kasih. Namun, tahun ini, terlepas slogan politik dan pesan global sana-sini, terasa betul bagi saya bahwa umat manusia baru mampu pilih-pilih kasih.
Lynda Ibrahim, Konsultan Bisnis dan Penulis