Genderang Pemilu 2024 telah dibunyikan. Satu pasangan kandidat membunyikan duluan, satu pasangan lain agak belakangan, pasangan terakhir menunggu sebuah mahkamah membukakan jalan.
Apakah Pemilu 2024 akan berjalan seperti 2014 dan 2019? Banyak orang, termasuk saya, sungguh-sungguh berdoa pemilu tahun depan tak lagi dimotori politik identitas yang sukses meruyak berbagai sendi kehidupan hampir sedasawarsa belakangan. Cekcok antarkawan, tetangga, bahkan anggota keluarga terjadi karena salah satu pasangan calon terang-terangan mengandalkan politik yang berbasis identitas pribadi, bukan isu kenegaraan yang berarti.
Kalaupun politik identitas tidak dimainkan, mengingat para parpol Indonesia tidak punya ideologi tergaris jelas, terlihat dari bergantinya pasangan setiap putaran atau bahkan bertolak belakangnya parpol pasangan antara pileg dan pilpres, dugaan saya lagi-lagi pilpres akan bersandar pada figur kandidat. Siapa yang lebih memesona pemilih, dialah yang akan menang. Siapa, bukan apa yang ditawarkan.
Sedih? Ya, memang demokrasi kita rasanya baru sampai sini.
Jadi, mari membahas sosok ketiga pasangan calon yang tersedia, sesuai dengan opini awam yang beredar di sekitar saya. Subyektif? Pastinya. Anda bebas untuk beropini berbeda.
Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar bukan nama baru dalam percaturan politik Indonesia. Awalnya dikenal sebagai akademisi, Anies mendulang simpati kaum progresif saat menggelar program Indonesia Mengajar yang memberikan kesempatan bagi anak muda mengajar di berbagai pelosok Indonesia, ditambah filosofi tenun kebangsaan yang terutama ditawarkan saat mengikuti Konvensi Demokrat menjelang Pilpres 2014.
Baca juga: Iming-iming, Racunnya Judi
Simpati ini lumayan menguap pada Pilkada DKI 2016, di mana Anies dinilai tidak cukup tegas meredakan sentimen SARA yang menyerang lawan politiknya, sentimen yang jelas merobek tenun kebangsaan yang pernah begitu nyaring ia dengungkan.
Apabila Anies menjabat sebagai Menteri Pendidikan di era pertama pemerintahan Jokowi, maka Muhaimin Iskandar menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi di era terakhir SBY. Walaupun tidak tampak mesra dengan faksi Gus Dur di Nahdlatul Ulama, Muhaimin dianggap tetap memegang akses ke massa NU tertentu melalui posisinya sebagai Ketua Umum PKB. Awalnya mendukung Prabowo Subianto, PKB bermanuver mendadak beberapa bulan lalu ke kubu Nasdem, parpol utama pengusung Anies.
Akankah Anies-Muhaimin memilih narasi kebangsaan, seperti yang disuarakan NU dan Nasdem selama ini, atau merangkul kembali massa demo 212 yang tampaknya tak pernah bubar itu? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Ganjar Pranowo mulai dikenal publik nasional sejak menjabat Gubernur Jawa Tengah selama dua periode. Namanya makin dikenal, minimal di kalangan pencinta bola, saat pada awal tahun ini mendadak menolak penyelenggaraan Piala Dunia U-23 di Indonesia karena kepesertaan Israel, sesuatu yang ia lakukan sesaat sebelum diusung PDI-P sebagai capres. Dicaci maki saat itu, ia sekarang mungkin mendulang simpati karena aksi Israel dalam krisis Gaza yang sedang memanas.
Sebelum menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan pada era Jokowi saat ini, Mahfud MD sudah dikenal publik sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi lebih dari sedasawarsa pada era SBY dan Menteri Pertahanan pada era Gus Dur. Jarang ragu beropini terbuka di media, Mahfud relatif dikenal publik di tingkat nasional. Ia juga dianggap secara kultur dekat dengan NU, organisasi Muslim terbesar di Indonesia, dan berhubungan baik dengan kalangan santri.
Menarik untuk melihat bagaimana PDI-P, yang lebih dikenal dengan narasi kebangsaan, mungkin melalui Mahfud coba merangkul pemilih yang lebih peduli narasi keagamaan.
Prabowo Subianto sudah lama malang melintang di militer dan kepemerintahan. Sempat lama berumah tangga dengan putri Soeharto, cap Orde Baru melekat cukup erat pada sosoknya, mungkin lebih dari ia dikenal sebagai putra begawan ekonomi Soemitro Djojohadikoesoemo. Pilpres bukan hal baru baginya, diikuti pertama kali sebagai cawapres dari Megawati Soekarnoputri pada 2009, tahun yang akhirnya dimenangi SBY untuk tetap menjadi presiden. Prabowo kembali memasuki gelanggang pada Pilpres 2014 dan 2019, keduanya berhadapan dengan Jokowi, di mana ia lagi-lagi kalah. Bermanuver lincah memasuki koalisi Jokowi era kedua ini ternyata tak meredam keinginannya untuk sekali lagi menjajal panggung nasional, bahkan setelah ulang tahunnya yang ke-72.
Saya pribadi belum menentukan pilihan. Terlepas dari misuh-misuh terhadap pasangan calon tertentu, atau bahkan semuanya, saya terbiasa menentukan pilihan setelah kampanye dan debat resmi pasangan calon dituntaskan.
Mungkin untuk merebut ceruk terbesar kali ini, yaitu pemilih berusia muda, atau menarik pemilih yang kepincut segala sesuatu yang ”berbau” Jokowi, Prabowo menggandeng Gibran Rakabuming Raka hanya beberapa hari setelah MK mengizinkan kandidat di bawah usia 40 tahun maju ke pilpres asal pernah menduduki jabatan yang dipilih rakyat.
Tentu saya tak perlu mengulas bahwa bukan saja Gibran adalah putra presiden yang menjabat, kedudukannya sebagai wali kota baru dua tahun ini pun di kota asal keluarganya, dan bahwasanya Ketua MK menikahi bibinya. Ketiga fakta ini sudah dikuliti di semua media dan dikomentari publik mulai dari acara kuliner, olahraga, mode, hingga seni. Apakah taruhan Prabowo kali ini berbuah manis? Hanya waktu yang akan menjawab, sekali lagi.
Baca juga: Menuju Polarisasi Batik
Di luar berbagai drama, satu hal makin jelas bagi mata awam saya bahwa kali ini garis demarkasi antar-pasangan calon tidak terlalu lugas. Irisan citra pribadi pasangan calon dan demografi pemilihnya banyak beririsan, terlepas itu hal baik atau bukan. Selama Anda santai dengan isu HAM, dalil konservatisme, ”nepo baby” atau hal ihwal yang terkait rezim sekarang, alias bukan garis keras kubu mana pun di kedua pilpres lalu, sebenarnya ketiga pasangan calon bisa jadi pilihan seimbang. Namun, jika kesadaran sosial politik Anda cukup dalam, pilpres ini bisa-bisa tak menyajikan pilihan yang melegakan.
Saya pribadi belum menentukan pilihan. Terlepas dari misuh-misuh terhadap pasangan calon tertentu, atau bahkan semuanya, saya terbiasa menentukan pilihan setelah kampanye dan debat resmi pasangan calon dituntaskan. Harapan saya, setelah menyaksikan sendiri ringannya elite politik berganti kawan dan lawan hanya dalam satu putaran, kali ini rakyat Indonesia tidak mudah tersulut bertengkar seperti sebelumnya.
Atau Anda sudah siap gaspol demi 2024?
Lynda Ibrahim, Konsultan Bisnis dan Penulis