Sewajarnya pembebasan Palestina bukan saja tanggung jawab solidaritas dunia Arab, lebih besar dari itu, pembebasan Palestina adalah cita-cita humanitarian yang penting disokong oleh siapa pun.
Oleh
SARAS DEWI
·4 menit baca
Palestina sebagai kumparan kesadaran adalah ingatan yang kelam tentang kekerasan, pengusiran, dan trauma antargenerasi. Palestina adalah kata yang memuat sejarah kekejian, ratapan kematian, dan penjajahan yang tidak berkesudahan. Palestina juga adalah harapan tentang tanah, bangsa, dan kemerdekaan.
Palestina dalam hati para sastrawan dan penyair adalah metafora yang getir. Itu yang disampaikan oleh Mahmoud Darwish, puisi-puisinya yang terinspirasi perjuangan rakyat Palestina, adalah soal tanah yang tidak terbatas pada bentangan bukit dengan pohon-pohon zaitun, tetapi tanah sebagai kerinduan mereka terhadap keluarga, rumah, dan kedamaian.
Palestina sebagai tanah tidak saja meliputi ruang hidup secara fisik, tetapi di khayalan para seniman, tanah itu adalah diri mereka, yang membentuk dunia kultural mereka. Darwish mengatakan, ”Aku menyadari bahwa tanah itu rapuh..; aku pelajari bahwa bahasa dan metafora tidak cukup mengembalikan tempat pada tempatnya. Tidak dapat mencari tempatku di bumi. Aku berusaha mencarinya dalam sejarah, tetapi sejarah tidak dapat direduksi sebagai kompensasi geografi yang hilang…”
Bagi Darwish, lamentasi kehilangan rumah dan bangsanya adalah kesedihan yang sulit diwakilkan oleh perubahan garis-garis batas wilayah yang tertera dalam peta dunia. Dihilangkannya Palestina, adalah penghapusan keberadaan diri, keterasingan yang selalu ia sebut dalam puisinya. Palestina adalah surga yang malang, dan kecintaan terhadap Palestina adalah cinta sejati kepada yang tidak sanggup dimiliki.
Alangkah sembilu saya pikir, sebab apa yang tidak diberitakan oleh media-media ketika tanah di Palestina diledakkan adalah untaian hidup antara seorang ibu kepada anaknya, seorang kakek kepada cucunya, atau pertalian keluarga dan komunitas dalam suatu pemukiman. Apa yang tampak di layar kaca maupun gawai kita adalah gambar tumpukan puing-puing, debu dan patahan kerangka, yang menimbun peristiwa hidup yang dahulu bahagia dan semarak.
Dunia melupakan Palestina dalam wajah kesehariannya. Diskursus yang diangkat terkait kekerasan yang tengah terjadi, berputar-putar pada kerumitan yang melingkupi diskursus geopolitik. Padahal, di balik itu orang-orang perlu melihat keseharian yang dilenyapkan dalam penjajahan Palestina. Keseharian ini tersimpan dalam karya-karya penting para sastrawan; Mahmoud Darwish, Ghassan Kanafi, Adania Shibli, Susan Abulhawa adalah sebagian penulis yang ingin mempertahankan narasi-narasi yang menyuarakan kehidupan warga Palestina dalam kesehariannya.
Keseharian inilah yang perlu terus dibicarakan. Selain karya sastra, kehidupan di Palestina dapat kita amati melalui karya-karya para sineas. Saya mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh Jemaah Sinema Madani Film Festival bekerja sama dengan kampus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI yang menayangkan film-film pendek yang berkisah tentang Palestina. Film Maqloubeh (2012) karya Nicolas Damuni menceritakan tentang lima pemuda yang hidup di Ramallah, mereka memasak hidangan khas Palestina bernama Maqloubeh.
Film itu menyampaikan keadaan yang tragis, bagaimana warga Palestina harus hidup dengan rongrongan kontrol Pemerintah Israel. Normalisasi dan internalisasi kekerasan inilah yang disiratkan dalam film tersebut. Bagi orang-orang Palestina, hidangan ini lekat dengan perjuangan rakyat Palestina. Menikmati Maqloubeh bersama-sama menjadi simbol pembangkangan terhadap kekuasaan penjajahan.
Dukungan masyarakat dan Pemerintah Indonesia terhadap Palestina perlu dimaknai sebagai solidaritas yang melampaui golongan, agama maupun etnis. Begitu pula di mata global, sewajarnya pembebasan Palestina bukan saja tanggung jawab solidaritas dunia Arab, lebih besar dari itu, pembebasan Palestina adalah cita-cita humanitarian yang penting disokong oleh siapa pun.
Etika Yahudi perlu dimaknai secara kritis, yang menolak opresi pengambilalihan tanah di Palestina pada tahun 1948, yang menyebabkan eksodus besar-besaran yang dikenal sebagai Nakba.
Filsuf teori kritis dan jender, Judith Butler, menyatakan dengan tegas bahwa kekerasan yang terjadi di Gaza adalah genosida. Butler, seorang filsuf dengan akar ajaran dan budaya Yahudi, menulis dalam renungan filosofisnya yang berjudul ”Parting Ways, Jewishness and the Critique of Zionism”, ia menjelaskan bahwa etika Yahudi perlu dimaknai secara kritis, yang menolak opresi pengambilalihan tanah di Palestina pada tahun 1948, yang menyebabkan eksodus besar-besaran yang dikenal sebagai Nakba.
Samera Esmeir seorang periset dan pengajar di UC Berkley yang fokus pada sejarah politik, hukum, dan HAM di Timur Tengah, ia menulis esai yang menggugah dengan mendedah Palestina sebagai situs kolonialisme modern. Ia menganalisis pengertian tentang Nakba, yang dalam bahasa Arab berarti katastrofe, ia berargumen bahwa terpisahnya orang Palestina dengan tanahnya memengaruhi keseluruhan eksistensinya sebagai manusia.
Itu mengapa kata genosida ataupun penyingkiran etnis tidak memadai menggambarkan apa yang terjadi terhadap orang-orang Palestina, sebab yang terjadi tidak saja penghancuran secara fisik dan biologis, tetapi pembasmian dan pemusnahan ingatan dan sejarah Palestina. Esmeir menguraikan bahwa dengan lensa kritis kita dapat mencermati praktik kekerasan militer yang menyasar pemutusan orang Palestina dari tanahnya dengan cara; iqtila (mencerabut), tarhil (deportasi), tahjir (pengasingan), dan tashrid (pengusiran).
Saya kesulitan menutup tulisan ini, sebab kata-kata ini tidak akan pernah cukup menuturkan duka tapi sekaligus asa untuk Palestina. Beberapa tahun yang lalu saya pernah membaca esai karya seorang guru asal Palestina bernama Refaat Alareer dalam buku yang berjudul Gaza Unsilenced, ia bercerita dengan lirih tentang kerinduannya kepada adiknya yang bernama Hamada. Adiknya terbunuh oleh serangan bom pada tahun 2014, ia mengatakan bahwa Hamada adalah martir nomor 26 di keluarga besarnya.
Awal Desember ini saya membaca bahwa Alareer telah meninggal dunia disebabkan serangan udara yang menimpa wilayah Gaza, ia meninggal bersama 6 anggota keluarga lainnya. Ia meninggalkan dunia yang bengis ini dengan mewariskan sepenggal puisi, ”Jika aku harus mati, kau harus hidup untuk menceritakan kisahku..— Jika aku harus mati, biarkanlah ia membawa harapan, biarkanlah ia menjadi cerita.”