Pandemi Nanti, Siapkah Kita?
Penyakit hewan menyumbang 70 persen kejadian penyakit infeksi pada manusia. Karena itu, sistem intelijen kesehatan hewan perlu dibangun.
Kurun waktu 20 tahun terakhir telah terjadi kemunculan beberapa kali penyakit hewan menular di Indonesia, dan sebagian merupakan zoonosis. Pada 2003 terjadi wabah HPAI H5N1 yang lebih dikenal dengan flu burung, pada 2008 SARS disusul rabies di Bali. Pada 2018 ada African Swine Fever (ASF) atau flu babi.
Pada 2020 ada Covid-19, dan pada waktu yang hampir bersamaan pada 2022 terjadi wabah penyakit kulit pada sapi (Lumpy Skin Disease/LSD) kemudian diikuti penyakit mulut dan kuku (PMK) yang mana Indonesia sebelumnya merupakan negara bebas PMK sejak 1990. Pada 2023 muncul rabies di Pulau Timor Nusa Tenggara Timur dan yang paling akhir adalah monkey pox (cacar monyet). Lima dari delapan penyakit hewan yang muncul atau muncul kembali itu merupakan zoonosis.
Seiring membaiknya konektivitas antar negara, kemudahan komunikasi berkat jaringan internet yang merambah hampir tiap sudut dunia, disertai dengan perubahan perilaku manusia, deforestasi, dan perubahan iklim mendorong peningkatan tren kejadian penyakit hewan baru. Penyakit hewan menyumbang 70 persen kejadian penyakit infeksi pada manusia (Whoolhouse et al, 2005; Jones et al, 2008).
Baca juga: Ancaman Zoonosis
Kita semua juga sudah mengetahui akibat wabah penyakit, mulai dari kerugian ekonomi hingga korban jiwa. Wabah HPAI telah mengakibatkan kerugian miliaran rupiah dan puluhan korban jiwa, Covid-19 menelan korban jiwa lebih dari 100.000 orang dengan kerugian triliunan rupiah.
Rabies di Bali menimbulkan kerugian ekonomi lebih dari Rp 300 miliar (Batan et al, 2014) dengan korban jiwa hingga pada 2010 sebanyak 35 orang sebagaimana dilansir pada laman BBC News Indonesia. Sementara itu rabies di Pulau Timor menyebabkan kematian beberapa orang dari ratusan orang yang tergigit anjing terduga rabies, dan PMK dengan kerugian diperkirakan lebih dari Rp 30 triliun.
Negara kita telah memiliki sistem kesehatan masyarakat dan sistem kesehatan hewan. Namun dari sisi pencegahan penyakit, ternyata kita masih lemah, utamanya dalam pencegahan penyakit hewan menular dengan dampak nasional.
Kemunculan penyakit hewan pada suatu area tidak tiba-tiba, tetapi didahului dengan introduksi agen penyakit pada populasi peka (hewan dan/atau manusia). Kehadiran agen patogen pada populasi peka naif (belum pernah terpapar) akan menimbulkan kesakitan pada populasi peka di suatu area. Ini dapat berubah menjadi bencana apabila tidak dapat dicegah dan dikendalikan sehingga menjadi wabah bahkan pandemi. Contoh nyata adalah Covid-19 yang berawal di China kemudian menjadi pandemi dan terakhir adalah wabah PMK.
Intersepsi terhadap introduksi penyakit hewan dapat berjalan efektif apabila pelaporan dini, diagnosis dini, respons dini, dan intelijen kesehatan hewan dapat diterapkan. Pelaporan dini tidak mudah diterapkan di Indonesia, masyarakat cenderung menutupi apabila hewan peliharaannya tertular penyakit, dan menjual ke pedagang hewan atau memotongnya apabila itu hewan ternak potong karena takut rugi. Celakanya lagi, daging itu kemudian dijual atau dibagi-bagi ke tetangga seperti kejadian antraks di Gunung Kidul beberapa waktu lalu yang berakibat meninggalnya tiga orang setelah mengkonsumsi daging dari sapi yang terjangkit antraks.
Pelaporan dini perlu didorong untuk menjadi suatu kebiasaan di masyarakat dengan melakukan edukasi secara berkelanjutan, baik itu oleh penyuluh maupun dari aparat pemerintah kompeten lainnya. Selain itu, juga melakukan peninjauan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 jo Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 Pasal 44 Ayat (2) dan (3) yang menyatakan pemerintah tidak memberikan kompensasi kepada setiap orang atas tindakan depopulasi terhadap hewannya yang positif terjangkit penyakit hewan.
Pasal tersebut tentu akan membuat masyarakat enggan melaporkan. Semestinya dibuat regulasi bahwa bagi orang yang melaporkan pertama kali hewannya sakit akan mendapatkan kompensasi setelah mendapatkan validasi dari instansi berwenang. Kalau ada ketentuan ini, tentu dapat menjadi insentif bagi masyarakat untuk bergegas melapor pada petugas berwenang. Apalagi, di era internet saat ini hampir semua peternak sudah memiliki telepon genggam dan dapat menyampaikan pesan dengan beragam aplikasi pesan, seperti Whatsapp, Telegram, ataupun Line.
Pelaporan dini tidak mudah diterapkan di Indonesia, masyarakat cenderung menutupi apabila hewan peliharaannya tertular penyakit, dan menjual ke pedagang hewan atau memotongnya.
Makin cepat penyakit hewan dapat didiagnosis, akan makin cepat penanganannya dan tentu makin minim dampak yang harus ditanggung baik dari aspek ekonomi maupun aspek kesehatan masyarakat apabila penyakit tersebut zoonosis. Pun wabah penyakit pada suatu area tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi ditandai dengan terjadinya peningkatan angka kesakitan pada populasi ternak atau hewan.
Hal inilah yang kerap diabaikan, ketika terjadi tren kesakitan pada hewan (eskalasi hewan sakit) tidak segera melakukan tanggap darurat dengan melakukan pengamanan area tertular, antara lain dengan pembatasan lalu lintas hewan peka maupun manusia, diikuti pengambilan sampel untuk pengujian laboratorium untuk keperluan diagnosis, pengobatan suportif pada hewan sakit, dan dilakukan surveilan.
Kondisi ini sebenarnya dapat diantisipasi jika masyarakat teredukasi dengan baik perihal pengenalan gejala klinis penyakit, tata cara pelaporan, dan intensif bagi mereka yang segera melaporkan kejadian penyakit hewan. Tentu, aparat berwenang juga harus cepat tanggap merespons laporan masyarakat.
Diagnosis dini berkorelasi dengan pelaporan dini sepanjang kejadian penyakit dilaporkan dini maka diagnosis dini dapat diteguhkan. Apalagi, sekarang telah berkembang pesat berbagai metode diagnosis laboratorium, seperti uji polymerase chain reaction (PCR), sequencing, maupun loop mediated isothermal amplification (LAMP). Berkat Covid-19, uji-uji ini sekarang lebih mudah ditemukan di berbagai laboratorium diagnostik pemerintah, baik pada instansi kesehatan hewan maupun kesehatan masyarakat.
Tantangan koordinasi
Ke depan akan lebih baik lagi apabila dikembangkan diagnosis laboratorium untuk penyakit hewan eksotik lintas batas sebagai langkah mitigasi. Makin cepat suatu penyakit dapat diteguhkan diagnosisnya akan makin mudah untuk melakukan respons karena area penyebaran masih relatif terbatas sehingga sumber daya yang digunakan tidak terlalu banyak terutama dari sisi finansial.
Meski secara teori mudah, pada tahapan respons inilah sebenarnya tantangan terbesar yang menghadang karena hal ini terkait dengan koordinasi dengan berbagai pihak terkait. Sebagai ilustrasi, pada kasus PMK tahun 2022, ketika terdapat laporan dugaan PMK di Kabupaten Gresik pada 28 April 2022, langkah strategis yang harus diambil, antara lain, penutupan wilayah di lokasi terduga. Namun, ini tidak mudah karena untuk menutup wilayah tidak mungkin hanya dilakukan oleh otoritas veteriner daerah.
Penutupan wilayah tentu perlu melibatkan aparat keamanan, pemerintah daerah, dukungan logistik, dan anggaran dari instansi terkait lainnya. Di sinilah tantangannya karena entitas di luar otoritas veteriner tidak memahami betapa pentingnya penutupan wilayah ini sehingga penutupan wilayah tidak dapat dieksekusi. Akibatnya, penyakit menyebar dengan cepat ke seluruh Jawa Timur bahkan akhirnya menyebar ke hampir seluruh wilayah Indonesia.
Baca juga: Zoonosis yang Mengancam Kehidupan Manusia
Untuk menyikapi hal ini diperlukan political will dan komitmen kuat pemerintah memandang introduksi penyakit hewan sebagai hal penting sehingga menyiapkan contingency plan yang paripurna. Antara lain, membuat aturan yang mewajibkan pemerintah daerah menganggarkan dana kedaruratan penyakit hewan, dan jika terdapat kejadian penyakit hewan yang berpotensi menjadi wabah, melakukan penutupan wilayah dengan dibantu aparat keamanan. Selain itu, juga melakukan langkah-langkah kedaruratan penanganan penyakit setelah mendapat rekomendasi dari otoritas veteriner daerah tanpa menunggu penetapan wabah dari kementerian teknis.
Ketentuan yang berlaku pada Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan perlu dikaji ulang. Penyederhanaan prosedur penutupan wilayah karena kasus penyakit disertai dengan pengucuran anggaran penanggulangan perlu juga diikuti dengan peningkatan kesadaran dan pemahaman entitas terkait seperti aparat keamanan dan penyelenggara pelabuhan maupun bandara. Dengan demikian, entitas terkait dapat menyokong penuh untuk memberikan fasilitasi kepada otoritas veteriner daerah maupun institusi karantina sebagai lembaga yang diberikan kewenangan oleh negara untuk melaksanakan pencegahan penyakit hewan di wilayah pelabuhan dan bandara.
Intelijen jamak dipakai di militer maupun kepolisian. Namun, seiring dengan makin dinamisnya introduksi dan kemunculan penyakit hewan, sistem intelijen kesehatan hewan perlu dibangun sebagai bagian dari sistem pencegahan penyakit. Kegiatan intelijen kesehatan hewan meliputi pengumpulan berbagai informasi relevan kesehatan hewan. Berdasar data yang diperoleh dapat dilakukan tindakan untuk mencegah terjadinya penyakit hewan melalui penggalangan ataupun kontraintelijen. Fungsi ini lebih tepat dikembangkan di institusi karantina sebagai entitas negara yang bertanggung jawab dalam pencegahan penyakit hewan.
Penggalangan ini dengan merekrut individu yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan intelijen, bisa peternak, blantik, penggemar satwa, aparat keamanan, pelaku logistik, dan siapa pun yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pencegahan penyakit. Penggalangan dapat memanfaatkan jejaring yang telah dibangun oleh otoritas veteriner. Oleh karena itu, jejaring ini perlu dipelihara dan dikembangkan agar makin efektif dan efisien dalam membantu penanggulangan penyakit hewan. Dengan demikian, apabila terjadi anomali status kesehatan hewan di suatu area, semisal terjadi peningkatan kesakitan pada hewan, dapat diketahui lebih awal.
Baca juga: Zoonosis dan One Health
Kontraintelijen diupayakan dengan melakukan surveilans penyakit hewan terpadu berkolaborasi dengan otoritas kesehatan masyarakat dengan area surveilan diutamakan pada area-area rentan seperti sentra peternakan, wilayah pesisir, area pelabuhan dan bandara, area peternakan ekstensif, dan area hibrida sawit sapi. Hewan sentinel dapat dipakai sebagai pendukung surveilan. Hewan ini bisa ditempatkan pada area-area rentan tadi. Penempatan hewan sentinel ini adalah sebagai penanda apabila terjadi introduksi agen patogen baru ataupun lama di suatu area. Intelijen yang efektif dapat mendeteksi dini anomali tingkat kesakitan pada hewan yang berpotensi menjadi wabah.
Semoga pemerintah baru hasil Pemilu 2024 menaruh perhatian besar pada kebijakan penanggulangan dan pengendalian penyakit hewan karena hal ini merupakan instrumen esensial dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan kesehatan masyarakat dan kedaulatan pangan.
Helly Afiantoro, Dokter Hewan di Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya