Penyakit zoonosis menjadi ancaman terbesar kesehatan manusia. Hal ini terutama dipicu perilaku merusak alam yang meningkatkan risiko lompatan penyakit dari hewan ke manusia.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 belum berakhir, tetapi kita kini mesti menghadapi wabah cacar monyet yang terus meluas. Sebagaimana SARS-CoV-2, yang memicu Covid-19, Monkeypox virus (MPXV) penyebab cacar monyet sebelumnya hanya beredar di dunia binatang yang kemudian menulari manusia sehingga disebut sebagai zoonosis.
Tingginya ancaman penyakit zoonosis membuat tanggal 6 Juli 2022 ditetapkan sebagai Hari Zoonosis Dunia yang diharapkan bisa meningkatkan kesadaran bersama untuk meminimalkan risikonya. Peringatan ini didasarkan pada sejarah penemuan vaksin pertama terhadap zoonosis rabies oleh ahli biologi Perancis, Louis Pasteur, pada 6 Juli 1885.
Covid-19, cacar monyet, dan rabies hanya tiga dari deretan penyakit zoonotik. Berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 60 persen dari semua penyakit menular adalah zoonosis. Lebih dari 30 patogen manusia baru yang terdeteksi dalam tiga dekade terakhir, 75 persen di antaranya berasal dari hewan, dan masih banyak lagi yang berpotensi menjadi wabah global.
Dari sekitar 1,2 juta spesies makhluk hidup yang telah dideskripsikan secara ilmiah, masih ada sekitar 8,7 juta spesies hewan, tumbuhan, jamur, dan kerabatnya di bumi yang belum ditemukan (Camilo Mora, dkk. Jurnal Plos Biology, 2021).
Beberapa dari spesies ini mungkin kebanyakan tinggal di daerah yang belum dijelajahi. Saat kita semakin merambah habitat alami seperti hutan hujan, ada lebih banyak kemungkinan kita akan bersentuhan dengan spesies baru itu, termasuk dengan penyakitnya.
Sebagian penyakit itu mungkin telah beredar secara alami di lingkungan selama bertahun-tahun, tetapi campur tangan manusia dapat menyebabkan mereka melompat ke spesies lain, termasuk diri kita sendiri.
Sebagai contoh, virus penyebab Covid-19 dan ebola yang sebelumnya hanya beredar di kelelawar liar di hutan. Pada kedua kasus tersebut, manusia yang merambah hutan atau memakan hewan liar bisa dianggap bertanggung jawab atas penyakit yang melintasi batas spesies. Lompatan ini biasanya melibatkan proses mutasi.
Lebih dari 30 patogen manusia baru yang terdeteksi dalam tiga dekade terakhir, 75 persen di antaranya berasal dari hewan, dan masih banyak lagi yang berpotensi menjadi wabah global.
Demikian pula cacar monyet diyakini berasal dari hutan hujan di Afrika barat dan tengah yang lebih dari 500 kilometer persegi hilang setiap tahun. Studi yang ditulis Joana Isidro dari Genomics and Bioinformatics Unit, National Institute of Health Doutor Ricardo Jorge (INSA), Portugal dan tim di Nature Medicine pada 24 Juni 2022 menemukan bahwa virus cacar monyet yang saat ini mewabah berasal dari keluarga cacar monyet Afrika Barat yang kemudian mengalami mutasi.
Infeksi virus cacar monyet pertama kali diidentifikasi di Cekungan Kongo, Afrika, pada tahun 1970, meskipun keberadaannya pada hewan sudah terdeteksi 12 tahun sebelumnya. Meskipun pertama kali diidentifikasi pada monyet, umumnya virus ini disebarkan oleh hewan pengerat lain seperti tikus dan tupai.
Sejak penemuan ini, telah terjadi wabah cacar monyet di Afrika bagian barat dan tengah, tetapi kasus umumnya jarang terjadi di luar wilayah ini. Hal ini menyebabkan cacar monyet dianggap endemik di beberapa negara Afrika.
Infografik sumber penyakit zoonotik.
Salah satu wabah paling signifikan di luar Afrika terjadi pada tahun 2003 ketika lebih dari 70 kasus cacar monyet terdeteksi di Amerika Serikat. Infeksi itu terkait dengan impor hewan seperti tikus berkantung raksasa dari Gambia dan tupai tali untuk perdagangan hewan peliharaan eksotis yang membawa virus.
Kasus pertama di Inggris terjadi pada tahun 2018 setelah seseorang menempuh perjalanan dari Nigeria ke Plymouth. Meski demikian, menurut studi Isidro, virus cacar monyet yang ditemukan saat ini, telah mengalami mutasi dari strain 2018-2019 dengan sekitar 50 perubahan dalam genomnya. Ini 12 kali lebih banyak dari yang biasanya diharapkan, menunjukkan virus sedang mengalami evolusi yang dipercepat.
Tekanan lingkungan dalam banyak studi menjadi pemicu mutasi virus. Perlu diingat bahwa deforestasi juga berkontribusi terhadap perubahan iklim yang juga berdampak pada penyakit zoonosis. Meningkatnya suhu menyebabkan hewan mengubah tempat tinggal mereka saat mereka menyesuaikan diri, membuat mereka lebih mungkin memasuki area tempat tinggal manusia.
Studi yang ditulis Colin J. Carlson dan Gregory F. Albery serta tim dari Department of Biology, Georgetown University, di jurnal Nature pada April 2022 memperkirakan bahwa lebih dari 15.000 penyakit akan menyebar ke spesies baru untuk pertama kalinya dalam 50 tahun ke depan sebagai akibat dari kenaikan suhu global.
Kurangi risiko
Dengan situasi saat ini, memerangi penyakit zoonosis bukanlah proses yang sederhana. Namun, setiap orang bisa berkontribusi, di antaranya yang paling mudah adalah mengurangi kemungkinan terjadinya kontak antara populasi manusia dan hewan.
Hal ini dapat dicapai dengan mengurangi perubahan penggunaan lahan dan hilangnya keanekaragaman hayati, seperti dengan menciptakan lebih banyak kawasan lindung.
Mengurangi permintaan bahan yang diekstraksi dengan penambangan atau penggundulan hutan juga akan mengurangi kemungkinan mengganggu inang penyakit zoonosis baru. Mengubah pola makan kita ke alternatif yang lebih berkelanjutan dan berbasis tanaman mengurangi kebutuhan akan lahan pertanian yang merupakan salah satu penyebab utama perubahan penggunaan lahan.
Selain pencegahan, kita juga harus menguatkan kemampuan surveilans untuk mendeteksi secara dini kemunculan penyakit zoonosis agar bisa dicegah sehingga tidak menjadi pandemi global. Kegagalan mengarantina Covid-19 sejak awal telah menjadi pelajaran sangat mahal.
Berikutnya, kita juga harus senantiasa bersiap dengan pengobatan dan vaksinasi baru. Riset tentang agen antivirus dan antibiotik yang dapat membantu kita mengobati ketika penyakit itu muncul di masa depan harus diperkuat.
Secara kolektif, langkah-langkah ini dapat membantu umat manusia mempersiapkan diri untuk penyakit yang sebenarnya terutama dipicu oleh faktor antroposen alias ulah kita sendiri.