Lini Masa Aji Mumpung ”Publisher Rights”
Jika Perpres Publisher Rights disahkan menjelang pemilu dan ”platform distributed media” memutus distribusi informasi, rawan dimanfaatkan pihak yang memiliki kekuasaan.
Akankah Peraturan Presiden tentang ”Publisher Rights” menjadi solusi? Atau justru sekadar agenda elite semata untuk memperebutkan kursi kekuasaan pada tahun politik?
Wacana tentang regulasi yang sudah muncul sejak tiga tahun lalu ini akhirnya membuahkan hasil. Pada 25 September 2023, Presiden Joko Widodo memastikan rancangan Perpres Publisher Rights akan usai akhir tahun dan kemudian siap disahkan. Walau begitu, agenda waktu pengesahannya melahirkan kejanggalan tersendiri.
Indonesia bukanlah negara pertama yang akan menerapkan regulasi tersebut. Sudah ada negara lain yang telah menerapkan regulasi tentang publisher rights, yakni Australia dan Kanada. Dalam penerapannya, kedua negara tersebut melewati proses negosiasi alot dengan platform distributed media, terutama Google dan Meta.
Google dan Meta akhirnya memutuskan tak lagi mendistribusikan segala jenis produk jurnalistik terbitan perusahaan pers pada platform mereka. Akibatnya, masyarakat Australia dan Kanada tidak bisa mengakses produk jurnalistik melalui Google dan Meta. Kendati demikian, kedua negara tersebut memiliki kultur masyarakat dengan tingkat literasi yang cukup tinggi—jika dibandingkan dengan Indonesia, sehingga opsi untuk mengakses produk jurnalistik dalam rupa lain akan bisa diandalkan.
Baca Juga: Jalan Berliku Menuju Jurnalisme Bermutu
Masyarakat di kedua negara tersebut memiliki kecenderungan loyalitas yang tinggi untuk berlangganan produk jurnalistik (cetak atau daring). Maka tak heran, jika mobile app jenama perusahaan pers di sana masih bisa dijadikan sebagai tumpuan.
Selain itu, keberadaan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) di kedua negara tersebut juga kuat. Oleh karena itu, keberadaan pers sebagai sumber berita utama yang kredibel tetap terjaga. Skema tersebut bukanlah tak mungkin, tetapi masih menjadi perjalanan terjal jika diterapkan di Indonesia.
Fenomena merosotnya oplah koran cetak merupakan fenomena umum yang terjadi di berbagai negara. Akan tetapi menurut data dari Serikat Perusahaan Pers (SPS), situasi yang terjadi di Indonesia bisa dikategorikan cukup ironi sejak 2010. Persoalannya, masyarakat Indonesia telanjur terlena dengan produk jurnalistik bebas akses dari berbagai jenama perusahaan pers, termasuk homeless media yang belum tentu terdaftar di Dewan Pers.
Anjloknya oplah koran cetak yang juga tidak diikuti dengan loyalitas berlangganan berita daring berbayar membuat rencana waktu pengesahan Perpres Publisher Rights perlu diulas kembali. Rencana pengesahan yang dijadwalkan bertepatan dengan Hari Pers Nasional, 9 Februari 2024, seolah menjadi lini masa aji mumpung. Pasalnya, tepat lima hari setelah waktu pengesahan yang direncanakan tersebut merupakan hari pemilu.
Pada 25 Juli 2023, Google Indonesia mengatakan bahwa tindakan yang diambil akan serupa dengan yang terjadi di Australia dan Kanada. Apabila benar adanya dan terjadi pada masa menjelang pemilu, posisi media massa sebagai pilar keempat demokrasi Indonesia akan dipertaruhkan. Kemungkinan munculnya berita hoaks akan semakin masif dan opini publik lebih mudah dikendalikan oleh mereka yang memiliki kekuasaan ataupun kepentingan.
Agenda pengesahan Publisher Rights menjelang pemilu perlu dikaji ulang, mengingat dampak langsungnya sangat besar.
Relevansi mitigasi
Media massa seharusnya mampu menjadi wadah informasi utama yang kredibel dan berimbang ketika masa pemilu. Oleh sebab itu, mitigasi yang relevan juga diperlukan sebagai upaya untuk mencegah penyalahgunaan pada kondisi tersebut. Alih-alih upaya untuk menjaga keberlanjutan ekosistem media massa, pemerintah juga seharusnya mampu memastikan masyarakat supaya tetap dapat mengakses informasi yang kredibel dengan mudah dan murah. Hal itu perlu ada, terutama jika proses negosiasi dengan platform distributed media membutuhkan waktu yang lama.
Dalam hal ini, menuntut masyarakat untuk mau mengunduh hingga membuat akun pada mobile app media massa juga merupakan perkara utopis. Belum lagi, jika berita yang ditawarkan tidak semua bebas akses. Kecenderungan masyarakat memilih membaca seadanya atau bahkan sekadar membaca judulnya akan semakin tinggi. Pola tersebut membuat informasi yang ingin disampaikan perusahaan pers menjadi simpang siur.
Dalam perancangan mitigasinya pun, pemerintah juga perlu melibatkan Dewan Pers, perusahaan pers, hingga asosiasi terkait, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI). Mengingat Dewan Pers, perusahaan pers, dan asosiasi terkaitlah yang lebih paham tentang kultur masyarakat Indonesia, sebagai konsumen produk jurnalistik.
Ilustrasi
Libatkan masyarakat
Selain itu sebagai konsumen produk jurnalistik, masyarakat sebenarnya perlu dilibatkan. Pasalnya, tingkat literasi digital masyarakat Indonesia yang hanya sebesar 62 persen atau paling rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, sangat berpengaruh dalam proses pemilihan sumber informasi. Masih banyak masyarakat yang menjadikan informasi di grup pesan teks, seperti Whatsapp sebagai sumber utama. Padahal, tidak semua informasi yang didistribusikan berasal dari sumber yang jelas, kredibel, berimbang, dan berkualitas. Hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh merebaknya kultur clickbait (umpan klik).
Anggapan bahwa semua orang familier dengan jenama perusahaan pers, sebetulnya juga perlu menjadi sorotan. Realitanya, banyak masyarakat hanya familier dengan jenama-jenama perusahaan pers ternama yang sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu. Dan sering kali mereka juga masih mengenalnya dalam rupa konvensional saja, seperti koran cetak, siaran radio dan/atau televisi, yang tak memiliki platform daring.
Keterasingan masyarakat akan hal tersebut pada akhirnya melahirkan budaya googling semata. Sehingga terkadang platform jenama perusahaan pers yang telah terdaftar dalam Dewan Pers tetap kalah populer dengan homeless media, lantaran kekuatan SEO—optimisasi mesin pencari. Masyarakat pun akhirnya terbiasa mengonsumsi informasi yang tampil pada urutan pertama, tanpa membaca sumbernya. Jika masyarakat tidak dilibatkan, seperti diberi sosialisasi tentang bagaimana cara mengakses informasi yang kredibel, akan muncul kemungkinan yang merugikan masyarakat pula.
Baca Juga: Meta Menolak Rancangan Perpres Jurnalisme Berkualitas
Pertama, masyarakat akan semakin mudah terpapar dengan informasi yang tidak jelas sumbernya. Lantaran pilihan masyarakat untuk mendapatkan informasi bebas akses yang kredibel semakin berkurang, terlebih jika distributed media memutus distribusi produk jurnalistik secara daring. Pilihan sumber informasi bebas akses yang bisa diandalkan kredibilitas dan akurasinya menjadi hanya televisi dan radio.
Kedua, proses penghitungan suara pada pemilu memiliki indikasi untuk dapat dipermainkan secara leluasa oleh para elite, sebab tingkat transparansi pada masyarakat lebih mudah untuk diutak-atik mengingat pendistribusian produk jurnalistik secara daring tidak ada. Oleh karena itu, agenda pengesahan Perpres Publisher Rights menjelang pemilu perlu dikaji ulang, mengingat dampak langsungnya sangat besar.
Elizabeth Florence Warikar, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Instagram: flowarikar